Cowok berambut cokelat meluncur di atas papan seluncur dengan empat roda kecil di bagian bawah, berwarna hitam miliknya.Semburat senja perlahan berganti dengan langit yang mulai terlihat gelap.
Cowok itu ingin sejenak melupakan kejadian siang tadi.
Kini ia ada di taman kota yang tidak pernah sepi setiap harinya, cowok yang menggenakan jaket warna abu-abu itu memainkan papan skateboard-nya di bawah sinar lampu di taman, sendirian.
Beberapa saat setelahnya karena merasa lelah, cowok itu duduk di atas papan skateboard dengan kedua tangan bertumpu pada lututnya.
Pandangannya menjelajah ke sekeliling, mencari objek yang menarik untuk dilihat. Matanya kini terfokus pada dua anak kecil yang sedang bermain bola, seketika hal itu mengingatkan dirinya pada orang itu lagi.
“Aku-aku,” teriak Farel kecil.
Raffa kecil menendang bola yang kini ada di kakinya, mengarahkannya pada Farel yang sedang mengayun kedua tangan di atas kepala, siap menerima bola itu.
Farel kecil menerima bola plastik itu membawanya berlari sambil sesekali menendang kecil bola di depannya.
Baru beberapa meter ia berlari, anak itu sudah tersungkur di atas rumput hijau, tidak lagi mengejar bola yang tadi di tendangnya.
Raffa yang melihat Farel terjatuh langsung berlari menghampiri saudaranya itu dengan susah payah.
“Amu, nggak pa-pa?” tanya Raffa kecil yang kini ikut berjongkok di samping anak itu.
Farel kecil hanya menggeleng polos dengan kedua tangan yang masih memegang satu lututnya.
Raffa menaikkan kedua alisnya saat melihat lutut saudaranya yang sedari tadi dipegangi, anak itu memaksa untuk membuka apa yang disedari tadi disembunyikan oleh Farel.
“Nggak mau!” sentak Farel.
“Aku mau liat,” Raffa tetap keukeuh menyingkirkan tangan Farel yang menutupi lututnya sendiri.
“Minggir amu! Arel nggak pa-pa,” Farel mendorong tubuh Raffa dengan satu tangannya.
Raffa yang didorong oleh Farel pun terduduk di rerumputan, tetapi dengan cepat anak itu kembali berjongkok, “Aku mau liat,” ulang Raffa.
“Lutut amu bedarah!” seru Raffa kecil heboh. “Ayo, liatin ke ayah,” Raffa kecil menarik tangan Farel.
Kedua anak itu kini berdiri di depan seorang pria yang masih terlihat muda dan begitu tampan sedang duduk sambil membaca sebuah buku.
“Ayah-ayah, liat, deh lutut, Arel,” seru Raffa masih tetap heboh sambil mengguncang lengan Darren.
Darren meletakkan buku yang tadi dibacanya, “Kenapa?”
Farel kecil mengangkat celanannya, memperlihatkan lututnya yang berdarah, “Atuh,” lirih Farel.
Darren tersenyum pada anak yang mungkin sebentar lagi akan menangis karena perih di lututnya belum juga hilang. “Sini, Ayah obatin.”
Farel mendekat pada pria itu, sementara Darren mengangkat Farel dan mendudukkan Farel di atas pangkuannya.
“Raffa, tolong minta ke Bibi suruh ambilin obat buat Farel, ya, Nak?” perintah Darren dan dibalas anggukan oleh anak itu.
“Sakit?” tanya Darren lembut dan Farel hanya menganggukkan kepalanya.
Tidak berapa lama Raffa kecil berlari membawa kotak P3K dengan susah payah lantas memberikannya pada Darren yang mulai membersihkan luka di lutut Farel.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TBS 1] : Everything [COMPLETED]
Novela Juvenil[NEW VERSI] [Twin Brother Series : 1] Kesalahpahaman di masa lalu sudah memutar balik keadaan. Angin yang dulunya berhembus tenang kini menjadi badai. Salah, kah? Setidaknya ia pernah menjadi angin yang sejuk 'kan? Perihal dia menjadi badai itu...