"Aku meng-khitbah mu bukan karena rasa, sebab rasa itu cepat sirna. Aku meng-khitbah mu karena akhlak cantik mu pada Sang Pencipta"
____________
KELUAR masuk fakultas kedokteran kini tak membuatku merasa asing. Begitu pun mahasiswa yang lain, karena mereka memiliki urusan dengan Pak Alif, dan tak dapat dipungkiri kalau kami harus datang ke tempat ini. Pagi ini aku harus menemui pria itu dan menyelasaikan semuanya. Terutama tentang kolom nilaiku yang kosong.
"Nafisya ..." Seorang pria memanggilku dan kemudian berjalan di sampingku. Aku seperti tahu wajahnya tapi siapa dia? Rasanya sering sekali melihat orang ini.
Setelah merenung cukup lama, Aku baru ingat kalau dia itu si jenius Alfa. Sang ketua angkatan sekaligus ketua kelas serta menjadi pengurus himpunan mahasiswa farmasi. Pria yang menyandang nilai IPK tertinggi di kelas kami, tapi kenapa dia ada disini.
"Alfa, kan?" aku memastikan. Oke, ini baru semester satu, dan aku tidak begitu akrab dengan teman-teman satu kelasku. Terutama mahasiswa laki-lakinya.
"Iya, kamu mau ketemu Pak Alif ya? Bareng sekalian. Aku kurang tahu ruangan disini."
"Kamu ngapain ketemu Pak Alif, Al?" tanyaku balik.
"Mau minta detensi, soalnya aku pernah nggak ikut pelajarannya sekali gara-gara ikut lomba pemilihan Duta Kesehatan." Dia masih minta detesi padahal nilainya sudah sangat sempurna.
Tak lama dari percakapan itu, aku dan Alfa berdiri di depan meja pria paling menyebalkan yang pernah kutemui. Dia duduk dengan buku dan kacamatanya, sibuk dengan tumpukan jurnal-jurnal pratikum anak kedokteran yang harus dia periksa.
"Nilai kamu udah aman, Al. Saya rasa kamu nggak perlu detensi," kata Pak Alif ke arah Alfa.
"Dan kamu-" Dia mengambil nafas bosan ketika melihatku. Apa nilaiku sebegitu buruknya sampai mimik wajahnya tidak menarik untuk dilihat.
Sebenarnya kalau nilai tidak menjadi syarat kelulusan dalam suatu mata kuliah, aku tidak peduli. Aku tidak butuh nilai, karena yang kubutuhkan adalah skill. Sayangnya nilai menjadi parameter penting untuk menentukan skill sekarang.
"Daripada kamu kebanyakan memikirkan urusan pribadi, lebih baik kamu pikirkan apa resikonya kalau nggak lulus di SKS saya. Kalau kamu nggak sanggup ada di Prodi Farmasi, lebih baik kamu mundur dari sekarang," kata-katanya benar-benar mendalam sekali.
Ini bagai ancaman secara tidak langsung kalau beasiswaku akan diberhentikan karena nilai Anfismanku jelek. Urusan pribadi? Jidan maksudnya? Mungkin sekarang emosinya sedang buruk. Ah, sudahlah tidak usah dipikirkan. Aku mengikuti kata Aris untuk diam saja dan minta maaf saja.
"Maaf Pak," kataku lirih membuat Alfa menatapku dengan tatapan miris dan kasihan. Kenapa aku selalu berakhir meminta maaf pada pria satu ini? Menyebalkan sekali.
"Sebagai tugas akhir kamu buat paper tentang materi selama saya mengajar, dan ketik ulang materi di buku kamu karena saya tahu itu tulisan tangan Rachel. Kirim ke email saya sebelum jam delapan malam," suruhnya. Dia menatap ekspresiku yang tidak bersahabat.
"Keberatan?" tanyanya. Ingin kujawab sangat keberatan, tapi aku ingin masalah ini cepat selesai.
"Engga, Pak. Saya bukan mahasiswa pengecut yang lari dari masalah," kataku. Skak mat! Itu kata-kata yang pernah dia katakan dulu.
"Terus kenapa kamu masih berdiri di situ? Jangan bilang kamu gak tahu email saya?" Aku mengigit bibir bawah. Benar juga, kenapa aku tidak berpikiran ke arah sana. Itulah masalahnya. Aku tak tahu alamat emailnya, selama ini dia meminta tugas dalam bentuk cetak. Syukurlah Alfa memberiku kode bahwa dia tahu alamat emailnya Pak Alif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Calon Imam ✔
Spiritual(Sudah terbit, bagian tidak lengkap.) Nafisya Kaila Akbar, lima belas tahun memendam perasaan pada sosok pria yang menjadi tetangganya. Jidan Ramdani. Namun pria itu hanya menganggapnya anak kecil yang tak pernah tumbuh dewasa. Beranjak dewasa, Naf...