***
Seperti yang telah di janjikan sebelumnya, hari ini Cakka dan Agni menghabiskan waktu berdua, dan dufan menjadi tujuan mereka. Tanpa rasa takut, mereka berdua mencoba berbagai wahana yang ada, menikmati setiap hal yang mereka lakukan.
Rasanya sudah lama mereka tidak seperti ini. Berkejar-kejaran layaknya seorang anak kecil, berebut es krim meski mereka telah memilikinya masing-masing dan saling tertawa berdua.
Cakka tidak bisa memungkiri bahwa ia sangat menikmati saat-saat seperti ini, berdua bersama Agni. Karena saat ia bersama Agni, ia tidak perlu tampak keren atau menjaga imagenya. Agni selalu menerima ia apa adanya. Semakin Cakka menikmati senyuman Agni hari ini, semakin terasa rasa penyesalan itu atas sikapnya selama ini dan semakin besar pula keinginannya untuk mempertahankan agni disisinya.
Agni berani bertaruh demi apapun, ada begitu banyak perempuan diluar sana yang rela bertukar tempat dengannya sekarang, ada dalam jarak sedekat ini bersama Cakka dan dapat memandangi wajah Cakka yang memang tidak akan pernah membosankan. Dan Agni sendiri sangat senang menjalani hari ini, meski ia tahu pasti, kemana hari ini akan berakhir nanti. Berusaha tidak memikirkan apa yang akan terjadi, Agni berniat untuk melewati saat ini dengan semua senyuman dan tawa bahagia yang ia punya saat ini.
***
Dengan rambut yang masih acak-acakan dan tampang kusut, Rio berjalan ke kamar mandi. Dia baru bisa memejamkan matanya pukul tiga subuh tadi. Pertemuaanya dengan Ify semalam masih tergambar jelas di pikirannya, masih menyisakan rasa pedih dalam hatinya.
Byurrr..
Rio menyiram air dingin di atas kepalanya. Ia berniat untuk menjenguk Alvin pagi ini, lagipula Rio yakin berpuluh-puluh ribu persen, Shilla telah sejak tadi menunggui Alvin. Rio hanya tidak ingin Shilla yang punya asma dan kondisi tubuhnya gampang sakit, menjadi terforsir menghadapi Alvin yang nampak mengganas seperti kankernya. Sama-sama sebagai anak tunggal, membuat Rio menganggap Shilla layaknya seorang adik kandung untuknya.
Rio sedikit terkejut ketika ia melihat Dea dan orang tuanya serta orang tua Rio, duduk ngobrol di ruang tamu.
"Akhirnya kamu bangun juga, ayo sini duduk dulu.." ujar mamanya. Karena sudah terlanjur terlihat, Rio mau tidak mau duduk juga, tepat di depan Dea.
"Ada apa?" tanya Rio cuek.
"Mama papa sama om dan tante, pengen mastiin hubungan kalian. Kita kan udah bilang sejak awal. Kita juga gak mau maksain hubungan ini, kita gak mau jadi orang tua kejam. Sekarang kita pengen denger keputusan kalian. Kalo kalian setuju, minggu depan, sebelum mama papanya Dea berangkat, kita adain acara pertunangan itu. Bukan apa-apa, cuma kaya semacam acara sukuran. Tapi kalo kalian gak ngerasa cocok, ya gak masalah.." terang mamanya Rio panjang lebar.
"Jadi gimana, De?" tanya mamanya Dea. Dea tersenyum tipis, ia menatap Rio sekilas.
"Sejauh ini Dea nyaman temenan sama Rio, tapi menurut Dea, maaf ma pa, om tante, tapi Dea eng..."
"Kita setuju sama acara ini." potong Rio. Dea menatapnya bingung, sementara kedua orang tua mereka tersenyum senang.
"Permisi bentar, aku mau ngomong sama Rio.." pamit Dea sambil menarik tangan Rio ke ruangan lain.
"Lo gak masih tidur atau ngigau kan, Yo?" tanya Dea langsung, Rio hanya menggeleng.
"Hubungan lo sama Ify?" tanya Dea lagi yang masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Ify milih cita-citanya di banding gue, gue mau apalagi.."
"Dan elo nyerah gitu aja?"
"Keputusan ini udah di buat Ify, final. Mungkin dia bener, gue sama dia memang gak punya takdir yang sama untuk bersatu. Tapi De, jangan pernah sekalipun lo mikir kalo gue jadiin lo pelampiasan, gue beneran gak ada maksud kesana, gue cukup nyaman sama lo dan lo cukup pantas untuk gue cintai.."
"Enggaklah, gue gak pernah mikir tentang itu. Elo yakin Yo, mau ngelakuin ini semua?"
"Lo mau kan De, kalo kita sama-sama belajar mencintai satu sama lain. Kita gak pernah tahu, hidup bakal bawa kita kemana, kita cukup jalanin ini dan melihat gimana hasilnya nanti." Dea hanya menganggukkan kepalanya. Dia sendiri sadar, sangat mudah untuk menyukai sosok Mario yang menawan dan bukan tidak mungkin suatu saat nanti rasa suka itu berkembang menjadi rasa sayang dan cinta. Rio menarik tangan Dea kembali menemui orang tua mereka.
"Jadi minggu depan kan? Kita udah putusin gak mau acara gede-gedean, cukup keluarga sama temen deket aja." ujar Rio santai, yang kembali disambut senyum sumringah dari orang tua mereka.
***
Tanpa bergerak sedikitpun, Shilla tetap menunggu Alvin yang masih ada dalam pengaruh obat bius pengurang rasa sakitnya. Shilla mengingat semuanya, hubungannya dengan Alvin yang di awali dengan pertemanan yang indah, waktu-waktu bahagia yang telah ia lewati berdua bersama Alvin, semua canda, tawa, sukacita yang mereka lalui bersama. Haruskah dibayar dengan akhir yang memilukan seperti ini?
Dua tahun mereka bersama, selama itu juga, rasa sayang dan cinta itu terpupuk dan terus bertambah seiring waktu. Sama sekali bukan hal ini yang mereka bayangkan menanti di hadapan mereka seperti saat ini. Shilla mengelus-elus pipi Alvin dengan ujung-ujung jempolnya, tanpa memperdulikan selang-selang yang menempel di tubuh Alvin.
Meski tidak ingin, Shilla tahu bahwa ia harus realistis. Ia telah di berikan berbagai kemungkinan tentang kondisi Alvin yang bahkan dalam hitungan jam terus memburuk. Apakah kisah cinta ini harus berakhir layaknya romeo dan juliet yang menjemput keabadiaan di alam lain? Apakah Shilla akan mampu bertahan bila Alvin harus meninggalkannya?
Dan saat ini, rasanya Shilla tidak tahu mana yang lebih baik. Tidak pernah mengenal Alvin sama sekali atau tidak pernah memulai kisah ini bersama Alvin sejak awal.
"Argh.." rintih Alvin pelan. Shilla langsung berdiri, ingin memencet bel dan membangunkan mamanya Alvin yang terlelap di sofa.
"Shil.." tahan Alvin.
"Apa?" Shilla menatap dua bola mata bening yang terlihat lemah sekarang.
"Maaf.." desah Alvin, Shilla meletakkan telunjuknya di bibir Alvin.
"Gak ada yang perlu di maafin.." sahut Shilla.
"Jangan pergi, temenin aku.." Shilla tersenyum sambil membetulkan letak selimut Alvin, kemudian ia kembali duduk.
"Udah tidur lagi, kamu perlu istirahat." bujuk Shilla, Alvin kembali memejamkan matanya. Dan saat itu, Shilla menatap Alvin nanar.
"Harusnya aku yang bilang jangan pergi.." batin Shilla perih.
***
Setelah jalan-jalan berdua, hampir seharian. Cakka mengantarkan Agni kembali ke rumahnya, selama di mobil tadi Agni berkali-kali mengucapkan terimakasih kepadanya membuat Cakka sedikit bingung.
"Makasih ya Kka buat hari ini, indah banget.." ulang Agni lagi, membuat Cakka terkekeh.
"Iya Agni, harusnya gue yang bilang makasih.."
"Tunggu bentar ya Kka, ada yang mau gue kasih ke elo.." Cakka hanya mengangguk, Agni masuk ke dalam rumahnya dan tidak sampai beberapa menit kemudian, keluar lagi dengan membawa kardus berukuran sedang di tangannya.
"Ini apa?" tanya Cakka saat kardus itu di angsurkan ke arahnya oleh Agni.
"Buka aja nanti di rumah, love you.." dengan gerakan super cepat, Agni mengecup pipi Cakka dan kemudian berlari masuk ke dalam rumah. Cakka hanya terdiam di tempatnya, kaget dengan apa yang Agni lakukan dan masih bingung dengan kardus yang lumayan berat di tangannya, sambil senyum-senyum sendiri, Cakka memasukkan kardus itu ke bagasi mobilnya, tidak sabar ingin membukanya di rumah.
To be continued...

KAMU SEDANG MEMBACA
LAST
Teen FictionSelalu ada akhir dari setiap kisah. Selalu ada ujung dari setiap jalan. Selalu ada perpisahan dari setiap pertemuan. Selalu ada kata-kata terakhir dari setiap pembicaraan. Dan itulah yang ada dalam cerita ini. Tentang sebuah fase kehidupan manusia...