Prolog

10K 802 92
                                    

Alpha. Beta. Omega. 

Tiga gender dinamik manusia yang mampu merubah cara pandang terhadap seseorang. Ini adalah masa di mana hidup setiap individu ditentukan oleh hierarki tak kasat mata. Tak ada yang bisa kami lakukan selain menerima dengan lapang dada. Seharusnya. Sayang, hidup sebagai omega tidaklah mudah, dan dia menjadi pemuda omega yang menolak hierarki tersebut secara gamblang.

●●●

Aku, Levi Ackerman. Dua puluh enam tahun. Alpha.

Lahir di tengah keluarga yang dipenuhi oleh alpha. Entah bagaimana caranya hanya ada satu gender dinamik yang terlahir di keluarga menyedihkan ini. Bertahun-tahun, lingkaran tersebut berlangsung. Hingga menjadikan kami satu-satunya keluarga alpha murni yang masih bertahan.

Bangga? Tidak.

Tidak ada satu pun yang bisa kubanggakan dari keluarga seperti ini.

Layaknya diari yang biasa ia tulis setiap malam, akan kuperlihatkan satu per satu bagaimana rasanya hidup menjadi bagian dari keluarga Ackerman sialan.

Kisah ini dimulai dari kejenuhanku dalam menjalani kehidupan sebagai seorang alpha. Tuntutan keluarga yang tidak masuk akal menjadi salah satu faktor krusial. Secara singkat, aku lelah dengan segala aturan di dalam keluarga. Bahkan mereka sudah menyiapkan berbagai kandidat untuk menjadi pasanganku sejak usia belasan.

Pada akhirnya, aku menjauhi ekspektasi mereka.

Di usia muda, aku memulai usaha sendiri. Tak ingin mewarisi kemewahan yang diberikan oleh Tua Bangka sialan. Tak ingin membuatnya tersenyum puas di atas kekuasaan tertinggi dalam keluarga Ackerman.

Kenny Ackerman.

Adalah kakak dari ibuku. Seorang alpha yang sudah lebih dari tiga puluh tahun menjadi penerus Ackerman. Hubungan kami tidak terlalu baik semenjak 'sikap tikus liar'—sebutan yang ia buat—mengalir di dalam darah dan membuatku kabur dari rumah. Memilih untuk tinggal mandiri seperti manusia pada umumnya. Sebagai kepala rumah tangga di keluarga, status Kenny meningkat drastis dari seorang paman menjadi ayah angkat. Setidaknya, sejak kedua orang tuaku tiada, ia berusaha untuk bersikap seperti itu.

Aku tahu, Kenny menaruh banyak harapan di pundakku. Sayang, aku tidak ingin mengabulkan keinginannya.

Untuk apa aku mengikuti segala keinginan sialan yang ada di dalam otaknya, jika aku tidak merasa bahagia?

Setidaknya, usai bertemu dengan dia, aku mulai merasakan kebahagiaan itu sedikit demi sedikit.

Dia adalah omega. Pasanganku. Omegaku.

Pertemuan kami sangatlah tidak menyenangkan.

Aku ingat kalimat penuh amarah yang tertuju padaku.

Kami bertemu di sebuah taman pinggiran kota. Tempat yang sering kukunjungi ketika sedang banyak pikiran. Sore menjelang malam, aku duduk di salah satu bangku. Lampu menyala menerangi seluruh sudut taman yang sudah sangat sepi.

Lembayung terlihat begitu indah. Menarik perhatianku yang kini sedang menengadah dengan pandangan kosong. Suasana sunyi mendadak dipenuhi oleh teriakan dari sisi kiri. Aku menoleh. Menemukan empat remaja sedang mengerubungi satu orang. Kotak kardus tergeletak di tengah, tepat di belakang seorang remaja yang menjadi pusat perhatian.

Mereka terlibat argumen. Jarak kami cukup jauh, membuatku tak mampu mendengar dengan jelas perdebatan yang terjadi. Sampai akhirnya salah satu di antara empat remaja itu maju ke depan. Mendorong tubuh tinggi hingga mundur beberapa langkah dan hampir menginjak kotak kardus.

When We Meet [Rivaere]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang