“Pagi, Ayah,” Raffa meletakkan tas sekolahnya pada kursi di sampingnya, “pagi, Bunda.”
“Pagi, Sayang,” ucap Renata seraya tersenyum hangat.
“Saudara kamu mana?” tanya Darren lalu meneguk kopi buatan Renata.
Raffa sontak menolehkan kepala ke belakang. Namun, tidak ada tanda-tanda Farel menuruni tangga. Detik berikutnya, Raffa kembali ke posisinya semula seraya mengangkat bahunya.
“Mana Raffa tau, kan kita nggak sekamar.” Jawab Raffa santai.
“Kamu, kan saudaranya, seharusnya tau, dong.” Darren menatap Raffa yang duduk di hadapannya.
Raffa mendengus pelan, “Masih tidur, kali.”
“Kamu bangunin sana.” Darren memajukan dagunya sebagai gestur menyuruh Raffa.
Raffa yang hendak mengigit roti tawarnya, menghentikan aktivitasnya. Kepalanya mendongak menatap Darren.
“Raffa, Yah?” tanya Raffa sambil menunjuk dirinya sendiri.
“Iyalah, masa Ayah.”
Raffa menggeleng, “Nggak mau Raffa laper, mau makan,” ujar Raffa, mengigit rotinya yang sempat tertunda.
“Udah, biar, Bunda aja yang bangunin Farel,” ucap Renata lelah mendengar pembicaraan kedua orang itu.
“Nah, Bunda baik, deh,” kekeh Raffa dengan mulut yang dipenuhi roti.
Renata hanya menggelengkan kepalanya lantas berjalan ke arah tangga yang mengantarkannya ke lantai dua di mana kamar Farel berada, sementara Darren sudah menatap Raffa dengan tatapan yang sulit diartikan.
Raffa yang mengetahui hal itu justru menaikkan satu alisnya.
“Kenapa, Yah? Kok, nggak dimakan sarapannya?” tanya Raffa polos, sedangkan Darren hanya menghela napas lelah.
***
“Farel,” panggil Renata untuk yang kesekian kalinya diikuti dengan ketukan pintu.
“Daffarel,” Renata menghela napas pelan saat tidak ada jawaban dari dalam.
Renata memutar knop pintu lantas mendorongnya ke dalam, beruntung pintu kamar Farel tidak dikunci mungkin karena cowok itu lupa.
Renata menggelengkan kepalanya ketika melihat Farel yang masih tertidur di balik selimut tebal yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.
Renata berjalan masuk ke kamar Farel. Kedua tangannya ia gunakan untuk membuka tirai jendela. Alhasil, sinar matahari masuk ke kamar yang didominasi dengan warna hitam dan putih itu.
Hal itu membuat si pemilik kamar membenarkan selimut tebalnya karena terkena silau sinar matahari.
Renata lantas duduk pada bibir ranjang, tangannya terulur mengelus rambut cokelat putranya itu.
“Farel. Bangun, Sayang.”
Yang terdengar hanya gumaman tidak jelas dari mulut Farel, cowok itu membenarkan posisi tidurnya mencari posisi yang lebih nyaman untuk melanjutkan tidurnya tanpa membuka mata sedikit pun.
“Bangun, yuk udah pagi,” ucap Renata lembut sambil mengusap lengan kanan Farel karena cowok itu saat ini tidur dengan posisi miring ke kiri.
“Farel, ngantuk, Bun.” Gumam Farel seraya menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya.
Renata menghembuskan napas, tangannya menyingkap selimut Farel sedikit. “Kamu mau terlambat ke sekolah?”
Farel bergeming, sejujurnya ia masih sangat mengantuk karena dirinya baru pulang pukul tiga pagi tadi dan sekarang Farel sudah dibangunkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TBS 1] : Everything [COMPLETED]
Fiksi Remaja[NEW VERSI] [Twin Brother Series : 1] Kesalahpahaman di masa lalu sudah memutar balik keadaan. Angin yang dulunya berhembus tenang kini menjadi badai. Salah, kah? Setidaknya ia pernah menjadi angin yang sejuk 'kan? Perihal dia menjadi badai itu...