Chapter 9: Request

544 102 6
                                    

“But I have my heart that only knows you, the times we spent together. I’m revealing this damn love and I sadly call out.”

- INFINITE ‘Request’

***

Hari ini Jihoon hanya memiliki kelas siang di sekolah setingkat lebih tinggi dari SMA, perguruan tinggi. Mengabaikan seluruh angka dan rumus yang dipelajarinya semasa SMA – walaupun ia menguasainya dengan baik – Jihoon memilih jurusan yang berhubungan dekat dengannya, seni musik.

Dengan celana jeans dan kemeja polos yang sedikit kebesaran, ia memasuki kampus. Tidak ketinggalan ia memasang earphone di kedua telinga, menjejalinya dengan lagu-lagu kesukaannya.

Masa kuliah ini, ia ingin melupakan semua yang terjadi di sekolah dulunya. Sebaiknya ia berfokus pada masa depannya, menjadi musisi atau menjadikan musik sebagai sampingannya. Yang jelas apa yang ditekuninya saat ini seharusnya memberikan penghasilan.

***

Soonyoung berjalan santai memasuki kompleks sekolah tarinya. Chan pasti sudah menunggunya sejak tadi. Hari ini ia datang sedikiit lebih terlambat.

Ia terlambat bangun karena mencari tanggal prediksi hujan meteor atau yang lebih dikenal semua orang dengan bintang jatuh. Mungkin tanggal prediksi lain bisa membawa mereka ke hari kencan yang selanjutnya.

"Bulan depan," gumam Soonyoung.

Soonyoung sampai di ruang latihan. Ia membuka pintunya perlahan.

“Selamat-“

Dua orang di dalam sana sontak terkejut dengan kedatangan Soonyoung.

“-pagi.”

“Soonyoung,” ujar Chan berdiri dengan kedua kakinya yang sedikit gemetar.

Soonyoung memandang Chan dan orang lain yang juga berada di sana.

“Kau...”

“Aku rasa sudah cukup untuk pagi ini, Chan-ah,” sahut orang itu berdiri dari kursi yang sedari tadi menjadi tempat duduknya.

Ia berjalan ke arah Soonyoung dan menepuk pundak Soonyoung.

“Sekarang kau tahu satu hal,” ujarnya menggantung.

Soonyoung menarik tangannya dari pundaknya, dengan keahliannya membuat orang itu memalingkan wajah ke arahnya, memandang kedua matanya secara langsung.

“Chan... kau...”

“Seluruh sekolah ini... boleh mengangung-agungkan dirimu...” lanjutnya terputus kembali.

Soonyoung memelintir tangannya, memaksa orang itu untuk melanjutkan kata-katanya.

“Apa yang kau lakukan dengannya?” tanya Soonyoung dengan nada mengancam.

“... tapi aku berhasil merebut yang paling berharga darimu.”

“Soonyoung, aku...” sela Chan tidak bergerak sesentipun dari tempatnya berdiri.

Soonyoung diam saja. Perlahan cengkraman tangannya mengendur.

“... minta maaf,” akhir Chan tidak berani mendongakkan kepalanya.

Soonyoung menghela nafas kasar dan menarik tangan orang itu hingga terlempar ke dalam ruang latihan. Orang itu mendarat tepat di lantai sambil mengelus-elus tangan kanannya.

Dengan langkah berat, Soonyoung kembali berjalan keluar dan membanting pintunya.

Ia bersandar sejenak di depan pintu dan kembali menarik nafasnya.

“Aku sangat menyedihkan,” benaknya menjambak rambutnya kasar.

***

Hari-hari SMA berlalu begitu saja. Kegiatan tanpa-sadar-memperhatikan-Soonyoung masih dilakukan Jihoon entah sampai kapan.

Ini sudah tahun keduanya. Ia belum berniat untuk mengungkit sebuah hari di masa kecilnya di hadapan Soonyoung.

Soonyoung tidak akan mungkin mengingatnya, pikirnya. Itu hanya satu dari sekian hari yang pernah dijalaninya.

Jihoon juga tidak seagresif itu untuk muncul di lingkaran pertemanan Soonyoung. Mereka berada di kelas yang berbeda. Apa yang bisa dilakukan orang terlampau pendiam seperti dirinya?

***

Malam itu, Soonyoung terduduk di lapangan dekat sekolah lagi. Sendirian.

Langit tampak cerah malam ini walaupun bukan hari prediksi hujan meteor.

Mengapa ia berada di sini saat ini? Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya.

Soal Chan, ia tidak ingin memikirkannya. Hal itu membuat kepalanya pusing.

Sejak pertama kali masuk sekolah tari, Soonyoung langsung menjadi bahan perbincangan. Ia adalah penari yang cukup hebat. Banyak orang yang menyukainya.

Namun dari semua orang itu, ia memilih Chan yang sekarang sudah tidak lagi memilihnya. Ia lebih memilih dengan orang lain.

Soonyoung mendekatkan sebelah matanya pada lensa teleskop dan memandang objek langit yang telah diperbesar.

Soonyoung beralih dari teleskopnya dan duduk di sebelahnya.

Ia duduk memeluk kedua lututnya dan mendongak ke langit.

Masih sama, masih bintang yang berpendar di sana.

Sesuatu terbesit di dalam benaknya. Ia tahu ini sudah sangat lama. Namun tetap saja tidak mudah terhapus dari ingatannya.

Kira-kira bagaimana kabar anak yang tinggal di depan rumah neneknya dulu?

***

Malam itu, Jihoon kembali berjalan-jalan di sekitar lingkungan rumahnya.

Adalah sebuah fakta sebelum ini ia bertemu dengan Soonyoung di sini, di lingkungannya.

Tapi pertemuan itu tidak berakhir baik. Ia menemukan sebuah fakta lagi bahwa ia tidak memiliki kesempatan untuk mengejar Soonyoung. Ia sudah menjadi milik orang lain.

Untuk apa berharap?

***

To be continued

[√] a Couple of Shooting StarsWhere stories live. Discover now