Sesampainya di depan rumah Raveno, aku mengetuk pintu. Elisa langsung melonjak begitu pintu terbuka. Raveno muncul dari balik pintu dengan senyum lebar khasnya.
"Kak Raveno!" ucap Elisa langsung memeluk Raveno saat melihat Raveno membukakan pintu.
"Elisa!" ucap Raveno membalas pelukannya dengan lembut.
"Masuk dulu, yuk!" ucap Raveno lembut. Elisa mengangguk dan langsung masuk.
Raveno berbalik menatapku, bersandar di ambang pintu. "Eh, jutek!" godanya. "Gak mau pelukan sama kak Raveno juga?" godanya lagi sambil merentangkan tangannya.
Aku mendorong bahunya pelan. "Ngarep amat lu! Awas deh, gue pengen masuk!" ucapku mendorong pelan badan Raveno agar aku bisa masuk ke rumahnya.
Aku sudah menganggap rumah Raveno sebagai rumah ku sendiri saat itu. Tidak ada yang berubah dari tatanannya. Semuanya masih sama.
"Mau minum apa?" tanya Raveno saat kami duduk di ruang tamu.
"Gak usah repot-repot." Jawabku santai.
"Biasanya juga sering ngerepotin kok." Ucap Reveno meledekku. Aku hanya membalasnya dengan tatapan tajam.
"Bokap nyokap lo berantem lagi, ya? Tanya Raveno, seolah mengerti dengan situasi yang kurasakan.
"Ya begitulah.." jawabku sekadarnya. Raveno hanya mengangguk paham.
PRANG!
Suara kaca pecah dari arah dapur membuat kami berdua refleks menoleh. "Elisa!" panggilku, segera bangkit dan menghampirinya.
Elisa berdiri di dekat meja dengan wajah bersalah, di lantai sudah berserakan pecahan gelas. "Maafin El kak." ucap El lirih.
"Kamu duduk aja di sana ya, biar kakak yang bersihin." ucapku sambil berjongkok berniat untuk membersihkan pecahan tersebut.
"Udah biar gue aja!" ucap Raveno mendekatiku.
Aku berjongkok, tak peduli, "Bisa kok, santai aja."
Tiba-tiba rasa nyeri menusuk jariku. "Aww!!" teriakku pelan saat terkena pecahan.
Raveno segera menarik tanganku. "Tuh kan, dibilangin juga apa!" sambil memeriksa jariku, lalu, tanpa pikir panjang, menyedot darah yang keluar.
"Alay banget deh, Cuma luka kecil doang," kataku, mencoba menepis kecanggungan.
Raveno tak menggubris, kemudian mengambil kotak P3K dan mulai mengobati luka kecil di jariku dengan perban kecil. Wajahnya tampak serius. Aku menatapnya diam-diam, mencari jawaban dari rasa penasaranku selama bertahun-tahun.
"Rav?" Panggilku pelan.
"Hmm?" Dia berdeham lembut, matanya masih fokus melilit perban.
Dengan memberanikan diri aku bertanya padanya." Lo gak mau cerita alasan lo tiba-tiba pindah ke Kanada waktu itu?"
Sontak aktivitasnya berhenti, kemudian berdeham, seolah berusaha menyembunyikan kegugupannya." Kan lo tau sendiri gue... mau fokus sama atlet.." jawabnya sedikit terbata.
"Itu doang?" tanyaku masih ragu.
Raveno hanya mengangguk. Tapi raut wajahnya tampak jelas ada yang disembunyikan dariku.
Aku berdecih, membuat Raveno beralih menatapku." Gue bukan anak kecil yang bisa lo bohongin lagi, Rav."
Raveno mendesah panjang. "Nanti gue bakal ceritain semua. Sekarang gue.."
"Nanti kapan?" potongku.
"Sharin..." Ia memanggilku lembut, matanya memelas.
"Oke, gue balik dulu!" ujarku sambil menarik tanganku darinya. Tiba-tiba suasana hatiku menjadi buruk. Lebih buruk daripada sebelum aku mengunjunginya.
Raveno mencoba meraih tanganku, tapi aku menepisnya. "Sharin, please," Aku tak menghiraukannya.
Aku memanggil Elisa yang sedang asyik bermain game. "El, pulang, yuk!" ajakku sambil meraih lengannya.
"Gue anterin, ya?" tawar Raveno.
Aku menggeleng kuat. "Gak perlu, gue bawa mobil!" ucapku datar tanpa menoleh sedikitpun kepadanya.
Raveno hanya pasrah, "Hati-hati, ya?" ucapnya sambil mengantarku ke depan rumahnya. Seketika suasana menjadi dingin. Dia masih berdiri di sana, sampai mobilku tak lagi nampak dari pandangannya.
'Berharap apa sih lo sama dia, Rin?' aku merutuki diriku sendiri dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOME SWEET HOME
Подростковая литератураDalam dunia yang penuh luka dan ketidakpastian, Sharin berjuang untuk menemukan cinta di tengah kehampaan keluarganya. Dibesarkan di keluarga yang lebih memuja karier daripada kasih sayang, Sharin tumbuh dalam bayang-bayang kekacauan. Suara teriakan...