Dalam keheningan suasana yang tercipta di antara mereka berdua. Rio dan Dea sama-sama hanya saling berdiam diri satu sama lain. Mereka berdua duduk di tengah taman. Menikmati indahnya malam yang penuh bintang berdua.
Rio melirik ke arah Dea, gadis manis di sampingnya itu nampak asik memandangi ribuan bintang yang memayungi mereka. Entahlah apa yang ada di dalam hatinya, tidak ada getaran sekencang saat dirinya bersama Ify, tidak ada degup jantung yang berdetak cepat saat dirinya ada di samping Dea. Tapi ia tidak dapat memungkiri satu hal, rasa nyaman akan sikap Dea yang dewasa itu perlahan-lahan membuatnya betah ada di sisi Dea.
"De.."
"Ya?"
"Gue gak tahu apa yang harus gue lakuin sekarang ke Ify." Dea melihat Rio lantas tersenyum.
"Lo sayang kan sama Ify?"
"Sayang tapi.."
"Kalo sayang bilang sayang Yo, gak usah pakai tapi.." potong Dea cepat. Rio hanya tersenyum.
"Dari awal gue ngelihat dia, gue udah tertarik sama dia, gue ngerasa dia orang yang paling tepat buat gue sayang. Gue suka dia yang pintar, dia yang penuh prestasi. Tapi sekian lama gue sayang sama dia dan berusaha menunjukkan rasa sayang itu, gue malah ngerasa dia semakin jauh.."
"Kan lo sendiri yang pernah cerita ke gue, kalo kalian berdua saling sayang.."
"Dulu emang sebelum dia pergi, dia bilang ke gue kalo dia juga sayang sama gue, tapi udah De, selesai sampai disitu, enggak ada kelanjutannya lagi, enggak ada satupun sikapnya dia yang menunjukkan kalo dia emang sayang sama gue, sampai tadi dia ngasih ini buat gue.." Rio menunjukkan syal biru miliknya dari Ify.
"Kalo gitu lo tanyain lah Yo ke Ify, apa yang dia mau, apa yang dia maksud. Kalian gak bisa berdiri cuma di atas kata-kata sayang tanpa ada ikatan apapun yang ada di antara kalian.."
"Pengennya gue juga kaya gitu De, tapi dia selalu aja ngehindarin gue kalo gue mau ngebahas itu. Gue gak tahu lagi apa yang harus gue lakuin.."
"Perjuangin dia kalo emang lo mau perjuangin dia, kalo lo emang sayang sama dia, lakuin apa yang menurut lo bener.."
"Terus kita? Orang tua gue? Orang tua lo?" tanya Rio bertubi-tubi, Dea hanya tersenyum.
"Gue itu bukan model orang yang penuh mimpi Yo, buat gue selama gue bisa ngejalanin hidup sama orang-orang yang gue sayang dengan nyaman, gue udah puas, udah cukup buat gue.." Rio terpaku sesaat, rasanya baru kemarin ia mendengar Ify dan cita-citanya yang penuh semangat, dan kali ini ia mendengar cita-cita Dea yang sederhana dan jauh dari kata ambisius.
"Apa lo gak punya cita-cita?" tanya Rio polos, membuat Dea terkekeh.
"Punyalah Yo, gue kan normal. Gue juga pengen jadi dokter kaya kedua orang tua gue, tapi gue juga pengen kaya nyokap gue, seorang dokter yang sukses tapi juga jadi ibu yang hebat buat gue, gue pengen kaya gitu." terang Dea sambil tersenyum, Rio ikut tersenyum bersamanya.
"Gue tetep aja masih bingung sama apa yang harus gue lakuin ke Ify.." desah Rio.
"Lakuin apa yang hati lo bilang, jangan pikirin tentang kita Yo, kalo lo mau jalanin berdua sama Ify biar entar gue yang ngomong sama orang tua kita.."
"Thanks, De.." Dea hanya mengangguk sambil tersenyum, senyum yang tulus, senyum yang entah mengapa langsung tersimpan di memori otak Rio.
***
Di dalam kamar yang di dominasi warna pink itu, Alvin memandangi Shilla yang masih tertidur. Alvin menggenggam jari jemari Shilla. Dengan sebelah tangannya yang lain, Alvin mengusap lembut pipi putih Shilla dan menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Shilla.

KAMU SEDANG MEMBACA
LAST
Teen FictionSelalu ada akhir dari setiap kisah. Selalu ada ujung dari setiap jalan. Selalu ada perpisahan dari setiap pertemuan. Selalu ada kata-kata terakhir dari setiap pembicaraan. Dan itulah yang ada dalam cerita ini. Tentang sebuah fase kehidupan manusia...