Tujuhbelas

101 3 0
                                    

Tangannya sibuk mengoleskan lem ke berlembar-lembar foto yang ada di hadapannya. Sebagai seorang anggota mading, tidak terlalu sulit untuknya, berkreasi seperti ini. Via bahkan tidak mempedulikan waktu yang kian larut. Ia hanya ingin cepat menyelesaikan semua ini, dan kemudian menunjukkanya kepada iel.

Sambil sesekali tersenyum dan bersenandung kecil, Via terus melakukan aktivitas itu. Kadang ia berhenti sejenak, untuk membayangkan, bagaimana tanggapan Iel nanti akan kerja kerasnya beberapa hari ini. Di dalam hatinya, Via juga berjanji untuk tidak akan mengulangi lagi kesalahan konyol ini. Beberapa minggu tanpa senyuman manis Iel, ternyata bukanlah suatu yang mudah untuk di lewati begitu saja.

Via jadi mengingat kembali, saat-saat yang pernah ia lewati bersama Iel. Iel yang perhatian, Iel yang selalu ada untuknya, Iel yang selalu mencoba mengerti apa maunya dan Iel yang selalu menyayanginya.

"Semoga kamu bisa maafin aku ya, Yel.." harap Via sambil tersenyum.

Hanya di temani oleh cahaya lampu dan keheningan, Via terus menempelkan foto itu satu persatu. Menyimpan setiap rasa sayang dan menyisipkan sebuah rasa maaf di setiap lembar foto yang ia rekatkan. Berharap agar semua belum terlambat. Berharap ia masih dapat memperbaiki semuanya.

Drrtt..drrtt...drrtt..

From : Ashilla

Lusa, athvilan cafe, jam 7 mlm
WAJIB DATENG ! see yaa J

Sedikit mengernyitkan dahi saat membaca sms dari Shilla tersebut, tapi saat mata Via beralih dari layar hpnya ke arah prakarya di hadapannya, ia langsung mendapat sebuah ide tambahan.

"Ayo lembur Via, semangat!" Via berusaha memotivasi dirinya sendiri. Kemudian ia mulai tenggelam lagi mengerjakan kejutannya untuk Iel, bahkan lebih serius dari sebelumnya.

***

Sebuah amplop tertutup tergeletak di sampingnya, menunggu untuk di buka sejak siang tadi. Jari jemari Agni mulai meraih amplop tersebut, menerawangnya di bawah temaram lampu, berusaha menebak apa isi amplop itu, karena diam-diam, ia telah menyerahkan semua keputusannya pada isi amplop tersebut.

Perlahan namun pasti, Agni mulai membukanya, mengambil keluar kertas yang ada di dalamnya dan membaca kalimat demi kalimat yang tertera di atasnya. Senyum kegembiraan bercampur senyum getir tergambar di bibirnya. Detik ini juga, sebuah jalan telah ia pastikan untuk ia lalui dengan segala macam resikonya.

Matanya beralih ke arah meja kecil di sudut kamarnya. Terdapat beberapa figura foto yang berjejer di atasnya. Agni bangkit dari kasurnya, ia berjalan dan kemudian bersimpuh di depan meja kecilnya, menatap gambar-gambar yang terabadikan dalam figura-figura itu satu persatu. Tangannya merogoh ipod yang ada disaku celananya, lalu kemudian dengan asal, Agni menekan tombol play, tanpa direncanakan sebelumnya, sebuah lagu yang terasa sesuai untuknya mengalun menemaninya.

Pernahkah kau bicara
Tapi tak di dengar
Tak di anggap
Sama sekali
Pernahkan kau tak salah
Tapi disalahkan
Tak di beri
Kesempatan

Dengan tatapan nanar yang susah di artikan. Agni memandang foto itu satu persatu. Mengingat semua yang pernah ia dan Cakka lewati berdua. Saat mereka selalu menghabiskan waktu bermain basket berdua. Saat Cakka yang selalu bisa membuatnya tertawa. Saat Cakka mengajaknya jalan-jalan di hari libur.

Kuhidup dengan siapa
Ku tak tau kau siapa
Kau kekasihku tapi
Orang lain bagiku

Tapi kini semua itu menguap di telan waktu. Agni terasing sendiri terus bertahan untuk Cakka, sementara Cakka meninggalkannya berkali-kali, menganggapnya hanya sekedar selingan dikala ia butuh. Semuanya berubah, rasa sayang, segala perhatian, waktu-waktu berdua, hanya satu yang tidak berubah, maaf Agni yang selalu ada untuk Cakka.

LASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang