24

25 4 0
                                    

Red berjalan mengekori Griselle. Sepanjang perjalanan, gadis itu menatap punggung Griselle dengan rasa penasaran. Bagaimana bisa veary itu bisa mengetahui semua tentangnya? Apakah dia mata-mata? Kemudian, kenapa veary itu tidak muncul lebih awal untuk memberitahukan semua padanya, sehingga ia tidak perlu berlarut-larut dalam masalah ini dan mengulang kehidupan hingga lelah?

"Ada apa?" tanya Griselle begitu menyadari dirinya terus-menerus diperhatikan oleh Red.

"Masih ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu," jawab Red.

"Apa itu? Tanyakan saja."

"Dari mana kau tahu nama asliku? Padahal ibuku tak pernah memberitahukannya kepada orang lain. Bahkan tetangga-tetanggaku pun tidak tahu."

"Aku mengetahuinya dari nenekmu, Velarie."

"Apa hubunganmu dengan nenekku?"

"Dia adalah seniorku di akademi."'

"Dan ... apa kau mengenal Sky? Maksudku, jauh sebelum ini."

Griselle mengangguk. "Aku pernah bertemu dengannya 12 tahun yang lalu, ketika siluman rubah itu masih dalam wujud bocah."

"Mengapa kau berpura-pura menjadi roh pohon sementara kau mengenal mereka berdua?"

Griselle menghela napas. "Gadis kecil, kau tidak bisa berhenti bertanya, ya?"

"Berhenti memanggilku gadis kecil! Umurku sudah 17 tahun."

"Tetatpi sifatmu masih seperti anak kecil." Griselle tertawa sinis. "Mana ada gadis 17 tahun yang masih cengeng seperti dirimu? Kau terlalu mudah untuk menangis."

Red mendecak kesal. "Siapa yang tidak menangis setelah mengalami hal-hal gila seperti ini?"

"Apa yang kulihat 12 tahun yang lalu justru lebih gila dari apa yang kaualami."

Red terdiam.

"Asal kau tahu, Sky dan Velarie juga mempunyai masa kelamnya sendiri. Sampai saat ini, hal itu mungkin masih menjadi trauma yang melekat di benak keduanya. Kau yang masih berada dalam pelukan ibumu waktu itu mana tahu rasanya melihat desa terbakar dan orang tua kandungmu terbunuh di depan matamu sendiri?"

Red menelan ludah. "Sky dan Nenek pernah mengalami hal semengerikan itu?"

Griselle memangguk. "Kami, para veary dan siluman rubah mengalami hal itu 12 tahun yang lalu. Apa kau pernah mendengar tentang pembantaian siluman?"

Red mengangguk.

"Saat itu, Sky yang masih berumur 7 tahun harus melihat ibu kandungnya dipenggal tepat di depannya. Velarie juga. Dia melihat dengan jelas teman-teman vearynya dibunuh secara kejam oleh prajurit kerajaan. Hanya keberuntungan yang membuat mereka bisa bertahan hidup sampai saat ini."

Red terdiam. Beberapa saat kemudian, ia kembali bertanya. "Lalu dirimu sendiri, sebenarnya siapa? Selain veary dan murid serigala raksasa bernama Abelard itu."

"Aku?" Griselle menunjuk dirinya sendiri sambil menoleh pada Red. Ia tersenyum begitu melihat ekspresi penasaran gadis itu. "Kalau kujelaskan, kau akan terkaget-agi nantinya."

Red mendengus. Griselle masih saja menyembunyikan jati dirinya. Misteri tentang siapa sebenarnya wanita itu ternyata tidak bisa diungkap dengan mudah.

"Kau mau bertanya apa lagi?" tawar Griselle karena Red tidak mengajukan pertanyaan langsung seperti sebelumnya.

"Karena aku sudah mengenal dirimu, apa kau tidak akan menghidupkanku lagi setelah aku mati?"

Griselle tertawa, membuat Red yang memandangnya menjadi bingung. "Entahlah. Jika kali ini kau gagal lagi-dan mati-aku mungkin akan menghidupkanmu lagi, serta menghilangkan ingatanmu."

"Kenapa harus menghilangkan ingatanku?"

"Karena kau tak boleh mengingat diriku. Oh ya, setelah semua ini selesai, aku akan mengucapkan mantra penghilang ingatan padamu."

Red mendengus. "Apa harus begitu? Memangnya kenapa kau tidak boleh diingat olehku?"

"Karena aku adalah kepingan yang harusnya tak pernah ada dalam kisah kalian." Suara Griselle terdengar sendu.

Red memiringkan kepala, berusaha menangkap makna dari kata-kata veary di depannya itu, namun gagal.

"Bila tidak ada yang ingin kau tanyakan lagi, lebih baik diam dan ikuti saja aku," ucap Griselle. Setelahnya, ia maupun Red tak lagi bicara.

Hening tercipta di antara mereka. Red berpura-pura memandangi sekitar, menyadari bahwa hari sudah mulai siang. Sudah 2 hari sejak dirinya berpisah dengan Sky dan Velarie. Andai saja waktu itu Sky mempercayainya dan tidak berlari meninggalkannya, mereka pasti sudah berada di kampung Dryad dan hidup dengan aman sekarang.

***

Sky terus berlari dengan menggendong Velarie di punggungnya. Namun tiba-tiba, siluman rubah itu berhenti seketika. Ia kemudian berbelok menuju semak-emak dan bersembunyi di sana. Rupanya ada sesosok makhluk yang membuat Sky waspada. Seekor lycan. Bulu kehitaman serta mata merahnya yang melotot dengan liar terlihat amat menakutkan.

"Siapa?" bisik Velarie.

"Mana kutahu?" balas Sky. Matanya terus mengawasi lycan itu hingga sosoknya menghilang dari matanya. Beberapa saat kemudian, siluman rubah itu pun berdiri. "Sepertinya sudah aman." Ia melangkahi semak-semak. Lalu kembali melanjutkan perjalanan.

"Mau pergi ke mana, heh?"

Suara berat itu membuat Sky berhenti. Tanpa ia sadari, si lycan ternyata sudah berada di hadapannya. Mata merahnya memelototi dengan tajam, sementara tubuhnya ia sandarkan ke batang pohon.

Sky menghela napas. Ia kemudian melirik pada Velarie. "Bagaimana ini, Nek?"

"Roh pohon tidak bisa membantu kita," ucap Velarie.

"Apa?"

"Mereka semua menghilang. Kekuatan sihirku juga sudah sangat menipis, sepertinya."

"Lalu bagaimana? Aku tidak mungkin menghadapi lycan bertubuh kekar itu sendirian."

"Tidak sopan berbisik-bisik seperti itu dan mengabaikan orang yang berada di depan kalian," ucap si lycan. "Kita berkenalan dulu, ya! Perkenalkan, namaku Dreck. Kalian siapa?"

Baik Sky maupun Velarie tidak menjawab.

Dreck mendengus. "Sepertinya kalian berdua bisu, ya?" Ia mengangkat tubuhnya dari batang pohon, kemudian meremas-remas tangannya. "Rasanya memang percuma saja menanyai penyusup markas Tuan Besar Abelard seperti kalian." Lycan itu menyeringai. "Sebaiknya aku habisi saja kalian sekarang."

To be continue....

Fyuh, akhirnya chapter ini selesai juga. Saya sempat stuck karena mikirin alurnya. Ya gini deh, resiko gak pake plotline dari awal. Sebenernya, sebelum update chapter 8 sejak zaman baheula, saya udah buat. Yah, meskipun cuma berupa catatan-catatan gaje sih (waktu itu saya aja gak tau kalau yang kayak gituan namanya plotline). Karena filenya udah lama, dari zaman bahuela, akhirnya ketimbun sama file-file baru. Waktu saya mutusin buat balik lagi ke wattpad dan mau nulis chapter 9, saya cari lagi. Ternyata udah gak ada. Sedih saya tuh. Mana udah hampir nyampe ending pula catetannya. Dan karena sekarang males bikin kayak gituan lagi, saya ngelanjutin chapter 9 dan seterusnya tanpa plotline. Ngalir aja gitu, hehe. Tapi gak tau mau bermuara ke mana.

Hihi, jadi curhat deh. Gapapa lah, sekali-sekali curhat di cerita sendiri. Thanks ya buat kalian yang udah mampir baca cerita gaje saya ini. Komentar dan bintang kalian yang menghiasi cerita ini, (meskipun Cuma satu-dua bintang per chapter) cukup berarti bagi saya. Oke. Doakan saja semoga chapter selanjutnya segera update. Biar cerita ini cepet selesai! Kasihan Red dianggurin terus. Eheheh....

See ya....

o

Struggle ( Sudah Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang