23

21 8 0
                                    

Nica terbelalak begitu mendapati pintu gubuknya telah rusak. Pintu itu teronggok begitu saja di tanah. Lubang besar dari tempat seharusnya pintu itu berada kini menganga lebar, memperburuk penampilan tempat tinggalnya yang dari dulu sudah buruk. Dengan panik, ia berlari ke dalam. Ruangan di dalam gubuk itu kosong. Hanya tampak potongan-potongan tubuh yang belum sempat dimakan oleh Herman dan kepala penyihir setengah veary yang menjadi koleksinya. Ia tidak menemukan Red.

"Sialan!" umpat Nica. "Gadis itu telah kabur!"

"Apa kubilang? Seharusnya kau mempererat ikatannya," ucap Herman.

"Kau menyalahkanku, hah? Lihat ini!" Nica menunjuk pintu kayu yang tergeletak begitu saja di atas tanah. "Dia menghancurkan pintu markas kita! Dan kau tau penyebabnya?" Ia memukul dinding gubuknya. Lubang baru tercipta sebagai hasil dari pukulannya. "Kayunya sudah lapuk! Kemarin kau kusuruh menggantinya, tetapi kau tidak mau. Sekarang lihat akibatnya!"

"Ya, ya, terserah! Salahkan saja diriku!" Herman duduk di atas batu, kemudian memalingkan wajahnya dari Nica.

Nica menjambak rambutnya, frustrasi. "Sudah gagal mendapatkan jantung veary, gagal membalaskan dendam, sekarang seorang calon korban telah kabur. Hari ini aku benar-benar sial!"

Herman mendengus, kemudian menopang dagu. Perutnya tiba-tiba berbunyi. Ia teringat potongan tangan yang belum dimakannya tadi pagi. Lycan itu melirik Nica yang kini tengah menjambak rambutnya hingga kepalanya berdarah. Herman memalingkan wajah lagi. Ia harus melupakan rasa laparnya sejenak. Ia takut Nica semakin kalap ketika melihatnya diam-diam memakan sarapannya. Nona rubahnya itu tidak akan bisa diganggu saat sedang frustrasi seperti ini.

***

"Di mana ini?" desis Red.

Cahaya Katherine memang berhasil membawanya pergi jauh-jauh dari markas itu dan memperkecil kemungkinan untuk kembali tertangkap oleh Nica. Tetapi tempatnya berdiri kali ini terasa lebih asing dari tempat sebelumnya. Terlebih lagi, Katherine kini menghilang entah ke mana.

Red berjalan menyusuri ruangan luas yang berdinding cokelat tua. Tidak ada apapun di ruangan ini. Penerangannya cukup minim, namun Red masih dapat melihat dengan jelas. Gadis itu kemudian mendongak. Langit-langitnya amat tinggi sehingga tak terlihat puncaknya. Saking tingginya, hanya tampak kegelapan di atas sana.

"Red!" Suara Katherine kembali terdengar.

Red terlonjak kaget begitu roh pohon berwujud gadis kecil itu sudah berada tepat di depannya. "Ke mana saja kau? Aku mencarimu daritadi." Gadis itu memegangi dadanya, merasakan detak jantungnya yang seolah-olah berlomba-lomba. "Dan ... di mana ini?"

"Kita berada di dalam pohon," jawab Katherine.

"Hah?"

"Tidak usah kaget begitu. Duduk di situ! Aku akan menjelaskan semuanya padamu." Katherine duduk di sebuah kursi kayu yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya.

Red, untuk ke sekian kalinya, harus kembali terkejut mendapati sebuah kursi kayu tiba-tiba saja sudah berada di depannya. Gadis itu menghela napas sembari berusaha menenangkan dirinya sendiri. Dari awal, semua yang terjadi padanya sangat aneh. Mulai dari bisikan misterius yang ia dengar di loteng, hingga dirinya yang sudah mati kemudian tiba-tiba hidup kembali. Hal-hal yang berkaitan dengan sihir seperti ini seharusnya sudah bisa ia hadapi dengan perasaan tenang.

"Apa kau merasa bahwa selama ini dirimu sudah mati?"

Baru saja Red menaruh pantatnya di kursi kayu yang ternyata terasa empuk tersebut, Katherine sudah menanyainya hal yang tak terduga. "Dari mana kau tahu?"

"Apa setelah mati, kau terbangun di kehidupanmu sebelumnya dengan tubuh yang utuh dan sehat, sementara yang kau ingat, kau sudah mati dengan tubuh penuh luka?"

Red mengernyit. Pikirannya dipenuhi pertanyaan akan siapa sebenarnya Katherine. Ia kira peristiwa pengulangan yang selama ini dialaminya hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Kenapa tiba-tiba Katherine mengetahuinya? "Katherine—"

"Kau ingin tahu dari mana aku tahu semua ini?"

Red mengangguk. "Memang itu yang kutanyakan dari awal."

Katherine tersenyum. Senyum itu tampak lebih dewasa dari penampilannya yang berupa gadis kecil. "Akulah yang mengatur semuanya. Aku yang membuatmu hidup kembali."

Red kembali terbelalak. Jantungnya berpacu lebih cepat daripada sebelumnya. "Jangan bercanda!"

"Aku tidak sedang bercanda, Alaris Alberda." Katherine berdiri. Sosoknya berubah dari gadis kecil berambut cokelat menjadi seorang wanita dengan rambut putih bergelombang. Seorang veary. "Ah ya, pernkenalkan, namaku Griselle."

Rasanya Red ingin sekali berteriak. Ia memegangi dadanya lagi dan mencoba mengatur napas. Jadi selama ini ... Katherine adalah veary yang menyamar, begitu? Jadi selama ini wanita di depannya ini juga memata-matai dirinya sampai tahu nama aslinya? Gadis itu mulai tertawa. Namun tawanya terdengar tidak normal. "Semua ini membuatku gila, kau tahu?" Ia menatap nanar Griselle. Air mata mengalir menuruni pipinya. "Sampai kapan kau memberiku kejutan-kejutan tidak berguna seperti ini, hah?"

Griselle memiringkan kepala. "Aku jadi bingung. Bukankah kau seharusnya berterima kasih atas penjelasan yang aku berikan? Dan asal kau tahu, semua yang aku lakukan adalah untuk menyelamatkan dirimu dan semua orang. Jika guruku, Abelard sampai mendapatkan jantungmu, bisa bahaya nantinya."

"Kenapa harus aku?" Red terisak. "Kenapa bukan orang lain?"

Griselle memutar bola matanya. "Kenapa justru pertanyaan itu yang keluar dari mulutmu?" Veary itu beranjak dari kursinya dan berjalan ke arah Red. Ia memegang kedua pipi Red dan mengangkat wajah gadis itu agar dapat bersitatap dengannya. "Dengar ya, gadis kecil, inilah takdirmu. Lakukan apa yang harus kau lakukan. Jangan berhenti berusaha. Jangan sekali-kali melarikan diri dan jangan sekali-kali menyerah. Kau belum kalah. Pertunjukan baru saja dimulai. Jika kau terus maju, kau akan menang. Jika kau terus bersikap seperti gadis kecil cengeng seperti ini, Abelard akan melahapmu. Itu artinya, kau kalah. Semua tidak akan berubah bila bukan kau yang merubahnya. Mengerti?"

Red mengangguk. Pegangan tangan Griselle pada pipinya telah terlepas. Gadis itu menghela napas. Dihapusnya semua jejak air mata yang membasahi wajahnya. Apa yang dikatakan oleh Griselle ada benarnya juga. Menangis tidak akan merubah apapun. Yang perlu ia lakukan adalah berdiri dan terus maju.

"Sekarang, kita selamatkan Velarie dan Sky dulu," ucap Griselle.

Red mengernyit. Bagaimana Griselle bisa tau nama neneknya dan Sky? Veary ini terlalu misterius untuknya.

"Setelah itu, kita hadapi Abelard," sambung Griselle. Kemudian kembali menatap Red. "Kau siap?"

Gadis itu mengangguk mantap.

To be continue....

�\�����#�g�l�

Struggle ( Sudah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang