24. Remember When

522 29 5
                                    

Remember when I cried to you a thousand times
I told you everything, you know my feelings
It never crossed my mind that there would be a time
For us to say goodbye, what a big surprise
("Remember When" - Avril Lavigne)

***

Ada sebuah rindu bagaikan sebilah pedang menembus ulu hati, dia memelihara lara dalam diam.

          Malam Minggu seperti ini biasanya dihabiskan para remaja untuk bermadu kasih bersama pasangan mereka. Atau mungkin bagi yang telah berkeluarga menyempatkan keluar rumah sebentar berhubung weekend. Tapi untuk malam Minggu kali ini sepertinya tidak berlaku bagi Dika. Laki-laki itu memilih untuk menemani Selva yang sekarang entah di mana.

          Menurut pernyataan dari beberapa suster yang melihat Selva pergi, gadis itu tengah menuju taman belakang rumah sakit dengan seorang cewek yang sebaya dengannya. Dika ingin sekali menemui Selva di sana, sekedar tahu dengan siapa gadis itu bermain di taman. Akan tetapi, sudut hatinya yang lain berbisik meyakinkan bahwa Selva sebentar lagi akan kembali.

          Sembari menunggu rasa bosan yang terasa tiada ujung itu, Dika merogoh ponselnya dan membuka salah satu game yang disukainya. Robots War adalah salah satu yang ia mainkan dari berbagai game bagus lainnya.

          Tapi, belum sempat ia memainkan robotnya yang berwarna merah di arena pertandingan, dua orang berbeda jenis tiba-tiba saja datang dari arah depan. Awalnya Dika tidak mengacuhkannya, tapi ketika indra pendengarannya menangkap suara tawa yang sangat ia kenali, sontak kepalanya mendongak. Lantas mata tajamnya yang bagaikan elang itu langsung menatap pada sosok Selva yang tengah memakai kursi roda, dengan Ivan yang tersenyum manis di belakangnya sembari mendorong kursi roda gadis itu.

          Keduanya belum menyadari bahwa Dika ada di hadapan mereka. Kontan, cowok pemilik mata tajam seperti burung elang itu berdehem keras. Membuat kegiatan tawa-tertawa antara Ivan dan Selva terhenti saat itu juga.

          "Dika?" itu suara Ivan dan Selva. Mata mereka membulat lantaran terkejut ada sosok cowok bertubuh jangkung yang sepertinya menunggu Selva di depan mereka.

          Tapi dari dua tatapan mata yang tampak terkejut itu, yang paling menonjol adalah tatapan mata Ivan. Ada sorot ketakutan dan kekhawatiran juga di balik tatapan terkejutnya. Beda dengan Selva yang memberi tatapan hanya terkejut, maksudnya tidak ada tatapan lain yang lebih berarti di balik tatapan itu.

          Ivan hanya takut dan khawatir jika Dika salah paham. Mengecap dirinya sebagai seorang cowok yang tak bisa dijaga janjinya. Sementara Dika sendiri kini tengah memasang wajah tanpa ekspresi. Yang sesungguhnya tatapan itu Ivan tahu, Dika sedang menahan emosinya. Akan tetapi, Ivan memilik tak acuh. Bukannya dia tidak mau mengerti apa yang dirasakan adiknya, tapi ia mencoba untuk tidak membahas masalah mereka untuk saat ini. Berhubung sedang ada Selva di dekat mereka.

          "Emm ... Selva, gue pulang duluan, ya? Ada sesuatu yang harus gue urus dulu. Ntar kalo udah selesai gue langsung ke sini kok. Jadi, lo sama Dika dulu, oke?"

          Selva menatap Ivan dengan tatapan bingungnya. Beberapa menit yang lalu cowok itu tampak sangat bersemangat untuk menemani Selva hingga tertidur di ranjang rumah sakitnya. Namun entah mengapa sekarang Ivan izin mengundurkan diri dengan alasan yang terdengar tiba-tiba.

          "Kenapa tiba-tiba? Nggak apa-apa kali, Van di sini dulu," tukas Selva terdengar lebih memohon. Dalam hatinya berharap bahwa laki-laki bermata coklat gelap itu dapat menemaninya meski sebentar.

          "Nggak bisa, Sel. Gue janji, kok ntar kalo urusan gue udah selesai bakalan kesini lagi. Lo, kan ada Dika yang nemenin." Sesungguhnya Ivan tak tega melihat tatapan kecewa yang ditunjukkan Selva padanya. Tapi mengingat posisinya sekarang yang seperti maling tertangkap polisi di depan Dika, membuatnya tahu diri untuk tidak bertahan di antara Dika dan Selva.

The ConfusedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang