Jilid 1

10.2K 127 1
                                    

Sebuah sungai yang jernih, berliku-liku mengitari kaki gunung. Sepanjang tepian tumbuh dengan subur pohon-pohon liu yang rimbun. 

Di bagian sungai yang sempit merentang sebuah titian kecil, menghubungi undakan tangga batu sebuah gedung besar, yang berdiri dengan megah di lereng gunung.

Rumah itu berpintu hitam bertembok kuning, di sebelah kanan dan kiri dari pintu muka terdapat sepasang singa-singaan dari batu. Di bagian timur gedung itu terdapat paviliun yang digunakan sebagai tempat belajar.

Saat ini di ruangan itu guru tua. Akibat teriknya matahari, hawa menjadi panas dan mendatangkan rasa mengantuk bagi guru itu. Sedangkan suara pelajar-pelajar semakin lama semakin kendur tapi masih terus terdengar !

Seorang pelajar mengawasi pada gurunya, lalu menyikut kawan di sebelahnya : "Toa Sun Cu, sudah waktunya, tunggu apa lagi ?"

"Tunggu sebentar lagi, biar dia pulas benar," jawab Toa Sun Cu.

"Lihat pit yang dipegang sudah jatuh ke lantai, pasti sudah pulas !"

Toa Sun Cu tersenyum girang, digoyangkan tangannya, suara membaca semakin perlahan dan hilang tidak terdengar lagi, suasana menjadi sunyi. Toa Sun Cu memperhatikan dengan seksama untuk mengetahui apakah gurunya sudah pulas benar atau belum, setelah yakin guru itu sudah pulas. Dipeloporinya kawan-kawannya meninggalkan seorang-seorang dengan tertib tanpa mengeluarkan suara.

Seorang anak berbaju biru tidak turut keluar ia masih tekun dengan bukunya. "In Tiong Giok !" Toa Sun Cu " engkau tidak turut ?"

"Kalian saja yang pergi, aku masih mau menghafal !"

"Baiklah, nanti kuberi seekor ikan besar, asal saja melindungi kami jika guru marah2 !" Sebelum berlalu ia masih sempat menjulurkan lidah mengejek yang tidur menggeros-geros.

Baru saja anak-anak berlalu, sang guru membuka matanya sambil tersenyum.

"Tiong Giok marilah kita mulai dengan pelajaran yang benar ! Bagaimana latihan ilmu dalammu apakah ada kemajuan ?"

"Ya suhu, bahkan telah kumulai ke pelajaran Hoan-pou-kuil-cin atau menghilangkan kepalsuan mencari kebenaran. Hawa sejati rasanya bergolak keras dan mendatangkan rasa sakit."

"Itu tak apa-apa, nah coba perhatikan padaku!"

In Tiong Giok menyedot napas dalam2 lalu mementangkan jari-jari tangan kanannya ditotokan ke buku yang dipegang gurunya. 

Siuut ! pukulannya mendatangkan suara dan "beng" berbunyi sekali, buku yang dipegang gurunya terpental beberapa depa. Waktu diperiksa buku itu telah berlubang, di lingkaran lubang itu hitam seperti terbakar !

"Ah anak ini luar biasa, dalam waktu lima tahun sudah mencapai taraf ini, waktu aku belajar, selama delapan tahun tidak selihay dia. Dasar maunya langit di dunia persilatan akan muncul seorang gagah perkasa. Hatinya merasa girang tapi tidak diutarakan pada parasnya. 

Ia hanya menyuruh muridnya mengeluarkan buku berbahasa Sansekerta. "Apakah bahasa asing ini sudah kau kuasai ?"

"Selama lima tahun kupelajari mati-matian dapat dikatakan sudah kukuasai semua !" jawab In Tiong Giok.

Sang guru menguji kepandaian muridnya dalam bahasa Sansekerta secara lisan mereka bertanya jawab dengan tenangnya. 

Sementara itu di luar terdengar suara Toa Sun Cu dan kawan-kawannya.

"Tumben mereka kembali secepat ini," kata sang guru yang terus berlagak tidur lagi seperti tadi.

In Tiong Giok memasukan buku pelajaran bahasa Sansekertanya ke dalam saku. Toa Sun Cu datang paling dahulu, napasnya kembang kempis, seolah-olah ia lupa telah bolos belajar. 

Perguruan Sejati - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang