10

52 8 0
                                    

Gadis itu asyik memainkan pisau dengan tangannya sembari menatap dinding kayu yang dipenuhi oleh bercak darah dengan tatapan kosong. Pikirannya sedang melayang entah ke mana saat ini. Mungkin saja ia juga sedang memikirkan sebuah strategi untuk melancarkan serangan berikutnya, menghabisi musuh-musuhnya-manusia.

"Sampai kapan kau mau duduk di situ?" Suara berat itu mengalihkan perhatiannya. Sepercik cahaya menerangi wajahnya yang cantik begitu makhluk setengah serigala setengah manusia itu membuka pintu gubuk kecil itu.

"Hai Herman, sudah pulang? Apa kau menemukan mangsa yang lezat?" tanya gadis itu sambil memasang seringaian yang tidak selaras dengan wajah cantiknya.

Herman masuk dan menutup pintu hingga seluruh ruangan itu kembali dipenuhi kegelapan. "Ada wanita tua, gadis bertudung merah, dan pemuda setengah rubah seperti dirimu. Mereka dilindungi oleh sihir. Kita tidak bisa membunuhnya."

"Pemuda setengah rubah, hm?" Gadis itu menempelkan ujung pisau pada dagunya. Seringai di wajahnya semakin lebar. "Bawa aku pada mereka!"

"Sudah kubilang kita tidak bisa membunuh mereka."

"Apa yang tidak bisa kita lakukan? Kau ingat penyihir wanita dari Grotesfield? Sekarang kepalanya jadi milik kita. Bahkan sihirnya tidak berdaya menghadapi kita." Mata gadis itu melotot. Apabila ada sedikit cahaya yang menerangi wajahnya, ekspresinya pasti sangat menyeramkan. Tak lama kemudian, tawa yang sama sekali tidak anggun keluar dari mulutnya. "Aku punya urusan dengan pemuda setengah rubah itu. Kami harus menyelesaikannya di sini."

Herman menghela nafas. Tidak ada yang bisa ia lakukan bila nona-setengah-rubahnya sudah menggebu-nggebu seperti ini. "Baik, terserah."

"Hm, itu baru bagus." Gadis itu mengangguk. Ia kemudian turun dari meja yang didudukinya dan berjalan menuju sisi dinding yang dipenuhi oleh senjata tajam. Ia menanggalkan pisaunya dan membelai ujung dari sebuah kapak besar. "Aku harus menggunakan senjata yang mana ya?"

"Jangan bilang kau ingin menyiksa mereka juga."

Tertawaan kecil keluar dari mulut gadis itu. "Tentu saja, iya. Siksaan adalah cara yang tepat untuk membuat seseorang berbicara."

"Terserah kau saja. Yang penting aku mendapat bagian. Pagi ini aku mulai lapar."

"Kalau begitu bantu aku!"

"Baiklah, Nica."

***

Memasuki hari kedua, perjalanan mulai terasa melelahkan. Red mengambil botol dan meminum air di dalamnya. Hanya dalam dua tenggak, isinya pun kandas. Ini gawat. Ia tak membawa persediaan lagi. Padahal perjalanan masih jauh. Makanannya juga sudah habis. Ia tak mempunyai apa-apa sebagai bekal.

Ia melirik Sky dan Velarie. Dua orang itu nampak baik-baik saja. Bahkan Sky yang menggendong Velarie tak tampak kelelahan. Hebat, pikir Red. Padahal ia yang memaksa mereka untuk melakukan perjalanan, namun justru ia sendiri yang mudah lelah.

"Kau haus?" tanya Sky.

Red terkesiap. "Y-ya. Sedikit."

"Mau minum?"

Red mengangguk.

Berikutnya, dari sebuah pohon, keluarlah Katherine yang berkata, "Ada sungai kecil di sekitar sini. Mau kutunjukkan?"

"Ya, tolong tunjukkan. Kakak bertudung merah yang aneh ini butuh minum," ucap sky sambil menunjuk Red dengan jempolnya.

Red agak cemberut setelah mendengarnya. Aneh? Ia tidak aneh. Sky yang ia kenal dulu tidak seperti ini. Ia dulu lebih ramah, sedangkan sekarang nampak dingin. Rasanya ia jadi merindukan kehidupannya yang dulu. Andai saja serangkaian peristiwa pengulangan ini tidak terjadi.

Struggle ( Sudah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang