Chapter 14

70.1K 6.1K 258
                                    

"Ya Allah aku tahu hatiku ini tak mungkin serapuh kaca. Maka kuatkanlah hatiku menjadi setangguh baja." 

____________

MATAKU sudah seperti panda. Akhir-akhir ini mungkin karena aku sering tidur malam mataku cepat sekali lelah. Kemarin saja aku tidur hampir jam setengah dua belas malam dan terbangun lagi dijam dua pagi. Karena tak bisa tidur akhirnya aku memutuskan shalat tahajud sekaligus shalat isrikharah sesuai anjuran Abi.

Aku tidak mendapatkan jawaban apapun, aku tidak memimpikan apapun walau terkadang jawaban shalat istikharah tidak selalu lewat mimpi. Aku hanya tinggal menjalaninya maka itulah jawaban terbaiknya. Aku sudah mengambil keputusan yang terbaik diantara yang paling, Eropa dan Pak Alif sama-sama sebagai pelampiasan semata. Aku tidak akan pergi ke Eropa, aku akan tetap tinggal dan menahan semuanya.

Aku juga tidak akan menerima lamarannya Pak Alif, karena menerima sama dengan menyakiti. Aku lebih memilih membiarkan diri sendiri tenggelam dalam rasa sakit daripada harus menyeret orang lain untuk ikut tenggelam dalam rasa sakitku. Akan kukatakan jawabanku pada Abi setelah acara ijab qobul ini selesai. Ini adalah yang terbaik, karena aku yakin jika dia memang jodohku pasti Allah mempersatukan kami meskipun aku menolaknya.

Sambil menunggu subuh, kuhabiskan waktu untuk bertadarus. Aku memahami sesuatu bahwa tidak ada kata 'percuma' untuk apapaun yang di takdirkan Allah. Kemarin aku dengan bodohnya memutuskan untuk mengambil beasiswa keluar negeri begitu saja tanpa tahu apakah aku bisa hidup disana tanpa kehadiran Ummi.

Pagi-pagi sekali, ibunya Jidan sudah datang ke rumahku dan memberikan beberapa alat-alat yang akan dibutuhkan Kak Salsya saat rias nanti. Aku berganti pakaian dengan baju keluarga, hari ini adalah hari akadnya sementara besok baru resepsinya, jadi acaranya dilakukan dua hari. Untuk hari ini dilakukan di rumah, dan hanya dihadiri keluarga besar dari keluarga Jidan dan keluargaku.

Menakjubkan, rumahku sudah penuh dengan orang-orang yang nampak sibuk. Semua ruangan disulap sedemikian rupa terutama ruang tamu yang hanya jadi ada satu meja dan karpet besar. Kak Salsya pasti masih di kamarnya akhirnya aku memilih menemuinya. Ada tiga orang disana, Tante Ana yang datang dari Jakarta, Mas stylish yang pernah kutemui di butik beserta pelayan perempuannya. Aku menyambut Mbak Ana dengan pelukan.

"Cieeeeee ... si bungsu kapan nih mau nyusul kakaknya? Udah ada calon belum?" Kata Mbak Ana membuat Kak Salsya yang sedang dirias menoleh ke arahku untuk melihat reaksiku. Aku hanya membalas pertanyaan Mbak Ana dengan senyuman tipis. Mbak Ana tidak tahu bahwa semalam seseorang baru mengkhitbahku.

Apa reaksinya jika Pak Alif tahu aku menolaknya. Apa dia akan kecewa? Dia pasti akan kecewa, apalagi setelah aku meminta waktu untuk menjawab. Pintu kamar Kak Salsya terbuka lagi memunculkan sosok Ummi dengan pakaian yang hampir sama sepertiku.

"Cepetan turun acaranya udah mau mulai," kata Ummi.

"Kak Salsya kan belum beres diriasnya, Mi?" Tanyaku.

"Ya kan Kakak kamu turunnya nanti pas udah akadnya selesai. Ummi tunggu dibawah, cepet ya."

"Yuk, Sya ..." Ajak Mbak Ana menarikku tanpa bertanya apakah aku mau melihat akadnya atau tidak. Ini suasana yang tak pernah ingin kulihat. Aku duduk bersebelahan dengan Mbak Ana, di depan meja yang sudah dihias, Abi dan Jidan sudah duduk saling berhadapan ditemani Fadil dan Fadli. Banyak orang ditempat ini membuatku semakin sesak.

Ketika Ayahnya Jidan membacakan sambutan-sambutan khas acara pernikahan pikiranku malah tak fokus sedikit pun. Aku melihat tanganku. Tidak! Jangan sekarang, kumohon jangan kumat sekarang. Tremorku muncul lagi. Seperti biasa tanganku mendingin gemetar dan aku berkeringat tak jelas.

Assalamualaikum Calon Imam ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang