"Aku kuat, aku pasti bisa menghadapi semua ini sendirian..."
.
.
Suara langkah kaki diikuti suara nafas seorang gadis yang memburu terdengar di sepanjang jalan masuk hutan yang tengah sepi pagi itu. Gadis dengan tudung merah itu tengah berlari dengan sejumlah rasa khawatir di benaknya. Udara dingin pagi hari yang bagai menusuk-nusuk kulitnya tak dihiraukan. Ia bahkan sudah pernah merasakan dingin yang lebih dingin daripada ini.
Red tak bisa berlama-lama menunggu untuk berpikir jernih. Apa yang ada di kepalanya saat ini hanyalah bagaimana cara menghindarkan neneknya dan Sky dari orang yang telah membunuh mereka. Ia harus melakukan ini secepatnya sebelum semuanya terlambat.
Setelah beberapa lama berlari, Red sampai di depan pondok kecil bertapkan jerami yang dindingnya berwarna putih tulang. Keadaannya sama seperti ketika ia masih menjalani kehidupan normalnya; damai dan tenang. Red berhenti dengan nafas terengah. Ia memandangi pondok tersebut dengan perasaan lega. Namun perasaan lega itu tak akan berlangsung lama. Pondok kecil yang damai itu akan dipenuhi genangan darah apabila ia tidak merubah takdir yang ditentukan.
Pintu pondok itu terbuka, diikuti oleh suara deritan yang khas. Sosok siluman rubah muncul dari baliknya sembari membawa sebuah keranjang kosong. Kepalanya menoleh ke bagian dalam pondok, tampak berbicara dengan seseorang di dalam sana, sebelum ia menghadap ke depan dan bertatapan dengan seorang gadis bertudung merah yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"S-Sky..," ucap Red.
***
"Kalian harus pergi dari sini secepatnya, tempat ini sudah tidak aman," ucap Red yang sukses membuat Sky dan Velarie sang nenek selaku penghuni pondok tersentak.
"Memangnya ada apa?" tanya Sky. Dirinya agak kesal karena gadis bernama Red itu secara tidak sopan telah berani nyelonong masuk ke tempat tinggalnya dan memaksanya untuk masuk sehingga sekarang ia terlambat mengambil tanaman obat, serta kini gadis itu telah berani-beraninya mengusir dirinya dan Velarie dari tempat tinggal mereka sendiri tanpa alasan yang jelas.
"Ya, Red, coba jelaskan pada kami apa maksud dari perkataanmu itu," ucap Velarie.
Red menggigit bibir, bingung untuk berkata. Sulit untuk menjelaskan semuanya pada Sky dan Velarie yang mungkin tak akan memercayai apa yang ia jelaskan karena itu sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin ia mengatakan pada mereka kalau sebenarnya, mereka bertiga sudah mati?
"Ikuti saja kata-kataku. Aku melakukan semua ini juga untuk kebaikan kalian sendiri," jawab Red. Ia kemudian berdiri dari kursi kayu yang didudukinya.
Red berjalan ke arah jendela kecil yang berada di dekat pintu. Jendela itu ditutupi oleh tirai tipis. Red menyibakkannya sedikit, menyisakan celah sempit yang cukup bagi indera penglihatannya untuk melihat keadaan di luar. Apa yang dilakukannya menujukkan bahwa ia sedang sangat waspada. Pintu kayu yang berada di kanan jendela itu sendiri sudah ditutup rapat-rapat. Semua itu dilakukannya untuk menghindari kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Red beralih dari jendela begitu semua dirasanya telah aman. Nafas lega berhembus dari hidungnya setelah itu.
"Jadi," Ucapan dari Sky menyentaknya. "ke mana kami harus pergi?"
Nah, kalau itu, Red belum memikirkannya. Ia kembali dibuat bingung saat ini. Kira-kira tempat mana yamg tepat bagi mereka agar terlindung dari jangkauan pria pembunuh itu? Jika pembunuh itu tinggal di hutan, maka mungkin ia masih memunyai kesempatan untuk mengejar dan menyerang mereka sewaktu-waktu. Jika Red membawa Sky dan Velarie ke kota, ia yakin kehidupan mereka akan lebih sulit di sana.
Red menggelengkan kepala. "Aku...aku tidak tau."
"Lebih baik kita pikirkan dulu matang-matang sebelum kita pergi," usul Velarie.
"Kita tidak bisa menuruti perkataan gadis ini begitu saja, Nek. Alasannya menyuruh kita meninggalkan tempat ini saja tidak jelas. Ke mana ia akan membawa kita pergi pun tidak jelas. Lagipula, dia itu orang asing. Kita tidak boleh langsung percaya saja padanya," bisik Sky pada Velarie.
"Sky, dia cucu kandungku!"
Ucapan Velarie tersebut sukses membuat Sky terdiam dan merasa malu.
"Tapi tetap saja, Nek," Sky berbisik lagi. "maafkan aku, tapi sepertinya cucumu yang satu ini pikirannya agak tidak sehat."
Tatapan tajam Velarie membuat Sky tersentak, kemudian diam seribu bahasa.
"Aku tau kalian berdua bingung dengan apa yang kuperbuat," ucap Red. Sky dan Velarie menoleh padanya. "Tapi kumohon percayalah pada kata-kataku. Aku melakukan semua ini demi kalian berdua."
"Kalau begitu, tolong jelaskan pada kami apa alasanmu melakukan semua ini," tuntut Sky.
Red menghela napas. "Baiklah, akan aku ceritakan." kemudian ia menjelaskan, "Ada seorang penyihir berelemen es yang akan membunuh kita bertiga nantinya. Meskipun aku yakin rumah ini sudah dilindungi sihir oleh Nenek, orang itu masih bisa menembusnya. Kemungkinan, ia tinggal di sekitar sini, di dalam hutan ini. Dan untuk menghindarkan kalian dari orang itu, aku harus membawa kalian pergi dari sini. Seperti yang kubilang tadi, pondok ini sudah tidak aman. Nenek sudah terlalu tua untuk melawan sihir orang itu. Sky, kau dan aku tak mungkin mampu bahkan untuk menyelamatkan nyawa kita sendiri dari orang itu."
Sky manggut-manggut mendengar penjelasan Red. Velarie tersenyum karena cucunya itu sudah mau terbuka pada mereka.
"Apa yang kuucapkan tadi jelas?" tanya Red
"Ya, tapi tunggu dulu, bagaimana kau tau kalau nantinya aku dan Nenek akan mati karena dibunuh oleh orang yang kau sebutkan tadi?" tanya Sky.
"Itu... Rahasia," jawab Red singkat.
Sky kembali dibuat heran atas jawaban yang didapatkannya dari gadis itu.
Red beranjak dari kursi dan kembali menuju jendela, mengintip sesuatu di luar sana melalui celah di antara dinding dan tirai tipis yang menutupi jendela. Tak lama kemudian, ia berbalik, menghadap ke arah Sky dan Velarie yang menatapnya dengan perasaan heran.
Namun Red merasa tak perlu menghiraukannya. Ia berkata, "Kita masih punya kesempatan lima hari lagi sebelum peristiwa itu terjadi. Kita harus mendapat tempat berlindung secepatnya. Aku tanya lagi, apakah kalian memunyai tempat tinggal yang lebih aman daripada di sini?"
"Sepertinya Nenek tau," ucap Velarie.
Red dengan segera kembali duduk di kursi kayu di sebelah kanan ranjang veary tua itu. "Di mana itu, Nek?"
"Nenek memunyai teman seorang Dryad. Ia tinggal di perkampungan Dryad yang bisa kita capai dengan berjalan lurus ke arah Timur dari sini. Seperti yang kita ketahui, Dryad adalah peri penjaga hutan. Seluruh hutan ini adalah kekuasaannya. Sihir mereka jauh lebih kuat dibandingkan dengan veary tua sepertiku. Bahkan mungkin mereka bisa mengalahkan penyihir berelemen es yang kau katakan itu."
Red tampak menimbang-nimbang usulan itu.
"Tapi, Nek, perkampungan Dryad jauh jaraknya dari sini. Bagaimana jika di tengah perjalanan nanti kita mendapatkan bahaya?" sanggah Sky.
Hal itu turut membuat Red ragu atas usulan neneknya.
"Roh-roh penjaga hutan akan turut melindungi perjalanan kita," ucap Velarie. "Kau lupa ya, Sky? Para roh di hutan ini berteman baik dengan Nenek."
Sky kembali teringat saat-saat ketika dirinya untuk pertama kalinya melihat roh berwujud seorang wanita dengan pakaian serbaputih. Badannya merinding seketika. Itu adalah salah satu pengalaman paling menyeramkan yang pernah ia alami. Tapi begitu mengingat roh tersebut adalah teman Velarie, rasa takutnya jadi berkurang.
"Sudah diputuskan," ucap Red. "Aku telah memilih jalan ini sebagai penyelamat takdir kita. Kira-kira berapa waktu yang kita butuhkan untuk mencapai perkampungan itu?"
"Kurang lebih tiga hari," jawab Sky.
"Berarti kita harus berangkat ke sana hari ini juga."
To be continue..
Maaf kalau chapter ini lebih pendek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle ( Sudah Terbit )
Fantasy(Beberapa konten dihapus untuk kepentingan penerbitan) Kutukan. Itulah yang dipikirkan Red begitu mengetahui dirinya terus-menerus mengulang sebuah kehidupan meskipun sebelumnya ia sudah mati. Namun rupanya hal itu tidak seperti yang ia pikirkan. Se...