Chapter 2

211K 9.7K 244
                                    

"Sesungguhnya orang yang paling dimurkai oleh Allah adalah orang yang selalu mendebat."

(HR. Bukhari).

____________

AKU menatap kembali suster tadi "Namanya Alif Syabani Alexis," kataku. Suster itu mendengus kesal karena mendadak bolpoinya habis, lalu dia pergi kebagian belakang sebentar. Pria itu menatapku dengan kening yang mengerut setelah kukatakan kalau dia adalah pasien juga.

"Kenapa saya jadi korban juga?" tanyanya.

"Pundak Mas." Aku menunjuk bagian pundakku sendiri sambil membidik ngeri melihat darahnya. Dia memegang pundaknya, dan noda darah langsung tercipta ditangannya.

"Astagfirullah Mbak, kenapa baru bilang sekarang?" kata pria itu. Kalau aku bilang dari awal, bisa-bisa kami kecelakaan lagi dan korbanya bertambah menjadi tiga. Makanya aku bertanya dia merasa pusing atau tidak.

"Sekarang Mas mending duduk aja, sambil nunggu dokter," kataku. Aku memberi saran pada pria itu, tapi rupanya saran tersebut malah disambut buruk.

"Nunggu dokter?" tanyanya sambil menaikan sebelah alis, seperti tak ikhlas ketika baru kuberitahu masalah lukanya itu. Suster tadi datang lagi dengan bolpoin baru tentunya.

"De, pasien yang tadi nam-Loh Dokter Alif kok disini? Katanya hari ini ambil cuti?" kata suster itu ketika melihat pria yang berada di sampingku. Pandanganku sontak bergantian menatap suster itu dan pria yang mengaku namanya Alif.

Dia dokter ya? Kenapa tidak bilang dari awal?

Pria itu berbicara lagi melihat kebingunganku.

"Dokter Kahfa yang jaga hari ini, kan? Cuti saya sedikit terganggu," katanya sambil memandang ke arahku dengan tatapan sinis. Kenapa dengan tatapannya itu? Memangnya aku penyebab kecelakaan tadi.

"Harusnya memang Dokter Kahfa yang jaga, tapi jadwal operasi reguler keganggu sama pasien-pasien baru, Dok. Jadinya Beliau di tarik sana-sini. UGD kekurangan dokter bedah," balas suster itu.

"Kalo gitu saya balik lagi nanti siang, ba'da dzuhur," kata pria itu. Yang kutebak akan membatalkan cutinya dan hanya mengambil cuti setengah hari.

"Iya, Dok," timbal suster itu.

Pria itu pergi begitu saja tanpa mempedulikan lukanya. Membiarkan aku berdiri seperti patung penjaga disini. Mungkin dia dendam karena aku baru memberitaunya barusan, bukan sejak awal. Aku pun memilih berjalan berlawanan arah dengan pria itu. Baru sampai beberapa langkah aku kembali mematung dan memijit keningku.

Arhhh! Aku tidak bisa pura-pura tidak peduli, luka itu pasti cukup dalam karena darah yang mengotori kemejanya cukup banyak. Mendadak langkahku terhenti dan kembali memikirkan resiko terbesar yang mungkin terjadi pada pria itu. Aku berbalik arah mencari sosok pria tadi, aku sedikit berlari mengejarnya ketika dia melintasi pintu masuk.

"Mas, lukanya harus diobatin dulu," kataku dengan sedikit terengah-engah karena kelelahan. Dia menatapku sepersekian detik. Sudahku jelaskan bagaimana tatapanku pada makhluk bernama laki-laki.

Tolong! Jangan salah paham. Aku sama sekali tak tertarik pada pria itu. Pernah dengar dokter jiwa mungkin saja terkena penyakit jiwa? Aku hanya berpikir kearah sana. Dia bisa kehabisan darah walau dia seorang dokter.

"Saya bisa obatin sendiri, Mbak," katanya sambil hendak pergi. Bisa mengobati sendiri katanya? Masalahnya mana ada orang yang bisa melihat leher belakangnya kecuali kepalanya mampu berputar seratus delapan puluh derajat.

Assalamualaikum Calon Imam ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang