"Islam memuliakan wanita dengan menikah, jadi saya pikir jalan keluar satu-satunya adalah menikahi Nafisya."
____________
MALAM ini adalah malam spesial, minus satu hari lagi alias besok Kak Salsya akan menikah dengan Jidan. Ummi mengadakan acara pengajian, mengundang para tetangga dari majelis terdekat juga beberapa yatim dari panti asuhan terdekat. Katanya sebagai syukuran kelulusan Jidan juga.
Pengajin itu sendiri di pimpin oleh Pak Fajar ayahnya Jidan, dan yah benar. Cinta itu merubah segalanya termasuk Kak Salsya. Semoga Allah membuatnya istiqomah. Kak Salsya, Ummi dan aku menggunakan baju gamis yang sama setelah acara wisuda tadi, yaitu gamis berwarna biru gelap dengan jilbab panjang berwarna biru langit. Kak Salsya nampak cantik sekali membuat Jidan harus benar-benar menjaga pandanganya.
Aku senang sekarang, karena Abi tak terhenti tersenyum hari ini. Aku mulai merubah semuanya, walau tak banyak tapi aku mulai menerima semuanya. Keluarga Ibu Mia juga datang, lengkap dengan Fadli dan Fadil, sementara Mas Kahfa belum datang katanya ada keperluan terlebih dahulu. Setelah pengajian selesai, acara di tutup dengan penjamuan makan. Kami makan bersama masakan kombinasi hasil featuring Ummi, Bu Mia dan Ibunya Jidan.
Mendadak aku jadi teringat Arsya bayi berumur tiga tahun di panti asuhan Insan Mandiri waktu itu.
"Siapa yang mau puding?" kataku meniru gaya Ummi. Mereka berhamburan menghampiriku.
"Ambil ini," kataku membagikan satu persatu puding itu, sampai bagian terakhir puding coklat.
"Ini punya Kakak, kamu rasa strawberry aja ya?" Anak itu terdiam dan hendak menangis.
"Gimana kalo satu juz untuk satu puding? Nanti Kakak tes deh," kataku.
"Tapi aku hafalannya baru juz tiga puluh, Kak?" Aku sedikit tertawa dan mengusap rambut anak itu.
"Ini ambil, lanjutin hafalan kamu ya." Aku menaruh nampan itu dan Ibu Mia menyapaku.
"Sya, kamu udah makan?" Aku tersenyum tipis.
"Fisya belum laper Bu." Ibu Mia balas tersenyum.
"Makan nggak harus nunggu laper, ayo makan. Ibu temenin," kata Bu Mia.
Aku ingin berubah dan memang akan berubah. Aku tidak mau membenci Abi dan keluarga barunya. Aku juga ingin terlepas dari fobia yang menyiksa ku ini. Philofobia katanya, apalah itu fobia jatuh cinta mendadak tangan gemetar dan berkeringat tak jelas seperti pasien epilepsi. Waktu aku sampai dapur, Mba Nayla tengah duduk disana.
"Mbak Nayla udah makan belum? Kalo belum biar Fisya yang gendong Fathir." Bu Mia menyela lagi.
"Kan kamu mau makan dulu, Sya."
"Iya, makan dulu gih," sambung Mbak Nayla. Fathir itu anak tetangga di sebelah kanan rumahku, dan tetangga sebelah kiri sudah pasti keluarganya Jidan.
"Fisya nggak laper serius, tadi di gedung banyak ngemil. Nanti Fisya mau bikin jus jambu aja, sini biar Fisya yang gendong Mbak." Aku mengambil alih Fathir dari pangkuan Mbak Nayla lagian kasian jika Mbak Nayla harus terus menggendong Fathir padahal perutnya sedang berisi.
"Fisya kedepan ya, ngumpul sama yang lain." Mbak Nayla beranjak dari duduknya pasti pegal menggendong Fathir sejak tadi. Sekitar pukul sembilan malam, Mas Kahfa baru datang. Katanya ada urusan tadi jadi dia tidak pulang bersama Mba Nayla. Pria di belakangnya itu, Pak Alif.
Aku sedikit kaget apa Allah mendengar gumaman kecilku yang berharap dia datang. Ah, tapi mungkin Abi yang menggundangnya. Fisya, kamu ini terlalu berlebihan. Semua tamu sudah pulang, anak-anak yatim di antar pulang oleh Fadli dan Fadil juga Jidan. Sekarang kami semua tengah berkumpul di ruang depan. Semua melihat kearahku ketika aku menggendong Fathir, Ummi bergeser untuk memberiku tempat duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Calon Imam ✔
Spiritüel(Sudah terbit, bagian tidak lengkap.) Nafisya Kaila Akbar, lima belas tahun memendam perasaan pada sosok pria yang menjadi tetangganya. Jidan Ramdani. Namun pria itu hanya menganggapnya anak kecil yang tak pernah tumbuh dewasa. Beranjak dewasa, Naf...