***
Menikmati tiupan angin yang berhembus sepoi-sepoi, Iel duduk di atas kap mobilnya. Memandangi pemandangan indah di depannya, hamparan padang ilalang. Biasanya ia tidak sendiri menikmati ini, biasanya ada Via disampingnya menemaninya, biasanya ia dan Via akan menghabiskan waktu mereka berdua disini.
Bukan inginnya beberapa hari ini, Iel menjadi antipati terhadap Via. Dia hanya ingin sedikit saja, Via dapat mengerti apa yang ia rasakan, sedikit saja Via bisa memahami apa yang selama ini ia lakukan untuk Via. Iel tahu pasti, rasa sayang itu masih tersimpan utuh hanya untuk Via seorang, cepat atau lambat dia akan memperbaiki semuanya dengan Via.
Ia juga mulai merasa jengah dengan masalahnya bersama Cakka yang tak kunjung usai. Diam-diam ia juga merindukan saatnya ia bisa bermain bersama lagi dengan Cakka, formasi lengkap berempat. Lagipula mereka bukan lagi anak kecil yang harus selalu kucing-kucingan hanya untuk sebuah masalah salah paham seperti ini.
Iel mendesah napasnya perlahan, "Gue harus ketemu sama Cakka sekarang."
Dengan kecepatan normal, Iel mulai memacu mobilnya dan sekitar tiga puluh menit kemudian, ia sudah sampai di depan rumah Cakka. Iel langsung turun dari mobilnya, ia sudah siap apapun yang akan Cakka lakukan padanya. Tapi tubuhnya langsung terasa terpaku, terdiam membisu di tempatnya, ia berusaha meyakinkan penglihatannya dan itu semua memang nyata. Tanpa basa-basi, Iel langsung berbalik dan kembali ke mobilnya.
"Ayo dong Kka, senyum dong. Gayanya jangan kaya gitu terus.." samar-samar suara Via masih terdengar jelas olehnya.
***
Setelah meyakinkan hatinya, Rio memantapkan dirinya untuk menemui Ify. Malam ini, dia harus meluruskan semuanya, memastikan apa yang akan dia dan Ify ambil, menjelaskan semua yang telah terlanjur terjadi.
Berkali-kali Rio mengetuk pintu rumah Ify, tapi tidak ada satupun sahutan untuknya. Rio juga berusaha untuk terus menghubungi Ify, tapi Ify selalu mereject telponnya, malah yang terakhir, hp Ify tidak lagi aktif. Namun bukan berarti Rio menyerah, malam ini dia sudah bertekad, untuk menyelesaikan semuanya.
"Maaf mas, mbak Ifynya gak ada di rumah.." tiba-tiba pembantu Ify keluar.
"Pergi kemana ya?"
"Kurang tahu mas.."
"Oh ya udah, saya bolehkan nunggu disini?"
"Eh..mas tapi.."
"Enggak apa-apa, saya nunggu disini aja.." Rio merasa yakin bahwa Ify ada didalam rumahnya. Dia memutuskan untuk menunggu di depan teras rumah Ify.
To : Alyssa'ify'
Fy, gue tahu lo ada di rumah
gue gak mau maksa, tp gue hrp lo mau keluar Fy
kita hrs obrolin smua ini, lo ga bs terus hndarin gueRio terus menunggu Ify, meski malam terus beranjak menuju malam. Tangannya menggenggam syal biru yang kemarin Ify lemparkan untuknya. Satu-satunya benda yang Ify berikan untuknya. Sesuatu yang sesungguhnya, bukan gambaran seorang Ify. Sesuatu yang malah membuat Rio bingung dan merasa tambah tidak mengerti akan kepribadian gadis itu.
"Mas ini.." pembantu Ify yang tadi keluar lagi dan memberi Rio sebuah kertas yang telah dilipat.
"Ini apa?"
"Enggak tahu mas, tapi katanya mas pulang aja.." kemudian Rio kembali ditinggalkan sendirian. Rio memandangi secarik kertas di tangannya itu, hanya ada sepotong kalimat di atasnya, rangkaian kata tulisan tangan Ify yang sangat di kenalnya.
Gue masih pengen sendiri, sorry.
Dalam kesunyian malam, Rio sadar penantiannya kali ini belum berhasil, tapi bukan berarti ia akan berhenti. Ia telah berniat untuk membuat semuanya jelas. Rio berjalan ke arah depan rumah Ify, ia menengadahkan kepalanya, melihat ke arah jendela kamar Ify yang terletak di lantai dua. Lampunya telah padam, tapi sekali lagi Rio yakin, Ify masih terjaga dan sedang mengamati dirinya. Rio tersenyum sekilas, dengan langkah gontai ia kembali ke dalam mobilnya.
Dari pinggir ambang jendelanya, Ify memperhatikan Rio, yang sedang memandang tepat ke arah dirinya sedang berdiri. Ia dapat melihat Rio yang tersenyum dan kemudian berlalu ke arah mobilnya. Entah untuk apa, tapi setetes air mata turun membasahi pipinya. Ify beranjak duduk di atas ranjangnya.
Belum pernah seumur hidupnya hingga saat ini, hatinya terasa perih dan sakit. Rasanya berbeda dengan kekalahannya dalam suatu lomba. Rasa sakit itu lebih menusuk, terasa mengiris ulu hatinya, membuat air matanya meleleh, membuat dirinya merasa lemah, membuat semua kekuatannya serasa menghilang. Inikah yang dinamakan patah hati?
Dalam diam, Ify memperhatikan foto Rio yang ia selipkan di dalam bukunya. Ia menyukai Rio, ia tidak akan mengingkari hal itu. Dari awal Shilla mengenalkan Rio padanya, Ify sudah tertarik, pada senyum manis Rio, suara lembut yang Rio miliki, cara Rio memperhatikannya, semuanya.
Tapi Ify memang seorang Ify. Seorang perempuan dengan sejuta impian yang ia miliki, dan mimpi untuk menghabiskan waktunya bersama Rio, bukanlah mimpi yang terletak di urutan pertama. Dan kini, saat sebuah kenyataan hadir di depan matanya, mengapa rasa sakit itu tetap muncul?
Teringat waktunya saat ia merajut syal biru itu untuk Rio, setiap malam sebelum ia beranjak tidur. Saat itu, ia pikir ia melakukan itu hanya karena sekedar keadaan teman-teman di sekitarnya yang melakukan hal yang sama. Tapi hingga saat ini, Ify masih bisa mengingat dengan jelas, setiap helai benang yang ia rajut membentuk sebuah simpul dan menghasilkan sebuah syal, apakah ini pertanda ia membuat itu dengan penuh cinta.
Ia tahu, ia harus menemui Rio dan membicarakan semuanya. Tapi bukan saat ini, bukan karena ia ingin mengulur waktu. Tapi karena Ify, tidak ingin terlihat lemah di depan Rio, tidak ingin terlihat lemah di mata laki-laki.
Ify mencoba memejamkan matanya, ingin melelapkan raga dan jiwanya sejenak. Meski bayang-bayang wajah Rio terus terasa mengikutinya. Sedikit berharap, bila esok ia terbangun, masa lalu hanyalah bagian dari bunga tidurnya, atau bila itu terlalu muluk, Ify hanya berharap, saat dirinya terbangun esok, ia telah menemukan kemantapan hatinya untuk ia sampaikan pada Rio.
***
Keringat dingin membasahi tubuhnya, padahal ia telah berlindung di bawah selimutnya yang tebal. Seperti ada yang terasa mengganjal dalam tubuhnya, ia memutuskan untuk duduk di pinggir tempat tidurnya. Dengan sedikit pusing dan tertatih-tatih, ia berjalan ke arah kamar mandi.
Suara air dari kran wastafelnya langsung menemani kesepian yang dari tadi ada di sekitarnya. Beberapa kali ia membasahi mukanya, kemudian ia menatap pantulan dirinya di kaca. Sedikit bingung karena wajah itu terlihat pucat. Dan tidak sampai beberapa detik kemudian, semua terasa berat, pantulan di kaca yang semenjak tadi ia lihat menjadi berbayang, tiba-tiba semua semakin buram, dan gelap.
To be continued...

KAMU SEDANG MEMBACA
LAST
Teen FictionSelalu ada akhir dari setiap kisah. Selalu ada ujung dari setiap jalan. Selalu ada perpisahan dari setiap pertemuan. Selalu ada kata-kata terakhir dari setiap pembicaraan. Dan itulah yang ada dalam cerita ini. Tentang sebuah fase kehidupan manusia...