“WOII, FAREL BUKAIN PINTUNYA!!” Raffa terus memukul pintu kamar Farel.
Ini masih terlalu pagi untuk membangunkan orang di hari libur dan semua itu tidak dihiraukan oleh Raffa.
Cowok bermata biru itu sudah hampir lima menit berdiri di depan kamar Farel dan sedari tadi terus mengetuk pintu berwarna putih di depannya, sedangkan si pemilik kamar masih asik bergulat dengan selimut tebalnya terpaksa terbangun.
“Arrggg, ngapain, sih, itu anak kurang kerjaan banget teriak-teriak,” sewot Farel sambil menguap lebar.
“ELAH, REL, LO MATI APA GIMANA, SIH? LAMA AMAT.” Raffa berteriak semakin keras.
Farel turun dari ranjang berukuran king size-nya dengan langkah gontai dan mata yang masih setengah terpejam, tangan kiri cowok itu menggaruk pantatnya.
Farel memutar kunci yang terpasang di pintu dan membukanya.
“Apaan, sih, lo bacot banget, berisik teriak-teriak kayak di hutan tau nggak!” ucap Farel dengan tatapan yang mematikan.
Farel. Dahi cowok itu berkerut dalam, mata tajamnya kini meneliti bagian pintu kamarnya. Jika saja terjadi apa-apa dengan pintu kamarnya karena ketukan Raffa yang cukup keras.
Raffa yang memperhatikan Farel ikut mengerutkan dahinya bingung melihat saudaranya yang sedang meraba pintu bercat putih bersih itu.
“Lo ngapain, sih?” tanya Raffa heran.
Farel mendengus, “Liatin pintu.”
“Gue juga tau, maksud gue ngapain diliatin gitu? Pintu kamar lo ketuker?” Raffa mengangkat sebelah alisnya.
Sedangkan cowok dengan muka acak-acakan khas bangun tidur itu memutar bola matanya malas.
“Bego. Ya kali, ketuker, yang ada rusak gara-gara lo.”
“Lah, kok, gara-gara gue?” matanya menatap Farel bingung, “siapa suruh jam segini baru bangun, gue sampai lumutan tau nggak nungguin lo keluar.”
Farel menghela napas untuk yang kesekian kalinya, “Ngapain lo?”
“Elahh, biasa aja kali ngomongnya, PMS lo?”
“Berisik.” Singkat Farel dengan nada suara datar seperti biasa.
“Ikut gue, sekarang.” Raffa menarik paksa lengan cowok yang berdiri di depannya.
“Nggak.” Farel menepis tangan Raffa.
Raffa. Cowok itu menghembuskan napas kasar, “Ikut aja, kenapa, sih ribet banget.”
Farel hanya mendengus kesal lalu mengekor di belakang Raffa.
Keduanya berjalan menuruni anak tangga, suara sandal Farel yang berbunyi karena cowok itu melangkah dengan kesal membuat Raffa menjadi geram sendiri.
“Sstt, lo berisik banget, sih,” Raffa membalikkan badannya menghadap cowok yang ini ikut menghentikan langkahnya, “kalo, Bunda sama Ayah tau gimana?”
Sedangkan Farel hanya memutar bola matanya, “Emang lo mau ngapain? Mau ledakin ini rumah, iya?”
“Lo, jadi cowok nggak peka banget sih,” sewot Raffa, “pantes aja jomblo.” Lanjutnya dengan suara yang menurut cowok itu sudah sangat lirih.
Namun, perkiraannya salah. Farel dapat dengan jelas mendengar perkataan Raffa dan berhasil membuat kepalanya sakit karena mendapat pukulan dari Farel.
“Sialan.”
“Sakit, anjir.” Raffa mengusap kepalanya.
***
Ini bahkan masih sangat pagi dan tanpa rasa bersalah Raffa membangunkan tidur Farel.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TBS 1] : Everything [COMPLETED]
Teen Fiction[NEW VERSI] [Twin Brother Series : 1] Kesalahpahaman di masa lalu sudah memutar balik keadaan. Angin yang dulunya berhembus tenang kini menjadi badai. Salah, kah? Setidaknya ia pernah menjadi angin yang sejuk 'kan? Perihal dia menjadi badai itu...