Red menggerakkan tangannya yang terikat, berharap usahanya itu akan berhasil membuat kedua tangannya terlepas dari tali yang diikatkan. Baru sekali mencoba, hasilnya nihil. Pergelangan tangannya lecet dan berdarah. Red meringis begitu rasa perih datang mendera pergelangan tangannya.
"Tidak bisa," desisnya.
Bau anyir yang memenuhi seluruh ruangan membuat kepalanya semakin pusing. Napasnya terasa sesak. Telinganya mendengar suara benda jatuh. Benda itu menggelinding di bawah kakinya. Red berjengit begitu kakinya merasakan sesuatu yang berambut. Ia meringis, menahan segala rasa yang selama ini ditahannya. Ia jijik, takut, ingin muntah. Berada di sarang psikopat seperti ini adalah mimpi buruk baginya.
Pikirannya melayang pada Sky dan Velarie. Bagaimana keadaan mereka sekarang? Jika saja dari awal Sky mau mempercayainya, ini semua tidak akan terjadi. Andai saja ... andai saja ia bisa sedikit lebih cerdas, lebih tangkas, dan lebih kuat, ia pasti dapat menghadapi semuanya dengan mudah. Itulah yang dipikirkannya saat ini.
Air mata Red mengalir turun. Apa tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu detik-detik kematiannya? Apakah ia harus menyerah pada takdir yang membawanya hingga terlunta-lunta dalam arus waktu yang tak menentu? Apakah ia harus mengulang semua dari awal lagi, bertemu Sky lagi, kabur lagi, mengabaikan sesuatu lagi, dan ... mati lagi? Untuk kesekian kalinya? Untuk saat ini, Red tidak menginginkan hal itu.
Ia menggerakkan tangannya, mengabaikan luka gores yang semakin lebar dan rasa perih yang mendera. Usaha keduanya membuahkan hasil. Tangan kanannya hampir terlepas dari ikatan tali. Ia menarik tangan kanannya lagi, lebih kuat. Luka goresnya semakin lebar. Namun Red tak peduli. Pada akhirnya, tangan kanannya berhasil terlepas seluruhnya.
Red ingin memekik senang setelah tangan kanannya berhasil terlepas. Namun, ia urung. Bisa saja Nica dan Herman masih berada tak jauh dari sini dan mendengar suaranya, bukan? Lagipula, tangan kiri belum terlepas dan ia masih belum keluar dari gubuk menyesakkan ini. Ia belum bebas sepenuhnya. Terlalu cepat baginya untuk merasa senang.
Red menarik tangan kirinya dengan bantuan tangan kanan. Ia meringis luka baru yang lebih dalam tercipta di pergelangan tangannya. Tangan kiri berhasil terlepas, lebih mudah dari tangan kanan. Namun kemudian, Red merasa kakinya begitu lemas. Ia terduduk di lantai. Satu tangannya bertumpu pada lantai, sebisa mungkin tidak menyentuh darah kering yang membasahi lantai dan benda bulat berambut yang tadi terjatuh dari rak (baca : kepala).
Red meraih kaki kursi yang berada di dekatnya. Ia menggunakan kursi tersebut sebagai tumpuan untuk membantukan berdiri. Dari kursi, tangannya beralih meraba meja. Pelan-pelan ia berjalan menuju arah yang ia yakini adalah tempat pintu berada. Tangannya tak sengaja menyentuh sesuatu yang lengket dan kenyal. Red segera mengalihkan tangannya ke sisi lain, menjauhi sisa makanan Herman yang tidak bisa ia lihat dalam gelap.
Gagang pintu berhasil ia raih. Ia mendorong pintu itu, namun pintu tidak terbuka. Tentu saja, Nica menguncinya dari luar rapat-rapat. Red meraba pintu, mencari celah. Ia menarik-narik gagang pintu. Nihil. Dengan sisa tenganya, ia menggedor pintu. Nihil. Ia meraba lagi. Tetap tidak ada celah. Ia berhenti, pandangan diedarkan ke seluruh ruangan. Percuma. Yang ia lihat hanyalah kegelapan. Tidak ada celah yang ia lihat. Gubuk ini tertutup rapat. Tidak ada sepercik cahayapun di sini.
Red kembali terduduk di lantai. Harapannya sempat pupus. Namun rasa menyerah yang ia rasakan hanya sementara. Red bisa melihat sepercik cahaya merambat dari balik bahunya. Ia berbalik. Celah kecil tercipta di antara dinding dan pintu. Senyum Red merekah. Celah itu tercipta akinat gedorannya tadi. Berarti usahanya tidaklah sia-sia.
Ia berdiri lagi. Digedornya pintu kayu itu berkali-kali, lebih keras, tak peduli seberapa kecil tenaganya. Celah itu melebar. Engsel pintu bagian bawah terputus. Red semakin bersemangat. Ia beralih menendang pintu itu berkali-kali. Engsel atas hampir terputus. Red menendangnya lagi dengan sisa tenaga yang ia miliki sampai engsel atas benar-benar terlepas dari pintu. Pintu ambruk ke bawah. Red sedikit menghindar. Sebatang kayu yang digunakan untuk menahan pintu dari luar terlepas.
Red terpicing begitu matanya dibutakan oleh cahaya terang. Setelah dapat menyesuaikan pandangan, ia dapat melihat deretan pepohonan, rumput, dan semak belukar. Hidungnya menghirup udara segar dalam-dalam. Rasanya sudah lama sejak ia terkurung di gubuk ini dan menghirup bau anyir selama beberapa waktu. Red melirik sekitar, memastikan keberadaan Nica dan Herman. Dua orang yang menculiknya itu tidak ada di sini. Mungkin mereka telah berada cukup jauh dari tempat Red berada. Syukurlah, batin Red.
Ia pun berdiri dan berjalan menjauhi gubuk itu. Kakinya yang telanjang berjengit ketika menginjak rerumputan. Ia tidak tahu ke mana lagi harus menuju. Perutnya keroncongan. Matanya berbinar ketika melihat semak berisikan buah beri berwarna merah tumbuh subur di balik sebuah pohon. Red mengambil beberapa dan memakannya. Ia mengambil beberapa beri lagi dan memakannya lagi. Ia makan seperti orang kesetanan. Perutnya benar-benar lapar. Tenggorokannya kering. Untunglah beri yang ia temukan bisa menyembuhkan rasa lapar dan dahaganya.
Red tiba-tiba mendengar bunyi langkah dua orang yang mendekat. Jantungnya kembali berpacu. Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari meninggalkan semak berisi buah beri itu. Ia bersembunyi di balik pepohonan, di balik semak, sembari melangkah perlahan-lahan agar tidak terdengar. Nica dan Herman mungkin sudah kembali. Ini gawat, pikir Red.
Saat pikirannya dipenuhi kekalutan, tiba-tiba saja sesosok roh pohon berwujud anak kecil dengan rambut cokelat muncul di hadapannya. Red hampir saja memekik ketika ia menyadari siapa yang berada di depannya.
"Katherine," ucapnya tak percaya. "Syukurlah kau di sini. Di mana roh pohon yang lain?"
Katherine tampak murung. "Mereka sudah kembali ... ke alam baka."
"Aku turut bersedih," ucap Red. Ia ingat apa yang dikatakan Velarie. Roh pohon adalah kumpulan jiwa manusia dan veary yang sudah meninggal. Mereka yang memiliki keinginan untuk tetap berada di dunia fana menempati pohon-pohon sebagai pengganti fisiknya. Mereka dapat kembali ke alam roh, apabila ada orang yang membebaskan mereka.
Langkah kaki itu semakin mendekat. Red menunduk, menyembunyikan sosoknya di balik rimbunan semak.
"Aku akan menolongmu," ucap Katherine, kemudian berjalan ke salah satu pohon. "Kemari!"
Red mengikutinya dengan takut-takut. Langkah kaki Nica dan Herman terdengar semakin mendekat. Katherine menggenggam tangan Red.
"Tutup matamu!" perintah Katherine.
Red merasakan sesuatu membalut kakinya. Sepertinya sepasang sepatu. Nyatanya memang begitu. Kaki Red yang berdarah pun sembuh seketika. Namun Katherine tidak memperbolehkan Red untuk membuka mata. Ia menjentikkan jarinya. Cahaya biru terang menyelimuti tubuh mereka berdua. Red melanggar perintah Katherine. Ia membuka mata dan terkejut mendapati sebuah cahaya biru terang memenuhi pandangannya. Beberapa detik kemudian, sosok mereka berdua menghilang dari tempat itu.
To be continue....
CHAPTER 22 BERHASIL UPDATE PEMIRSAH!!! HUAHAHAHAAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!
Readers : Thor, sehat?
AUTHOR GAK SEHAT. SEHATIN DONG!
BTW, HARI INI SAYA UPDATE DUA CHAPTER SEKALIGUS. SETELAH BACA CHAPTER 22 KUY BACA CHAPTER 26. PASTI PADA NUNGGUIN KAN???
Readers : Kagak Thor, kesel dianggurin.
JANGAN GITU DONG DER! DUH INI KENAPA TULISANNYA GEDE SEMUA ANJIR?
Red : Halo, RSJ?
KAMU SEDANG MEMBACA
Struggle ( Sudah Terbit )
Fantasy(Beberapa konten dihapus untuk kepentingan penerbitan) Kutukan. Itulah yang dipikirkan Red begitu mengetahui dirinya terus-menerus mengulang sebuah kehidupan meskipun sebelumnya ia sudah mati. Namun rupanya hal itu tidak seperti yang ia pikirkan. Se...