Chapter 1

495K 15.7K 1K
                                    

"Aku tidak mau membuat hati milik Allah ini sakit hanya karena ulah hambannya. Allah itu pencemburu, dia cemburu ada nama lain di hatiku, di pikiranku atau pun di lisanku."

____________

SESEORANG melempari kaca kamarku dengan krikil membuatku semakin menarik selimutku untuk menutupi kepala sekaligus telinga. Berulang kali kubatinkan kalimat istigfar, tapi dia tetap pada usahanya. Percaya atau tidak ini sudah hampir jam sepuluh malam dan "si hantu" itu belum mau berhenti dari aksinya.

[LINE]
Makhluk Mars :

"Aku tahu kamu belum tidur Sya! dan jangan pura-pura tidur. Lampunya masih nyala, Allah Maha Melihat."

Kalau sudah bersangkutan dengan Allah. Aku tak bisa bersikap apapun. Siapa lagi yang berani mengangguku seperti ini kecuali Jidan Ramdani. Pria yang rumahnya berdiri megah tepat di sampingku. Aku tak membalas pesannya, dan dia tetap dengan usahanya yaitu melempari kaca kamarku dengan krikil.

"Sya! Nafisya!" Teriaknya. Arggt! Dasar penghuni mars.

Aku berdiri dan mengambil jilbab instan berwarna hijau toska senada dengan baju yang kukenakan sekarang. Syukurlah piama tidurku sudah berlengan panjang begitupun celananya. Kubuka jendela itu selebar mungkin. Membuat angin malam masuk tanpa ijin. Mengambil nafas panjang sebelum berteriak,

"Kenapa gak sekalian aja lemparin pake batu bata!" Akhirnya semuanya meluap. Pria di bawah sana hanya menunjukan jajaran gigi rapihnya sambil tersenyum konyol ke arahku tanpa rasa bersalah.

"Sssssstttttt!" katanya berteriak sambil menyuruhku tidak berisik padahal dia sendiri yang menciptakan kegaduhan. Sesuatu mengganjal otaknya. Ini wajar jika kami berumur di bawah sepuluh tahun, tapi dia masih melakukan ini padahal kami sudah duduk di bangku kuliah.

"Kalo ketauan Ummi kamu, kita bisa dinikahin ditempat," katanya waspada.

Kalau dia tahu batasan bahwa seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak boleh berduaan lalu kenapa dia terus menerus melempari kaca kamarku dengan krikil? Aku tak merespon perkataannya dan hanya menatapnya dengan tatapan kesal karena memang itu lah harapanku, menikah dengannya.

Tatapan yang kuberikan itu bukan tatapan mata bertemu mata, aku tidak pernah melakukan eye contact dengan pria mana pun. Aku cukup tahu kalau panah terdahsyat setan adalah melalui pandangan. Aku menatapnya tapi menatap ke arah lain yang sejajar dengan sosok Jidan.

Mengenai Jidan, terlalu bodoh memang berharap jodoh next door. Berharap suatu saat tetanggaku bertamu untuk melamarku. Berharap Jidan akan jadi imamku dimasa depan. Semua memang murni kesalahanku karena membiarkan rasa ini tumbuh.

"Sya, rencana tadi siang berhasil," teriaknya terlihat girang sekali. Jidan pernah mengatakan bahwa aku akan menjadi orang pertama yang tahu segala keputusan penting yang akan dia ambil di masa depan.

"Oh ... Selamat kalo gitu," kataku dengan nada yang terdengar biasa-biasa saja. Aku hendak menutup jendela sampai teringat sesuatu. Aku berteriak mengatakan ini berharap orang yang kamarnya berada di sebelahku juga mendengarnya.

"Inget ya Dan! Dalam Islam itu nggak ada yang namanya pacaran!" teriakku diikuti suara jendela yang dipaksa tertutup.

Bulir air mata itu kembali terjatuh. Sungguh, aku tidak ingin menangis lagi, terlebih hanya untuk seorang pria karena perasaan konyol ini. Aku ingin melupakan Jidan. Bukan kali ini saja aku berusaha untuk melupakannya, sudah sejak empat belas tahun lalu aku berencana melupakan perasaan ini. Sayang, semuanya tetap menjadi rencana sampai kami tumbuh dewasa.

Assalamualaikum Calon Imam ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang