Griselle masih berdiri di tengah lambang sihir yang ia buat. Matanya yang semula terpejam perlahan membuka begitu telinganya mendengar sesuatu. Ia menoleh ke belakang dan mendapati sesuatu keluar dari balik bayangan pepohonan.
"Syukurlah," ucapnya. "Aku bersyukur kalian selamat Sky, Velarie."
Kedua sosok yang baru saja keluar dari rimbunan pohon itu sama-sama terkejut dan menyebutkan nama yang sama, "Griselle?"
Griselle tertawa begitu melihat wajah heran Sky dan Velarie. Mungkin aneh bagi mereka melihatku masih hidup, pikir Griselle.
"Bukankah kau...."
Griselle sudah memberi isyarat untuk mendekat sebelum Sky menyelesaikan kalimatnya. Rubah itu menoleh pada Velarie yang berada dalam gendongannya. Velarie mengangguk, meski keraguan masih tergambar dalam wajah keriputnya. Dengan takut-takut, Sky berjalan menginjak lambang sihir yang berpendar kebiruan. Namun selain merasakan sensasi hangat yang nyaman, ia tidak merasakan sesuatu yang lain.
Ketika sampai di depan Griselle, Sky sama sekali tidak dapat berkata-kata. Griselle masih sama seperti duabelas tahun yang lalu, muda dan cantik. Bagi Sky, dapat bertemu kembali dengan Griselle adalah sebuah mimpi. Hampir sama seperti Sky, Velarie merasa bahwa pertemuannya dengan Griselle saat ini adalah kemustahilan. Ia ingat, juniornya dalam pelatihan sihir ini meninggal dibunuh penyihir api duabelas tahun yang lalu.
"Apakah benar-benar Griselle?" tanya Velarie sembari menatap Griselle lekat-lekat.
Griselle kembali tertawa. "Iya. Aku Griselle. Lama tak berjumpa ya, Kak Velarie."
"Tapi ... bagaimana bisa?"
"Ceritanya panjang, mau dengar?"
***
Udara di sekitar menjadi semakin dingin. Red menggigil. Kehangatan yang tadi menyelimuti tubuhnya hilang entah ke mana. Hawa dingin seolah menusuk-nusuk tubuhnya, merasuk dalam jiwanya, membuatnya seolah membeku. Pedang pemberia Griselle tidak lagi berada dalam genggamannya. Benda itu teronggok di tanah beberapa meter jauhnya dari tempat Red berada, bersama dengan tangan kanan Red yang terpotong.
Beberapa menit yang lalu, keduanya sama-sama terdiam dan beradu pandang. Red mencengkeram erat pedangnya dengan perasaan dendam yang menyelimuti. Ia menerjang Abelard tanpa ancang-ancang, menghunuskan pedang ke sembarang arah. Abelard yang berada dalam tubuh Lyre dapat menghindar dengan mudah. Red menyerang lagi sembari berteriak. Emosinya tersulut begitu Abelard mengatakan bahwa ia adalah domba kecil lemah yang nantinya berakhir menjadi mangsa. Gerakan Red tak terkendali karena hatinya kacau. Beberapa saat kemudian, gerakannya terhenti. Pedangnya seolah terpaku di udara, tak mau bergerak sama sekali.
Giliran Abelard yang melancarkan serangan. Ia merapatkan jari-jarinya, membentuknya sebagai pedang alami. Ia mengarahkan tangannya ke dada kiri Red dengan gerakan menukik. Saat itulah Red menyadari sesuatu. Dari aura yang ia rasakan, ia tahu siapa pemuda di depannya. Abelard, satu nama yang dilupakannya dari awal ketika ia ingin menyerang. Pedangnya masih tak mau bergerak. Dalam hati, ia berharap pedangnya bergerak lagi dan memotong tangan Abelard. Pedang itu bereaksi terhadap permohonannya. Sebelum tangan Abelard berhasil menusuk dada Red, pedang itu bergerak ke atas dengan cepat, menciptakan garis melintang panjang sebagai akibat dari pergerakan itu. Tangan Abelard terputus.
Red terdiam. Pedangnya bergerak sendiri, sesuai apa yang hatinya katakan. Ia melihat potongan tangan yang teronggok di atas es dengan tatapan nanar. Entah mengapa, hatinya tiba-tiba tergerak untuk memotong tubuh Abelard lebih banyak lagi. Dendam. Hati Red berselimut hitam. Seluruh pandangannya berwarna temaram. Ia tidak bisa memikirkan apapun kecuali memotong dan membunuh. Pedangnya kini berayun berdasarkan gerakan tangannya, menyabet Abelard.
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle ( Sudah Terbit )
Fantasy(Beberapa konten dihapus untuk kepentingan penerbitan) Kutukan. Itulah yang dipikirkan Red begitu mengetahui dirinya terus-menerus mengulang sebuah kehidupan meskipun sebelumnya ia sudah mati. Namun rupanya hal itu tidak seperti yang ia pikirkan. Se...