Dug! Dug! Dug!Suara bola memantul terdengar di halaman belakang sebuah rumah sore itu.
Farel menangkap bola basket yang berhasil ia masukkan ke dalam ring. Men-dribble bola oranye tersebut beberapa kali.
Farel terlihat biasa-biasa saja setelah kejadian tiga hari yang lalu, ia bahkan terlihat tidak memikirkan apa yang sudah terjadi meski sejujurnya hati Farel masih terasa sesak kala kejadian di rumah sakit waktu itu tiba-tiba hinggap di kepalanya.
Akan tetapi, Farel tidak ingin berlama-lama hanyut dalam kesedihan.
Semua sudah selesai.
Audy mengatakan agar Farel pergi dan Farel akan melakukannya, persetan dengan perasaannya yang masih menyayangi Audy.
Farel kembali memantulkan benda bulat di tangannya lantas mengarahkannya ke dalam ring dengan emosi yang lebih mendominasi dalam diri Farel.
Bola tersebut memantul mengenai papan ring, sementara di sisi lain, Farel mendengus keras.
“Rel,” panggil seseorang.
Farel menolehkan kepala ke belakang, dahinya sedikit berkerut menatap cowok dengan kaus putih dan celana hitam selutut berjalan ke arahnya.
Sesaat kemudian, Farel mengalihkan perhatiannya. Ia meraih bola basket yang saat ini memantul rendah di lapangan basket belakang rumahnya.
Cowok yang memanggil Farel itu Raffa, ia kini mendudukkan badannya di pinggir lapangan tempat Farel bermain basket.
Kedua kakinya ia tekuk ke atas dengan kedua tangan yang bertumpu pada lututnya, ia hanya memperhatikan Farel yang masih mengambil bola basket.
Raffa sudah tahu semuanya, itu juga karena Raffa yang terus memaksa Farel untuk cerita setelah Farel pulang dari rumah sakit malam itu.
Raffa merasa kasian dengan Farel. Sejak sikap Audy yang tiba-tiba berubah secara tidak langsung itu juga membuat saudaranya ikut berubah.
Farel kembali kekebiasannya dulu lagi dan itu selalu membuat Raffa mengkhawatirkan kembarannya.
“Ngapain lo?” tanya Farel, berjalan ke arah Raffa.
“Gue punya sesuatu buat lo,” ucap Raffa lengkap dengan senyum manisnya.
Farel mendudukkan badannya di samping Raffa, kedua lututnya ikut ia lipat ke atas.
“Apa?” tanya Farel dengan dahi berkerut.
“Nih,” Raffa menyodorkan es krim cokelat yang sedari tadi ia pegang.
Kerutan Farel menghilang, ia kini justru mengangkat satu alisnya, “Buat gue?” Farel meraih es krim corn dari tangan Raffa.
“Tumben baik?” kekeh Farel.
Raffa mencebikkan bibirnya, “Dih, gue mah baik sama lo. Lo aja yang nggak sadar.” Cibir Raffa seraya membuka bungkus es krim corn miliknya.
Farel tertawa kecil, “Ngapain lo kasih gue es krim?” tanya Farel lagi, tangan kanannya memutar-mutar es krim miliknya.
Pandangan Raffa masih terfokus pada es krim yang sedang ia pisahkan dari bungkusnya, “Tadi ada, mang-mang penjual es krim lewat depan karena gue pengen, yaudah gue beli.”
Farel berdecak, ia kini ikut membuka kertas pembungkus es krimnya.
“Kata, Caca kalo ada orang yang lagi badmood suruh kasih es krim.” Kekeh Raffa.
“Jadi, karena gue peka dan gue tau mood, lo lagi jelek belakangan ini makanya gue beliin es krim.” Tambah Raffa.
Farel yang sedang menjilat es krim cokelatnya mengerutkan dahi lantaran ia tidak tahu siapa orang yang dimaksud saudaranya itu. Kepalanya menoleh ke kiri, menatap Raffa dengan tatapan mengintimidasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TBS 1] : Everything [COMPLETED]
Teen Fiction[NEW VERSI] [Twin Brother Series : 1] Kesalahpahaman di masa lalu sudah memutar balik keadaan. Angin yang dulunya berhembus tenang kini menjadi badai. Salah, kah? Setidaknya ia pernah menjadi angin yang sejuk 'kan? Perihal dia menjadi badai itu...