Dua

258 43 31
                                    

Layaknya seorang maling yang tertangkap basah. Cakka duduk di tengah-tengah, dikelilingi oleh Alvin, Rio dan Iel yang menatapnya tajam.

"Lo semua kaya mau makan gue tahu gak?" celetuk Cakka mencoba mencairkan suasana yang terasa horror untuknya ini.

"Iya Cak, gue pengen makan elo." timpal Rio geram. Cakka cuma nyengir.

"Elo kok enggak kapok-kapok sih nyakitin Agni mulu?" ujar Iel sambil nunjuk-nunjuk Cakka.

"Enggak takut kena karma?" tanya Alvin enteng.

"Gue khilaf sob.." jawab Cakka santai sambil masang muka innocent.

"Ya elah, elo mah jawabannya khilaf mulu tapi enggak pernah insaf. Mau sampai kapan sih lo giniin dia, seneng banget nambah dosa." Rio mulai melancarkan aksi ceramahnya.

"Gue tahu sih, Agni ujung-ujungnya bakal maafin lo lagi, tapi sekali aja dong lo bener-bener ngehargain dia. Gimana kalo dia sampai beneran ninggalin lo?" tambah Iel, yang membuat Cakka semakin terpojok.

"Jangan pernah nyia-nyiain yang udah lo punya Cak, sejujurnya dia terlalu baik buat lo, dan elo terlalu bejat buat dia!" sambung Alvin. Cakka menghela napasnya, dia menatap sahabat-sahabatnya itu satu persatu. Apa yang mereka katakan semua benar, Cakka tidak bisa membantah ataupun menampik itu.

"Iya gue tahu, gue salah, entar gue juga bakal minta maaf kok sama dia." ujar Cakka yakin. Kali ini gantian Iel, Rio dan Alvin yang menghela napas. Entah sudah berapa kali mereka mendengar kata-kata seperti ini dan mungkin masih ada berkali-kali lagi kata seperti ini akan mereka dengar.

"Kali ini masalahnya apaan lagi sih Cak?" tanya Iel dengan raut bosan.

"Temen gue ngajakin gue nonton film berdua dan ya.. gue enggak punya alasan buat nolak itu." jawab Cakka jujur.

"Cewek? Berdua aja?" Cakka mengangguk menjawab pertanyaan Rio.

"Elo sahabat gue Cak, tapi jangan bikin gue nyesel ngenalin elo sama Agni." ujar Alvin sambil menepuk-nepuk pundak Cakka. Cakka hanya tersenyum sekilas. Sejujurnya ia tidak punya niatan untuk menyakiti, meski ia melakukan semuanya dengan kesadaran penuh. Ia hanya seorang laki-laki normal yang tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menolak permintaan seorang perempuan.

Mereka berempat terdiam. Membiarkan angin menyelinap di antara mereka. Cakka sibuk mengalihkan perhatiaannya, berharap dapat menepikan perasaan tidak enak yang menyelimutinya saat ini. Alvin memilih untuk memainkan rubiks yang baru saja ia keluarkan dari tasnya. Sementara Rio, meski raganya duduk bersender di tiang gazebo rumahnya, tapi pikirannya melanglang jauh menyeberangi ribuan kilometer jarak yang membentang. Dan Iel, tentu saja asik dengan handphonenya, berusaha menelpon Via dan mengirimkan sms berkarakter-karakter.

***

Sambil menumpukan kepalanya di atas kedua tangannya yang disilangkan, Rio bersiul-siul kecil. Perasaan rindu di hatinya, sedang menggebu-gebu kuat sekarang. Membuat dadanya sedikit sesak. Matanya menerawang, di pikirannya terbayang jelas sosok Ify yang selalu bisa membuat jantungnya loncat kesana-kemari.

Apakah gadis itu baik-baik saja? Apakah ia juga melakukan hal yang sama dengan Rio sekarang? Apakah ia merindukan Rio? Apakah ia mengingat Rio sesering Rio mengingatnya?

Berbagai pertanyaan absurd tambah memenuhi pikirannya sekarang. Masih teringat jelas atau malah mungkin akan selalu teringat jelas di otaknya, pertemuan terakhirnya dengan Ify.

-Flashback-

Lekat-lekat, Rio memperhatikan Ify yang tampak asik menikmati gulalinya, wajahnya terlihat polos layaknya seorang anak berusia lima tahun. Siapa yang menyangka, ia adalah seorang siswi cerdas yang berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studynya di amerika. Dan malam ini, adalah malam perpisahannya dengan Ify.

LASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang