Bab. 19

60 2 0
                                    

Seperti halnya yang dirasakan Senja, Hujan juga heran akan apa yang ia katakan. Kalimat itu keluar begitu saja tanpa pertimbangan apapun. Ia menyesali kebodohannya, bahkan ia sendiri pun malu mengakui mulutnya yang asal ceplos.
"Nja!" panggil Hujan pelan.
"Gue.. Umhh, gue---"
"Nggak papa." ucap Senja cepat. Ia tersenyum sekilas lalu terdiam.
"Gue antar pulang, ya? Maaf gue nggak bisa ajak lo jalan-jalan." Hujan menatap Senja nanar.
"Iya." Senja mengangguk. Ia menatap langkah kakinya yang bergerak.
Sepatah kata itu berhasil menyulap gemuruh rasa yang menyeruak di bagian terkecil hati Hujan. Ia agak merasa senang, namun ia masih merasa bersalah.
Mereka naik ke dalam mobil, Hujan menyalakan mobilnya lalu Senja mengencangkan sabuknya dan menatap ke arah luar. Matanya sibuk menyapu jalanan, tangannya bersentuhan dengan kaca mobil. Napasnya menderu hingga kaca disampingnya berembun lalu ia mengusapnya. Ia merasa de javu.
Hujan fokus pada jalanan kota yang mulai sepi karena hujan semakin deras dan langit sudah mulai meredup. Tak ada sepatah kata pun keluar dari salah satu antara mereka, hingga tiba-tiba Senja menyalakan radio dan lagu dari Bruno Mars, It Will Rain mengalun begitu saja memenuhi ruang hampa itu.
If you ever leave me baby
Leave some morphin at my door
'Cause it would take a lot of medication
To realized what we used to have we don't have it anymore
Senja mengikuti alunan lagu, ia bernyanyi mengikuti lirik lalu kepalanya sedikit mengangguk-angguk dengan irama.
There's no religion that could save me
No matter how long my knees are on the floor
So don't even mind all the sacrifices I'll make it
To keep you by my side and keep for walkin' out the door
Tiba-tiba Hujan juga ikut dalam irama dan mulai menyanyikan sebagian lirik dari lagu tersebut.
Cause there'll be no sunlight if I lose you baby
There'll be no clear skies if I lose you baby
Senja tercengang dan mengernyit. Namun, ia tak peduli. Yang ia tahu, ia sekarang berusaha melampiaskan perasaannya pada lagu tersebut.
Mereka berdua bernyanyi bersama tanpa menatap, namun tanpa mereka tahu hati mereka pada posisi dan keadaan yang sama.
Just like the clouds my eyes will do the same
If you walk away' everyday it will rain' rain' rain'...
Bagi Senja, hatinya sekarang mulai terkikis lagi. Rasanya ingin menangis, namun ia tak mau terlihat lemah dihadapan laki-laki satu itu. Sebagian hatinya menjerit, namun otaknya masih dapat mengontrol dan menahan emosi yang menyerobot ingin keluar. Ia bukan orang lemah! Ia berusaha kuat.
"Dia bukan siapa-siapa gue, bukan siapa-siapa." gumam Senja kecil dan tak dapat didengar orang sekitarnya. Bahunya mulai bergetar, namun ia tidak mengeluarkan air mata. Ia hanya sesegukan.
Cowo semua sama aja, nggak Hujan, nggak Angga, sama-sama cuma bisanya nyakitin! Hujan cuma manfaatin gue, gue benci itu! Benci!
Senja mengutuk hidupnya yang monokrom, tidak berubah, dan makin menjuruskannya ke jurang yang gelap dan ia sesak. Bernapas pun terasa tak berhak baginya.
*******
Ia sudah berada di atas kamarnya. Ia merebahkan seluruh badannya dan menutupi wajahnya dengan bantal. Setelahnya, ia menangis. Ia menumpahkan semua kekesalannya dengan berguling-guling sambil memukuli guling dan bantalnya. Ia mulai frustasi.
"Lo nangis kejer lagi, cil?" Niko duduk disampingnya sambil mengelus puncak kepala Senja.
"Nggak." jawab Senja.
"Elah, kecebong laut juga tau kalo lo ngibul," Niko menepuk pelan bahu Senja lalu berjalan keluar.
"Kak?" panggil Senja.
"Tumben lo manggil gue pake 'kak'?" cengir Niko sekilas.
"Boleh minta sesuatu?"
"Apa? Coklat? Gue nggak ada duit. Boneka? Boneka lo udah bejibun di gudang, dikamar, everywhere lah. Greentea Latte? Stoknya belom gue beli, bokek gue." dumel Niko sambil berkacang pinggang.
"Denger dulu, kak." rengek Senja sepertu anak kecil.
"Fine. Apa?"
"Minta peluk." Senja membulatkan matanya.
"Halah, gue kira apaan." Niko kembali berjalan ke arah Senja, merentangkan tangannya lalu Senja memeluknya seerat mungkin. Ia tenggelam dalam hangatnya pelukan kasih seorang kakak. Tanpa Niko, Senja bukanlah siapa-siapa.
"Gemay banget sih lo!" cibir Niko seraya mencubit gemas pipi Senja.
"Anget. Pengennya dipeluk kakak terus," katanya sambil memejamkan mata.
"Minta aja sama pacar lo," jawab Niko asal.
Senja mendengus, "Hih, dah putus juga."
"Balikan sono," usul Niko lalu Senja melepaskan pelukannya dan mendelik.
"Mata lo mau lo keluarin? Nggak usah repot-repot, gue cabutin sini pake tang." Lanjut Niko gemas.
"Keluar lo dari sini!"
"Lah, malah ngusir. Dasar muka dua!" cibir Niko.
"Nggak peduli. Keluar sana lo!" usir Senja. "Btw, makasih ya, Niko sayang."
"Buat apa?"
"Lo udah jadi moodbooster gue."
"Hmm."
"Just 'hmm'?" tanya Senja heran
"Terus apa?" Niko memutar bola matanya. Ia menuju pintu, lalu bersiap menutupnya. "Jangan sedih lagi ya, Nja? Kakak sedih liat lo nangis terus."
Tiba-tiba ponselnya berdering, tanda telpon masuk. Ia mengambil ponselnya yang tergeletak di meja sebelah kasurnya, lalu mengecek nama penelponnya.
Angga is calling.
Senja terbelalak lalu mengernyit bingung.
Anjir, ini orang ngapain nelpon? Nurunin mood gue banget, sih?! Angkat nggak ya? Nggak penting juga buat gue.
Namun, ia memilih mengangkat telepon itu dan berusaha menjadi pendengar yang baik.
"Halo?"
"Halo, Nja?" suara diujung sana sangat khas, dan Senja merasa ia mulai merindukan lelaki itu lagi.
"Ada apa?"
"Boleh ngomong?"
"Lo dari tadi udah ngomong, bego." dengus Senja kesal.
"Oh, iya ya."
Goblok. Batin Senja.
"Mau ngomongin apa? Duh, gue abis ini ada janji nih." lanjut Senja bohong.
"Bentar aja, 5 menit?"
Gue males ngomong sama lo, njir. Lagi-lagi Senja kesal sendiri.
"Hmm.."
"Nja?" panggil Angga
"Hmm."
"Lo masih disana, kan?"
"Hmm."
"Lo besok ada janji dinner gitu, nggak?"
"Ada." jawabnya singkat.
"Sama Hujan?"
"Ngawur."
"Lah, terus?"
"Sama Bang Somad."
"Siapa tuh? Tetangga lo?" tanya Angga.
"Dia tukang bubur depan kompleks." jawab Senja asal.
"Hah? Gue nggak ngerti sama lo."
"Yaudah, nggak usah ngertiin gue." cibir Senja lalu ia menghela napas pelan.
"Yaudah."
"Udah, kan? Gue tutup ya? Waalaikumsalam,"
Klik.
Senja mematikan telpon dari Angga lalu ia membuka grup Line kelasnya.
Ia cengar-cengir kuda membaca pesan-pesan yang masuk dari anak-anak sekelasnya yang isinya hanya b*c*tan dan kelompok manusia alay gembel.
Ara Dhiandra: Lo tau? Kakel cogan yang sering nongkrong di halaman belakang? Kemaren dia nyapa gue. Manis bingo.
Aresta: Don't care
Leoni Satyavani: *ketawa garing*
Fika Rahmalia: Gue juga kadang perhatiin mereka kok, Ra
Gionisius: Apakah ini grup? Ataukah Siluet (baca: acara gosip yang tayang di tv)?"
Ridwan M: Gue disapa sama Ajeng, mbak mas bro sekalian:)
Leoni Satyavani: Selamat! Akhirnya lo dianggap idup!
Cindy Lolly: Gue punya kabar baik, guys
Fika Rahmalia: Apaan, Cin?
Aresta: 2
Leoni Satyavani: 2
Ara Dhiandra: ciee.. Barengan eaa
Leoni Satyavani: 3-_-
Gionisius: 4
Nandanisa: 5
Cindy Lolly: Besok guru fisika nggak masuk gegara ngawasin OSN *happy* *party*
Senja terlonjak gembira sambil melompat-lompat di atas kasurnya kegirangan. Betapa bahagianya Senja mendapat berita ter-bahagia seumur hidupnya. Pasal Pak Hasan-guru fisika mereka- terkenal akan garangnya dan keganasannya jika ada salah seorang muridnya yang remedi atau tidak mengerjakan tugas.
Ia mengetikkan pesan di layar notifikasi ponselnya lalu tak beberapa lama ada balasan masuk.
Senja Alkhaira: Makasih pembawa berita bahagiaku *happy*
Hujan Satria: Apa? Gue nggak ngapa-ngapain kok
Mampus, gue salah kirim pesan! Geblek lo, Nja.
Ia garuk-garuk tengguk. Bingung harus membalas apa. Ia mulai bergeridik.
Senja Alkhaira: Sorry, salah kirim
Ia menyumpahi kebodohannya dalam mengirim pesan. Ia mengutuk kejadian ini, ia menepuk kepalanya pelan lalu membaringkan tubuhnya.
Hujan Satria: Dasar makhluk typo!
******
Pergerakan detik jarum jam terasa menyiksa bagi Senja. Sudah berkali-kali ia menguap dan menahan bosan karena pelajaran yang satu ini. Yap, Bu Dina-guru sejarah- sedang menjelaskan siklus hidup manusia praaksara dengan nada pelan yang terdengar seperti lagu pengantar tidur. Tak sedikit murid yang terlelap, buktinya sekarang saja Leoni -yang dikenal sangat rajin mencatat- malah tertidur dengan nyaman dan tenang. Sambil meminum air, Senja mengusap matanya yang memaksa untuk terpejam untuk kesekian kalinya.
Ketenangan yang diciptakan, hujan yang turun deras diluar, semilir angin dingin yang menyergap, menambah nikmatnya suasana untuk tertidur di siang hari seperti ini. Senja lelah, tangannya pegal menulis apa yang dikatakan Bu Dina yang sedari tadi berceloteh ria padahal ia sadar sebagian muridnya sudah hilang sadar, hanyut dalam mimpi. Dia berdiri, lalu meminta izin keluar kelas karena ingin buang air kecil dan membasuh muka.
Sekarang ia sudah berdiri di depan pintu kelasnya, lalu tiba-tiba ada tangan yang menarik lengannya pelan.
"Mau keluar?" suara laki-laki membuatnya mendongak untuk melihat sedikit wajah lelaki itu. Hujan tepat berdiri dihadapannya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Senja menatap guratan wajah Hujan yang diterpa sinar matahari.
Lo ternyata ganteng, ya? Suami idaman deh, gemes. Senja tersenyum kecil dengan pemikirannya itu.
"Kenapa lo natap gue kayak gitu?" tanya Hujan heran.
"Nggak kok. Ge-er."
"Ikut gue, yuk!"
"Kemana?"
"Ayo!"
"Kemana dulu? Lo mau nyulik gue, ya?
"Haha.. Pertanyaan lo. Bawel lo, cumi!" sambil terkekeh, Hujan mengamit tangan Senja lalu membawanya ke parkiran motor. "Mau bolos bentar?"
Kemudian, Hujan menyalakan motornya lalu menyuruh Senja naik ke atas motornya. Mereka melewati gerbang begitu saja karena tak ada satu pun satpam yang berjaga disana. Hujan leluasa mengendarai motornya, sambil terus menambah kecepatan kendaraaannya itu.
"LO MAU BUAT GUE MATI, YA?!!" Senja berpegangan erat pada jaket yang dikenakan Hujan.
"Iya. Emang kenapa?" Hujan menoleh sekilas pada Senja yang terlihat ketakutan.
"GILA LO, YA?!! MASA DEPAN CERAH GUE BISA RUSAK, TAU NGGAK!!" Senja pasrah dengan nyawanya. Jikalau ia mati, yang pertama kali yang akan ia lakukan adalah menggentayangi Hujan dan menerornya.
Hujan terkekeh, ia melirik melalui kaca spion wajah Senja yang pasrah akan keadaan. Ingin sekali ia mencubit pipi Senja yang terlihat menggemaskan dan seperti biasa, ia akan melihat jiwa macan tutul Senja yang akan keluar dan bersiap akan menerkamnya dengan cibiran.
"Nja?"
"Ya?" jawab Senja cepat.
"Lo masih mau merem terus?"
"Serem cuy, lo ngebut kayak kesetanan."
"Ah masa?" Hujan dengan nada menggoda lalu menoel dagu Senja.
"Hih," Senja membuka matanya, ia baru sadar jika ternyata mereka sudah berhenti di suatu tempat.
"Oh. Dah sampe, ya?"
Hujan berdecak. "Ck, udah dari tadi, kepiting."
"Oh" Senja mengangguk. "Baguslah! Setannya udah keluar dari tubuh lo."
"Sialan. Kurang ajar," cibir Hujan. "Ayo turun, gue mau liatin lo sesuatu."
"Loh,  mau kemana lagi?"
"Elah, kepo bener sih, lo? Ba to the wel."
"Ternyata, lo bisa alay juga, ya?"
"Berisik lo,"
"Cogan alay? Heran gue, kenapa banyak cewe yang ngejar-ngejar lo."
"Termasuk lo, kan?" Hujan tersenyum puas.
"Nggak. Dasar Ge-er pala kebo!"
"Ayo!"
Senja hanya menurut dan mengikuti langkah Hujan dibelakang. Ia menunduk. Pikiran Senja melayang kemana-mana. Terkadang, tanpa sadar, ia merasa seperti di dalam mimpi yang panjang dan tak ada seorang pun mampu membangunkannya. Ia diam saja karena sekarang ia sedang terbawa kembali oleh kenangan kecilnya bersama mantannya, Angga. Ia masih belum bisa merelakan berakhirnya suatu hubungan, karena menurutnya hubungan itu bukan sesuatu yang bisa dipermainkan. Dan satu lagi, ia tidak suka dipermainkan. Alasan Angga memutuskannya pun belum ia ketahui secara jelas. Angga hanya berkata bahwa ia merasa bosan dan butuh sendiri. Ia ingin mengembalikan pikirannya yang kacau balau karena sesuatu yang entah tidak ia ketahui. Senja bisa saja tanpa diduga nangis kejer disini, tapi sekarang ia tengah bersama Hujan. Bagaimana bisa ia menurunkan harga dirinya? Dihadapan iblis seperempat malaikat ini? Bisa-bisa ia akan menjelma jadi manusia cengeng yang alaynya nggak ketulungan.
"Nja, lo ngelamun ya?" Hujan menoleh pada Senja sambil mengamati perubahan raut wajahnya.
"Enggak. Nggak kok," Senja tersenyum lalu ia menarik napas panjang.
"Lihat ke depan deh,"
"Hah?" Senja menatap lurus pada Hujan.
"Tuh, liat disana." Hujan menunjukkan jarinya ke arah sesuatu yang ada dihadapan mereka.
Senja bergumam lalu takjub akan apa yang dilihatnya. Bahkan ia tak sempat sekadar berucap 'subhanallah' karena ia sudah terbawa akan keindahan yang ada didepannya. Hampir saja ia menitikkan air mata haru, namun tiba-tiba Hujan merangkulnya.
"Kadang kesedihan itu bakal hilang seiring berjalannya waktu, Nja. Dan gue janji, gue bakal jadi katalisator kebahagiaan lo."

Media: It Will Rain- Bruno Mars

maaf ya author telat update bab ini😭😭 *author nangis kejer* *guling-guling* btw, bentar lagi author mau uts, jadi author ijin nelat update seminggu ya😩😩 sorry

Jangan lupa buat vomment ya😘😘

HUJAN DAN SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang