Jilid 7

4.2K 66 0
                                    

"Tak kusangka perbuatanku mendatangkan bencana bagi kaum nelayan," pikir Tiong Giok.

"Habis kau pikir bagaimana ?"

"Kupikir sesudah malam baru berlayar lagi dengan begitu mungkin juga kita bisa melalui kota itu dengan selamat !"

"Begitupun baik, andaikata tidak bisa melalui juga, tidak apa-apa aku bisa mendarat dan tak merepotkan kalian !"

Saat inilah dengan tiba-tiba dari arah daratan terdengar orang berseru : "Hei ini perahu siapa dan mau kemana ?"

Tukang perahu menoleh kearah suara, segera juga membuatnya gemetar tidak karuan, karena disitu berdiri dua orang: satu jangkung satu kurus. Usianya tujuh puluhan, pakaiannya putih, rambutnyapun putih, bahkan wajahnyapun putih tidak berdarah. Pokoknya serba putih.

"Hei apakah engkau tidak mendengar pertanyaanku ?" kata yang katai dengan dingin dan menakutkan.

"Oh...mau...mau ke Siang yang..."

"Bawa barang atau penumpang ?"

"Penumpang !"

"Berapa orang ?"

"Ada...hanya seorang..."

"Hm!" sikatai mendengus dingin dan menoleh pada yang jangkung. "Lo toa, kita masih mujur Keng an sudah dikuasai kaum Pok Thian Pang, tak sangka bisa mendapat perahu disini !"

Sijangkung tak menjawab hanya menganggukkan kepala.

"Kuminta penumpang itu turun, karena kami mau memakai perahumu !" seru sikatai.

"Apakah jie wie mau ke Siang yang juga ?"

"Tidak, kami mau ke Kim leng !" kata sikatai dan terus melompat keprahu dan disusul kawannya dari belakang.

"Maaf saja Jie wie karena perahuku sudah diborong orang. Bisa tidaknya harus kutanyakan dulu kepadanya..."

"Tidak bisa harus bisa, mau tak mau harus mau !" seru sikatai.

"Ini soal mudah asal saja penumpang itu mau mengalah..."

"Hm, ia pasti mau !" kata sikatai yang terus masuk kedalam lambung perahu.

In Tiong Giok yang sejak tadi mendengari pembicaraan mereka, kini menampilkan diri. "Jie wie mau memakai perahu ini, berani bayar berapa duit ?"

"Engkau boleh menghargai berapa saja !" kata sikatai.

"Aku menyewa perahu ini dua ratus tail perak, jika Jie wie mau mengganti kerugian, aku bersedia mengalah !" jawab Tiong Giok.

"Tak kukira engkau mata duitan ! Pokoknya kalau kami senang, bisa memberikan lima puluh tail emas !"

"Aku sudah membayar terlebih dahulu, kuharapkan engkau sepertiku !"

"Ya hitung-hitung engkau berjasa mengantarkan perahu untuk kami, aku Ouw Kun San mau juga membayar !" kata si katai yang terus merogoh saku mengeluarkan uang emas. "Uang ini menyilaukan mata, sukar diterimanya !"

"Kupikir menerima uang paling mudah!" jawab Tiong Giok.

"Nah terimalah !" seru Ouw Kun San yang terus melemparkan uang emas itu kearah pemuda kita.

Begitu cepat dan keras uang itu menyambar, tapi dengan cepat pula pemuda kita mengeluarkan jarinya, serta terdengar suara nyaring angin yang keluar dari jerijinya, membuat mandek lajunya uang emas. 

Secara ringan uang itu ditangkapnya, dan dilemparkan ke tukang perahu. "Terimalah persenan ini !"

"Terima kasih atas kebaikan Kongcu !"

Perguruan Sejati - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang