***
Suara pantulan bola basket yang menggema menjadi satu-satunya suara yang tercipta di antara mereka. Paling-paling sesekali desahan napas yang menemaninya. Tidak ada yang mau memulai pembicaraan, atau mungkin tidak ada yang bisa menemukan kata yang tepat untuk membuka pembicaraan.
"Ma..main basket yuk?"
Cakka menoleh ke arah Agni yang merebut bola yang sedari tadi ia pantulkan. Agni tersenyum kearahnya sambil berlari-lari kecil mendribel bola. Rambutnya yang diikat, bergoyang kesana kemari. Senyumnya yang manis, seperti tidak menyimpan luka.
"Ag, gue mau ngomong,"
Seolah tidak mendengar kata-kata Cakka, Agni terus mendribel bolanya. Berusaha membujuk Cakka untuk ikut bermain bersamanya.
"Ag, gue mau minta maaf.."
Untuk sesaaat Agni terdiam, dia tersenyum tipis, rasanya ia pernah mendengar kata-kata seperti itu sebelumnya. Tapi kemudian Agni mulai memainkan bolanya kembali. Dia berlari kearah ring, mengambil ancang-ancang dan melempar bolanya.
"Yes, masuk!" ujar Agni senang. Cakka mengamati Agni, gadis itu, selalu begini. Dia mendekati Agni, yang sedang mendribel bolanya kembali. Cakka mengikuti permainan Agni sambil berharap Agni mau menatap matanya.
"Ag, gue..."
"Udahlah Cak, gue ngga suka ngebahas yang udah lewat, udah ayo main lagi." sela Agni sambil tersenyum dan melemparkan bolanya ke arah Cakka.
"Ayo dong main.." bujuk Agni, karena Cakka hanya memegang bola itu erat-erat dan bukan memainkannya. Ia memandangi Agni. Sikap Agni yang seperti inilah yang malah terasa menusuk batinnya, menggiringnya dalam perasaan bersalah.
"Cakka, lo mau sampai kapan megang itu bola?" tanya Agni sambil merengut. Cakka melihat bola yang ada di tangannya, dia tersenyum. Kemudian mulai mendribel bolanya.
"Nah gitu dong dari tadi." sahut Agni sambil berusaha merebut bola dari Cakka. Tidak butuh waktu lama, mereka langsung melebur dalam permainan mereka seperti biasa. Tertawa dan bercanda bersama. Saling berkejaran merebut bola. Berlari seperti ingin meninggalkan hari kemarin, berlari seperti ingin cepat-cepat menemui hari esok. Dan menanti kejutan apa yang di berikan hidup untuk mereka.
***
Seperti hari minggu yang sebelum-sebelumnya, hari minggu kali ini pun Iel telah siap sedia di rumah Via sejak pagi tadi. Awal-awal hubungan ini berlansung, Via sangat menikmati kunjungan Iel ini. Menunggu Iel yang menemani mamanya belanja ke pasar, memperhatikan Iel yang membantu papanya mengurusi kebun kecil di rumah mereka, melihat Iel yang begitu akrab dengan adik bungsunya yang masih berusia lima tahun.
Siapapun pasti akan senang ada di posisi Via, mendapatkan pacar seperhatian Iel. Tapi akhir-akhir ini, perhatian itu terasa sedikit menjemukan bagi hidupnya. Terkadang Via merasa bernapas pun ia dibatasi. Membuatnya sedikit suntuk dan memerlukan sesuatu yang baru dalam hidunya.
Via tidak bisa bohong bahwa ia sangat-sangat menyayangi Iel, apapun yang terjadi Iel adalah orang yang telah menemaninya satu setengah tahun belakangan ini. Dia tidak bisa menjamin dirinya akan baik-baik saja tanpa kehadiran Iel di sampingnya.
"Baca apaan sih Vi, serius banget?" Via meletakkan novelnya di meja, ia memberi kode supaya Iel duduk disampingnya.
"Kenapa, Vi?"
"Aku mau ngomong Yel.."
"Soal apa? Kamu lagi ada masalah? atau aku salah sama kamu? atau ada yang ngga enak yang kamu rasain? Apa Vi?" Via menghela napas sebentar.
"Soal kita, aku sama kamu.." Iel menegakkan duduknya, ia bisa membaca raut serius di wajah Via.
"Ada yang salah ?"
"Bukan salah yel, ngga ada yang salah tapi proteck kamu ke aku udah terlalu over dan jujur, aku agak ngga nyaman sama ini.." Iel diam mendengar kata-kata Via. Via sendiri menunduk, lebih memilih memandangi lantai ketimbang Iel. Lama mereka saling berdiam, membuat Via malah merasa bersalah dalam keadaan ini.
"Maaf.." ujar Via lirih.
"Aku yang harusnya minta maaf, udah bikin kamu ngerasa ngga nyaman kaya gini." Iel tersenyum kearah Via, tapi Via tetap menunduk. Dengan tangannya, Iel mengangkat dagu Via, membuat Via menatap matanya.
"Maaf ya, aku cuma terlalu sayang sama kamu. Terus sekarang kamu maunya gimana?"
"Aku cuma mau ngga se-lebay itu yel, aku tahu kok kamu sayang sama aku, tapi ngga usah sampai segitunya.." Via menunduk lagi, ia takut kata-katanya menyakiti Iel.
"Ya udah kalo itu mau kamu." sahut Iel.
"Makasih.."
"Senyum dong," bujuk Iel sambil mengusap pipi lembut Via.
Sambil tersenyum manis, Via menatap Iel dalam-dalam. Berharap kali ini Iel benar-benar mengerti apa yang dia mau. Bukan dia ingin banyak menuntut ini itu. Dia hanya tidak ingin hubungan ini di penuhi rasa sesak didada masing-masing. Ia hanya ingin ikatan ini mengalir sejujur mungkin. Tanpa perlu menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya, cukup menjalani ini semua apa adanya.
***
Sore yang cerah, waktu yang tepat untuk berkumpul. Dan seperti biasa, gazebo rumah Rio yang luas menjadi sasaran mereka semua untuk menghabiskan waktu bersama-sama. Saling melempar candaan dan cerita.
"Eh gue mau ngomong.." ujar Rio tiba-tiba.
"Ya udahlah ngomong.." sahut Alvin. Rio menatap semua temannya satu persatu-satu, yang tentu saja malah membuat teman-temannya itu heran.
"Elo kenapa?" tanya Iel bingung.
"Emang nyokap lo ngga cerita, Shil?" Shilla yang ikutan hening kaya yang lain, cuma bisa menggeleng menjawab pertanyaan sepupunya itu.
"Ada apa sih?" tanya Cakka semakin penasaran.
"Ehm..itu..gue mau cerita..kalo gue..itu..ehm.."
"Ya elah yo, ribet amat mau bilang apa sih?" tanya Agni ngga sabaran. Rio menggaruk belakang kepalanya sebentar.
"Gue..eh..gue.."
"HALO SEMUANYA !!!"
Semua mata yang dari tadi sibuk memandang Rio, kini langsung mengalihkan perhatian mereka ke arah lain, termasuk Rio sendiri. Sorot mata bingung dan kaget perlahan-lahan berubah menjadi sorot mata senang.
"Kok ngelihatinnya gitu banget sih lo semua?"
"IFY !!" teriak Via, Agni dan Shilla kompak. Mereka bertiga langsung menghambur memeluk Ify.
"Eh udah woi, sesek ini gue.." ujar Ify, yang membuat ketiganya nyengir dan melepaskan pelukan mereka. Rio yang matanya terus mengamati Ify sejak tadi, berjalan mendekat ke arah Ify dan berhenti tepat di depan Ify.
"Hai, Rio.." ingin rasanya Rio melakukan hal yang sama seperti yang tadi dilakukan Via, Agni dan Shilla. Tapi satu-satunya ekspresi yang bisa ia lakukan hanyalah tersenyum. Ify membalas senyum itu. Senyumnya masih sama, masih selalu membuat jantungnya lompat kesana kemari.
"Ngga kangen sama gue ya lo?" goda Ify, yang sesungguhnya sedikit bingung dengan kelakuan Rio. Rio menarik tangan Ify, membuat badan Ify jatuh di dalam pelukan Rio.
"Selalu Fy, gue selalu kangen sama elo.." bisik Rio, sehingga kata-kata itu hanya dapat di dengar oleh Ify.
"Makasih.." balas Ify sambil tersenyum. Tanpa Ify atau siapapun tahu, dibalik senyuman Rio yang menawan itu, ada pikiran lain yang memenuhi pikiran Rio saat ini.
To be continued...
A/N:
Jangan lupa follow IG : Jubaii_
![](https://img.wattpad.com/cover/103485829-288-k611303.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
LAST
Teen FictionSelalu ada akhir dari setiap kisah. Selalu ada ujung dari setiap jalan. Selalu ada perpisahan dari setiap pertemuan. Selalu ada kata-kata terakhir dari setiap pembicaraan. Dan itulah yang ada dalam cerita ini. Tentang sebuah fase kehidupan manusia...