"Lo kapan sembuh, Rel?" tanya Andre pada Farel.
Farel bergeming, tidak tahu apakah dirinya bisa sembuh atau justru sebaliknya.
"Lo harus sembuh, Rel. Kalau, lo sakit nanti nggak ada yang ngerjain, Bu Ita," ujar Bagas yang duduk di sofa tidak jauh dari ranjang Farel.
"Anjirr, laknat lo jadi murid," Andre menatap heran sahabatnya itu. Namun, tetap saja Andre terkekeh.
"Abis, itu guru kan persetan kalau sama Farel." Ledek Bagas.
Farel ikut terkekeh mengingat guru bahasa Indonesia super galak yang selalu mendapat kejahilan dari Farel juga kedua sahabatnya itu.
Guru yang tidak segan-segan dalam memberi hukuman pada murid yang tidak disiplin seperti Farel, Bagas juga Andre.
"Kalian nggak pulang?" Farel menatap bergantian sahabat-sahabatnya itu.
"Jadi, lo ngusir kita?" Bagas memincingkan matanya, tangannya kembali memasukan makanan ringan yang sempat, ia beli sebelum menjenguk Farel tadi.
Farel menghela napas, bukan karena apa dirinya bertanya seperti itu. Pasalnya kedua sahabatnya itu sudah sejak pulang sekolah ada di sini menemani Farel dan saat ini jam sudah menunjukan pukul tujuh lebih lima belas menit, malam.
"Emang kalian nggak dicariin, apa?" Farel mengernyit, "gue nggak mau, ya dikira nyulik kalian berdua."
"Lebay lo, Rel." Andre berdecak, "Biasanya kan, kita bertiga juga pulang jam dua malem," Andre tersenyum miring, mengangkat kedua alisnya bersamaan, angkuh.
"Lagian gue tadi hampir dihajar Bagas. Masa iya, gue mau pulang sekarang." Andre melirik Bagas yang sudah menatap tajam ke arahnya.
"Kenapa, lo hajar Andre?" tanya Farel memperhatikan Bagas.
"Dia kan suka kalap kayak lo," timbal Andre.
"Diem lo, cumi." Bagas melempar bantal sofa ke arah Andre.
Farel membenarkan posisi duduknya, menatap bergantian dua orang yang ada di ruangan itu. Seulas senyum tipis terukir pada wajahnya, sudah lama mereka bersama-sama, sudah mengenal satu sama lain cukup baik.
Bahkan, Farel sudah menganggap keduanya adalah saudara, ia tidak bisa membayangkan perasaan Bagas dan Andre saat dirinya pergi nanti.
Farel berdeham membuat dua cowok yang kini berdiri di sisi ranjang Farel menoleh ke arahnya.
"Kalau gue pergi, kalian bakal sedih nggak?" tanya Farel tiba-tiba.
Bagas dan Andre mengernyit lantas melempar pandang. Ini bukan Farel yang biasanya, rasanya aneh saat cowok berambut cokelat itu menanyakan hal seperti ini.
"Kita nggak bakal sedih," ujar Bagas yang langsung mendapat tatapan tajam dari Andre. Bagas yang sadar dengan tatapan itu tidak memedulikannya.
"Karena, lo nggak bakal pergi kemana-mana," lanjut Bagas berhasil membuat Andre merasa sedikit lega.
"Lo bakal sembuh, Rel. Lo kuat, kita tahu itu. Kita ada di sini buat selalu support lo," Andre menepuk pelan bahu Farel.
Ketiganya berpelukan, satu pemandangan yang cukup langka sebab, mereka belum pernah melakukan hal ini sebelumnya. Meskipun, mereka sudah menjadi sahabat selama ini.
Ketiganya sudah benar-benar seperti keluarga yang ingin menjaga satu sama lain.
Farel tersenyum meskipun, itu adalah sebuah senyuman sendu. Dirinya beruntung bisa mengenal orang seperti Andre dan Bagas.
Orang yang selalu ada di saat Farel senang maupun sedih meski, ketiganya selalu adu mulut hanya karena masalah kecil.
Namun, itu tidak berlangsung lama karena beberapa menit setelahnya, semua akan terlihat baik-baik saja seperti sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TBS 1] : Everything [COMPLETED]
Teen Fiction[NEW VERSI] [Twin Brother Series : 1] Kesalahpahaman di masa lalu sudah memutar balik keadaan. Angin yang dulunya berhembus tenang kini menjadi badai. Salah, kah? Setidaknya ia pernah menjadi angin yang sejuk 'kan? Perihal dia menjadi badai itu...