Chapter 15

89.1K 6.7K 492
                                    

"Menggenggam tangannya yang kini sudah tak sekuat dulu. Tangan yang dulu pernah menjagaku."

____________

KEESOKAN harinya. Akhirnya aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku bisa pergi dan Ummi sudah mengijinkannya. Ada sesuatu yang mengganjalku, aku harus memberikan jawaban pada Abi hari ini. Tapi sampai kemarin sore aku tak bertemu dengan Abi dan dia juga tidak menjawab panggilanku. Aku tak mau menggantung Pak Alif terlalu lama. Harusnya dia sudah tahu jawabanku.

Aku mengkonfirmasi pada Pak Gilang —dosen yang menjabat di akademik dan mengurus beasiswa—mengatakan bahwa aku akan mengambil beasiswa itu. Sertifikasi dan berkas-berkas yang diperlukan akan kukirimkan secepatnya lewat email. Kak Salsya sudah keluar dari rumah Jidan pagi-pagi sekali menggunakan piama tidur yang baru, dia datang hanya untuk menceramahiku.

Benar kata Bu Mia, Kak Salsya lebih memilih menunda resepsinya dan menunggu Abi pulang dari Brunai daripada acara itu berlangsung tanpa kehadiran Abi jadi acara resepsinyanya diundur tiga hari.

"Kamu sama Abi sama aja, pergi diwaktu yang gak tepat," omelnya, aku menarik koper kecilku keluar rumah yang kupacking semalaman.

"Yeeee ... Kan Kakak yang pesan tiket buat Fisya hari ini, lihat tuh Mi udah nikah jadi sensian." Aku merasa agak heran ketika Kak Salsya hanya keluar sendirian. Kemana suaminya? Tidak akan mengatakan selamat tinggal padaku memangnya? Menghubungiku saja tidak, padahal dia tahu aku akan berangkat pagi ini. Aku akan melupakan dia bukan berarti dia berhenti jadi sahabatku, kan? Jidan semakin aneh sekarang.

"Kamu udah kasih kabar sama Abi kalau kamu berangkat hari ini?" tanya Ummi.

"Udah Mi, tapi Abi lagi sibuk banget kayaknya. Fisya mau mampir dulu kok ke kantornya sebentar sebelum ke bandara," jawabku.

Mereka memang tidak akan mengantarku sampai Bandara. Aku melarang meraka untuk mengantarku dan menyuruh mereka istirahat karena pasti seharian kemarin mereka kelelahan. Ummi memelukku erat, katanya kenapa dia harus melepas putrinya bersamaan, membuatku ingin menangis lagi. Sebenarnya aku tahu bahwa Ummi belum siap melepasku. Aku membalas pelukannya erat, aku akan rindu aroma khas cherry dari tubuhnya.

Dalam taxi, aku menatap arlojiku. Baru jam delapan pagi, masih ada satu jam lagi sebelum sampai bandara. Abi juga akan pegi hari ini. Pesawat Abi kan berangkat jam sembilan pagi, pasti dia ada dikantornya sekarang. Aku juga belum berpamitan padanya, bahkan dia tidak membalas pesanku ketika kukatakan aku mendapat ijin dari Ummi.

Banyak karyawan yang sudah berdatangan, Aku pergi ke bagian resepsionis menanyakan keberadaan Abi.

"Beliau nggak dateng ke kantor kok sejak kemarin. Bukannya putrinya sedang menggelar acara resepsi, ya?" Kata perempuan cantik di depanku. Pirasatku menjadi buruk ketika mendapat dua pernyataan yang saling berlawanan. Di kantornya bilang Abi sedang menghadiri resepsi Kak Salsya, di rumah Abi bilang dia ada pertemuan penting selama tiga hari ke Brunai.

"Kalau gitu saya boleh ketemu sama sekertarisnya nggak?" tanyaku.

"Pak Husain ngasih cuti sekertarisnya selama tiga hari kedepan."

Abi kemana?

Lima belas menit lagi, harusnya aku sudah berada di bandara. Tapi aku malah menginjakan diri di bangunan bertingkat yang nuansanya serba krem dan putih. Aku tidak bisa pergi dengan perasaan tertahan seperti ini. Setidaknya minimal aku tahu Abi berada di mana dan dia menjawab panggilanku. Tapi ini tidak ada hasil sama sekali.

"Permisi Sus, biasanya pasien disini di rujuk kerumah sakit mana ya?" tanyaku. Aku memiliki pirasat bahwa Abi datang kesini kemarin. Handphonenya mendadak tidak aktif, ketika kuhubungi Bu Mia, dia bilang Abi sudah berangkat. Koper yang disiapkannya sudah dibawa oleh supirnya. Pikiranku semakin kalut mendengar itu.

"Rumah sakit pusat Mbak, ke Rumah Sakit Asy-Sifa," katanya. Hari itu aku memutuskan mengambil keputusan besar. Aku langsung terburu-buru pergi setelah mengatakan terimakasih. Aku tak peduli dengan beasiswa itu, yang terpenting sekarang adalah keberadaan Abi dan kondisi kesehatannya.

Melihat lokasi rumah sakit di google maps itu cukup jauh dari sini. Aku pergi ke stasiun untuk memesan tiket. Koperku masihku bawa sampai sekarang. Kurang lebih satu jam aku baru bisa sampai. Pikiran-pikiran buruk mulai menghantuiku sepanjang perjalanan.

"Permisi, apa ada pasien yang bernama Husain Akbar? Dia dirujuk dari Rumah Sakit Al-Malik. Saya anaknya, saya mau tahu ruang rawat inapnya," kataku sembari mengambil nafas beberapa kali karena kekelahan. Suster itu memintaku menunggu sebentar, dia memeriksa datanya di komputer. Rumah sakit ini tiga kali lebih besar dari rumah sakit cabang.

"Husain Akbar, 57 tahun?" tanyanya, aku mengangguk mengiyakan.

"Beliu dirawat di ruang HCU. Ruangannya ada di lantai 11 sebelah kanan nomer 1107," lanjut suster tersebut. Aku menemukan ruangannya dengan cepat, jatungku seperti jatuh ke dasar perut ketika melihat beberapa selang sekaligus menempel pada tubuhnya.

Sebuah alat menyala disampingnya, darah itu bergerak memenuhi selang-selang besar, mengalir melewati benda itu. Kututup pintunya perlahan. Semua orang mengira bahwa dia sedang berada di pesawat dan dalam keadaan baik-baik saja.

Air mataku sudah bercucuran sejak tadi. Oh Ya-Allah apalagi yang terjadi? Setelah menaruh koperku di samping koper milik Abi. Aku duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya yang kini sudah tak sekuat dulu. Tangan yang dulu pernah menjagaku. Aku sudah menangis, bahkan sejak tadi berada di dalam kereta, pikiranku melayang memikirkan hal-hal yang buruk. Isakan kecilku berhasil membuat Abi terbangun

"Nafisya ..." kata Abi lirih bercampur kaget, dia bahkan mencoba untuk bangun.

"Abi gak boleh nggak boleh banyak gerak," kataku sambil cepat-cepat mengusap kedua mataku agar dia tidak melihat kalau aku menangis.

"Sayang ... kenapa kamu ada disini?" tanyanya pelan sekali, membuat alat bantu pernafasannya beruap.

"Fisya yang harusnya nanya, kenapa Abi ada disini sendirian? Kenapa Abi gak bilang kalo Abi sakit?" kataku. Aku tahu salama ini aku menbohongi diriku sendiri dengan mengatakan bahwa aku tidak menyayanginya tapi rasanya tidak adil jika Abi membohongiku seperti ini. Dia berusaha melepas alat bantu pernafasannya tapi aku menahannya menyuruhnya untuk tetap seperti itu. Aku tahu alat yang berputar mengalirkan darah itu adalah dialiser, alat untuk menyaring darah.

"Namanya juga orang tua, wajar kalo sakit-sakitan. Kamu kesini dengan siapa?" tanyanya.

"Kamu harusnya pergi, Sya. Nanti kamu ketinggalan pesawat gimana?" lanjutnya. Rupanya dia telah membaca pesanku namun tidak membalasnya.

"Apa yang Abi dapet dari ngebohongin semua orang tentang penyakit Abi?" tanyaku dengan mata yang sekuat tenaga bertahan untuk tidak menangis di depannya.

"Kebahagiaan anak-anak Abi. Kebahagiaan Salsya, kebahagiaan kamu, semua itu lebih penting dari apapun ..." katanya.

"Kesehatan Abi lebih penting dari apapun buat Fisya ..." Suaraku gemetar. Aku menghela nafas mendengar jawaban Abi tadi. Melihat dia berbaring seperti ini membuatku semakin sesak. Dalam keadaan seperti ini saja dia masih bisa memikirkan kebahagiaanku. Tenggorokanku seperti tercekat, dia mengusap kedua pipiku dengan tangan yang tertusuk jarum infus.

"Udah cukup dulu kamu banyak nangis gara-gara Abi. Kamu gak boleh banyak nangis ... Abi sebentar lagi juga pulih kok," Katanya membuatku semakin sadar betapa durhakanya aku selama ini.

"Fisya sayang banget sama Abi," kataku sambil terisak memeluknya. Dia meneglus rambutku dengan mata yang tak kalah berkaca-kaca.

____________

Jazakumullah khairan katsira.

Jadikan Al-Quran sebagai bacaan utama.

Assalamualaikum Calon Imam ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang