20

26 6 0
                                    

Ruangan gelap berbau anyir, badan pegal-pegal, tangan terikat, dan kaki digenangi darah adalah hal-hal yang telah Red jalani beberapa hari ini. Ketika ia terbangun, ia berharap dirinya sedang berada di kamar dan memulai semuanya dari awal. Ya, dari awal. Menurutnya, semua yang telah dilaluinya ini salah. Nica telah membuatnya tersiksa dengan membiarkannya tetap dalam posisi berdiri dan tangan terikat. Siluman itu bahkan tak memberinya makanan sedikitpun. Sumpah, Red lebih memilih mati daripada tersiksa seperti ini.

Tiba-tiba kepala Red terasa pusing. Kilasan-kilasan yang tampak seperti mimpi kabur kembali memenuhi kepalanya. Ia tidak mengenali siapapun yang muncul dalam kilasan itu, meskipun ia merasa mereka begitu mirip orang yang selama ini dikenalnya.

Krieett

Pintu kayu kembali terbuka, membawa secercah cahaya yang menerangi wajah pucat Red. Namun seperti biasa, cahaya itu tak dibiarkan berlama-lama masuk ke ruangan pengap itu. tak lama kemudian, pintu tertutup dan ruangan itu kembali gelap. Kali ini Red mencium bau darah yang kuat. Kilasan-kilasan itu menghilang seketika. Konsentrasinya terfokus pada aroma darah itu.

"Hn, aku mendapatkan makanan yang enak." Itu suara Herman. Meskipun nada dalam suaranya tampak tenang, lycan itu bisa saja sangat berbahaya. "Gadis bertudung merah, kau tidak makan? Mau daging segar?"

Red menggeleng dengan cepat. "Tidak." Suaranya terdengar serak.

"Ah, aku lupa. Veary sepertimu tidak suka makan daging. Haha."

Terdengar bunyi daging yang dirobek. Kemudian tulang yang sengaja dipatahkan. Red begidik ngeri mendengarnya. Untung kondisi ruangan cukup gelap sehingga dirinya tidak melihat langsung Herman yang tengah memakan potongan tangan dan kaki seorang manusia.

"Mmm, ini sangat enak lho, Veary." Herman mengunyah makanannya. "Sekali-kali kau juga harus mencobanya."

Red mencoba menahan muntah. Gadis itu tidak bisa membayangkan dirinya yang setengah manusia harus memakan manusia lainnya. Memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri.

"Jangan macam-macam dengannya, Herman."

Pintu kembali terbuka. Cahaya menyinari wajah Nica walaupun hanya sekilas. Setelah itu, pintu tertutup. Gelap. Red bingung bagaiamana Nica dan Dreck bisa hidup di dalam gubuk sempit, pengap, dan gelap seperti ini? Keduanya memang makhluk yang tak masuk akal.

"Nica, kau ke mana saja?" tanya Herman, masih mengunyah makanannya.

"Mencari si rubah dan nenek peot," jawab Nica. Siluman rubah itu mendengus. "tetapi aku sama sekali tidak menemukan jejak mereka. Setengah veary, apa kau tau di mana mereka?"

"Sudah kubilang beberapa kali, aku tidak tau." Red berusaha mengeraskan suaranya, namun masih saja terdengar serak.

Nica mendecak kesal. "Padahal veary itu sangat berharga. Aku baru melihat-lihat harga di pasar gelap kemarin, dan kau tau? Jantung veary mempunyai nilai jual yang tinggi. Pasti karena mereka sangat langka." Sebuah tawa keluar dari mulut si gadis rubah. "Bagaimana dengan setengah veary? Apa harganya sama-sama tinggi, atau lebih rendah? Atau bahkan lebih tinggi?"

Red begidik ngeri. Kenapa ia harus terjebak di sarang dua makhluk gila ini? Kenapa?

"Tunggu, Nica. Kau tidak sadar apa yang telah kau lakukan? Pergi ke pasar gelap yang penuh dengan manusia? Bukankah itu berbahaya? Saat ini, siluman sepertimu juga merupakan hal yang langka. Bisa saja kau ditangkap, kemudian—aw!"

Terdengar bunyi pukulan yang amat keras. Sepertinya Nica memukul Herman dengan benda yang terbuat dari besi.

"Kemudian apa? Dimutilasi, dikuliti, dicincang? Itu tidak akan terjadi padaku! Sebelum tangan manusia-manusia busuk itu menyentuhku, aku akan lebih dulu memotong kepala-kepala mereka. Kalau bisa, kuhancurkan dan kuinjak-injak sekalian. Cih!"

"Apa kau menggunakan batu sihir untuk penyamaran?"

"Tentu saja, bodoh! Mana mungkin aku pergi ke sana dalam wujud seperti ini?"

"Kalau begitu, syukurlah. Dasar. Kau terlalu cepat emosi akhir-akhir ini."

Tidak terdengar balasan dari Nica. Gadis rubah itu berjalan mendekati Red dengan pisau teracung.

Red merasakan dinginnya besi bersentuhan dengan kulitnya. Gadis itu mendongak, berusaha memperjauh jaraknya dengan pisau itu. Namun usahanya nihil. Pisau Nica kini berhasil menggores lehernya hingga mengeluarkan darah.

"Ada apa, setengah veary? Apa kau ketakutan? Ahahahaha ... aku bisa mendengar deru napasmu. Lucu sekali. Aku jadi teringat pada manusia setengah veary yang baru kubunuh tempo hari. Apa sebentar lagi kau akan menyusul ya?"

Red tidak menjawab. Pikirannya berkutat untuk memilih antara hidup dan mati. Aneh baginya. Beberapa menit lalu, ia berpikir lebih baik mati. Namun ketika Nica mengancam dengan pisaunya, ia merasa ingin hidup lebih lama lagi. Jadi, mana yang lebih baik? Hidup atau mati? Menjalani siksaan seperti ini sampai keajaiban datang, atau ... mati dan mengulang semua dari awal. Itupun kalau Red bisa terbangun lagi setelah mati. Ia juga sedikit meragukan hal itu.

Tidak! Batin Red berteriak Aku sudah berusaha sejauh ini. Aku tidak mau mati lagi!

Nica mendengus kesal begitu dirinya tak mendapat jawaban dari Red. "Herman, bagaimana menurutmu?"

"Kau harus memberiku bagian setelah membunuhnya."

"Maksudku, kapan sebaiknya aku membunuh manusia setengah veary ini? Apa secepatnya? Saat ini juga? Atau ... kubunuh dulu Sky sialan dan nenek peot yang hampir mendekati ajalnya itu?"

"Terserah."

BRAK

Lagi-lagi terdengar suara pukulan yang keras. Setelah itu, Herman melolong keras-keras. Alih-alih terdengar menyakitkan, lolongan itu terdengar sedikit pilu.

"Sakit, Nica! Kau membuat dua benjolan di kepalaku pagi ini!" ucap Herman.

"Berhenti memakan makananmu! Kita harus mencari nenek peot dan siluman rubah itu, sekarang!"

Terdengar suara pintu berderak terbuka. Nica berjalan keluar. Wajahnya tampak muram. Herman tampak menggerutu sebelum akhirnya mengikuti gadis siluman rubah itu. Kemudian, pintu dikunci dari luar. Kini, Red kembali sendirian dalam kegelapan. Mulutnya tak berhenti berdoa untuk keselamatan Velarie dan Sky

***

Suara dentingan besi yang beradu dengan es menyadarkan Lyre dari lamunannya. Tanpa sadar, ia telah menjatuhkan pisau yang ia bawa alih-alih menusukkannya ke dada Sky. Saat ingatan tentang masa kecil itu tiba-tiba kembali, niat membunuhnya lenyap seketika.

"S-Sky...," ucapnya lirih.

Abelard kembali menggeram, merasa tak puas akan pertunjukan yang diberikan oleh Lyre. Ia berharap pemuda itu sudah mampu membunuh mulai dari sekarang. Abelard mendecih dengan kesal. Telinganya terangkat ketika tiba-tiba dirinya menyadari sesuatu. Ia baru ingat. Pemuda rubah itu adalah teman Lyre semasa kecil. Raut serigala raksasa itu berubah menjadi marah.

"Padahal aku sudah menghapus ingatanmu," Abelard berdiri. "tetapi kenapa kau masih mengingatnya?"

Di saat bersamaan, tiba-tiba Sky terbangun. Siluman rubah itu terbalalak mendapati seekor serigala raksasa kini berdiri di hadapannya.

Abelard menatap ketiga makhluk kecil yang berada di bawah kakinya dengan raut marah. Pandangannya tertuju pada Lyre. "Dasar tidak berguna! Percuma saja aku mendidikmu selama 12 tahun kalau kau tidak berkembang sama sekali!" Serigala itu menunduk, mendekatkan moncong besarnya ke wajah Lyre. "Lebih baik kau mati!"

To be continue....

Happy Eid Mubarak 😁 Author minta maaf kalau punya salah sama kalian (telat woy)

Udah gitu doang? :"v Kehabisan kata-kata. (Chapter kemarin gak ada yang baca sih. Paling yang ini juga) eheh.

Struggle ( Sudah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang