Duapuluh Satu

148 1 0
                                    

***

Iel menjalankan mobilnya pelan-pelan, meski mobil-mobil lain di sekitarnya melaju kencang dan berkali-kali mengklakson mobilnya. Iel berusaha untuk tidak peduli, ia menikmati setiap desahan angin yang menyelinap di sekitarnya dari kaca yang ia biarkan terbuka lebih dari setengah.

Ia melirik ke arah jok di samping kirinya, kosong. Tempat yang selama hampir satu setengah tahun hanya menjadi milik Via, kini ia biarkan kosong. Begitupun dengan hatinya, hampa tanpa senyum dari Via.

Baru setengah jam yang lalu, Iel mengacuhkan Via. Keterlaluankah sikapnya ini, terlalu keras kah cara Iel menghindari Via. Meski Via terlihat berusaha menahannya berkali-kali, memintanya dan memohon padanya untuk tinggal sejenak.

"Yel, tolong aku mau ngomong sama kamu, bentar aja yel.."

Bukannya Iel tidak ingin. Dia hanya takut, takut saat matanya bertemu Via, rasa cinta itu akan terus berkobar hebat dalam hatinya dan ketika itu terjadi, Iel takut Via akan melepaskannya atau ia harus melepaskan Via. Dan dirinya tahu pasti, ia tidak akan sanggup menjalani itu, ia tidak akan bisa semudah itu melihat via bahagia dengan orang lain, terlebih itu adalah sahabatnya sendiri.

***

Suara gemericik dari air mancur di tengah taman, menjadi satu-satunya suara yang menemani Rio dan Ify.

"Gue gak pernah maksud buat ngebohongin lo Fy, begitupun Shilla, gue yang...."

"Gue udah gak masalahin itu kok Yo, bukan masalah itu yang mau gue bahas, gue mau ngebahas tentang kita, tentang keputusan yang mau kita ambil.." meski duduk berdua, tapi mereka tidak saling berpandang-pandangan.

"Gak masalah buat gue kalo harus ngebatalin ini semua, begitupun Dea, ki...."

"Dengerin gue Yo, gue sayang sama lo dan rasa sayang itu rasa sayang yang bikin gue pengen milikin lo, bukan lagi sekedar rasa sayang yang kaya gue bilang dulu. Gue takut kehilangan lo saat gue tahu hubungan lo sama Dea, untuk pertama kalinya gue ngerasain apa yang orang sebut dengan patah hati. Gue akuin saat itu gue marah sama lo, gue kecewa, gue gak ngerti sama semuanya, sampai akhirnya gue sadar, bukan lo yang menjauh dari gue, tapi gue yang ngebiarin lo jauh dari gue.."

"Maaf Fy, gue...."

"Memang bener kata orang, you don't know what you get until you lost it, dan mungkin itu yang terjadi sama gue. Selama ini, gue cukup ngerasa tenang dengan tahu kalo lo sayang sama gue, selebihnya gue gak peduli bahkan gue milih buat gantungin elo. Gue terlalu sibuk ngejar semua cita-cita gue, gue gak pernah sadar dengan keberadaan lo yang nunggu gue disini..." ujar Ify kembali memotong kata-kata Rio.

"Gue gak peduli Fy, kita masih bisa mulai semuanya sekarang, kita masih bisa.." timpal Rio cepat, sebelum Ify menyelanya lagi.

"Menurut gue, kita masih bisa mengakhiri semuanya sekarang Yo, sebelum terlambat. Lo boleh anggep keputusan gue ini sepihak, tapi gue udah mutusin, untuk kembali ke Amerika, untuk ngeraih cita-cita gue, dan elo, gue tahu Dea orang yang baik dan pantes buat lo." Ify berusaha membuat nada suaranya terkesan seperti biasa, ia tetap tidak ingin ada air mata yang tumpah saat ini, setidaknya hingga nanti ia hanya sendiri di kamarnya.

"Lo milih cita-cita lo di banding gue, Fy? Bukannya kita bisa tetap berhubungan sambil lo lanjutin sekolah lo?" tanya Rio yang masih tidak habis pikir dengan kalimat yang Ify ucapkan barusan.

"Kalo lo mau bilang gue egois, ya gue memang seorang yang egois. Tapi apa yang lagi gue jalanin sekarang, semuanya juga buat kesuksesan diri gue sendiri, kebanggaan kedua orang tua gue, keluarga gue. Dan prinsip gue juga gak akan berubah, gue tetap gak mau menjalin hubungan dengan siapapun biar gue tetap fokus, gue percaya, suatu saat nanti, akan datang orang yang akan melengkapi gue dengan cara dan waktu yang tepat, dan sampai saat itu datang, gue akan tetap memilih buat jadi seorang Ify yang egois yang lagi ngejar cita-citanya."

LASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang