"Ketika ridha Allah menjadi tujuan, akhir kisah pun akan selalu sama. Berakhir bahagia."
____________
SEMUA membicarakan perkara umur Pak Alif yang tidak sesuai dengan wajahnya. Lalu kenapa dengan umurnya? Dia dosen sekaligus dokter, untuk bisa seperti itu pasti menempuh pendidikan yang cukup lama. Bukannya bagus kalau wajahnya masih terlihat tujuh belas tahun diusianya yang duapuluh sembilan tahun. Lalu ketika tujuh belas tahun, wajahnya semuda apa ya?
Selepas jam kuliah selesai, aku tak pulang. Kadang waktu terasa lama kalau kita sengaja menunggu. Aku menunggu jarum jam yang pendek ke angka enam. Setidaknya aku harus pulang setelah magrib untuk menghindari ajakan Ummi.
Ini ketiga kalinya aku mendengar suara murotal indah itu selepas berjamaah magrib. Ingin sekali rasanya turun ke lantai pertama masjid dan melihat langsung siapa qorinya. Kalau saja aku kenal pria itu, akan kusuruh dia membacakan tiga puluh juz dan merekamnya.
Aku ditemani Rachel yang kataya malas pulang cepat. Dia juga bersedia mengantarku pulang. Dia menunggu di luar masjid sekarang. Jadi aku tak bisa berlama-lama. Aku terburu-buru turun dari lantai atas setelah berjamaah magrib.
Lima belas menit kemudian aku sudah sampai di rumah. Sepertinya rumahku sedang kedatangan tamu karena terlihat ramai sekali. Ketika aku masuk dan mengucapkan salam, ada banyak orang yang kutemui di dalam. Keluarga Jidan dan keluarga—Ah kenapa Abi juga ada di sini.
"Waalaikumssalam warahmatullah," kata mereka serempak ketika aku mengucapkan salam dan masuk ke sana.
Aku menyalami Ummi. Ibunya Jidan, ketika pada ayahnya Jidan aku hanya sebatas senyum simpul dan tangan khas bersalaman dengan bukan mahram. Aku ingin menghindar dari orang selanjutnya, tapi Ummi memperhatikanku.
Tak enak juga jika aku melewat Abi di depan semua orang begitu saja. Aku mematap wajahnya dan menyalami Abi tanpa tersenyum sedikitpun. Bagaimana mengelola kebencian dan rindu secara bersama'an?
Ada dua pria yang sepertinya pernah kulihat sebelumnya. Belum sempat aku memikirkan siapa mereka, seseorang datang dari arah ruang tengah kemudian menyapaku dengan ramahnya.
"Ini Nafisya, Mbak? MasyaAllah cantik banget. Dia mirip banget kamu loh, Mas." Orang itu, orang yang sama-sama tidak ingin ketumui. Istri Abi yang sekarang.
"Fisya mirip Ummi kok, Tante. Fisya kan nggak punya Abi," kataku. Aku bisa mendengar Ummi langsung memperingatkanku.
"Nafisya," kata Ummi.
"Oh, iya ... Kalian kenalan dulu, Nafisya ini anak bungsu. Adiknya Salsya. Nah, Fisya. Ini anak tante, Fadil sama Fadli," kata Tante Mia. Aku merasa pernah bertemu dengan mereka tapi aku tidak ingat dimana.
"Aku Fadil dan ini Fadli," kata salah satu dari mereka. Dari nama mereka saja, sudah bisa ditebak kalau dua pria itu adalah anak kembar.
"Nafisya Kaila," kataku pelan. Sengaja tidak kusebutkan nama Akbar, karena nama itu adalah namanya Abi. Husain Akbar.
"Fisya keatas dulu, Mi" kataku pada Ummi, lalu beranjak meninggalkan mereka semua. Ketika aku selesai mengganti pakaianku dengan pakaian tidur. Ummi langsung memanggilku.
"Nafisya, ayo turun. Makan malam bareng," suruh Ummi. Padahal aku baru akan mengatakan bahwa aku tidak akan ikut makan malam karena terlalu mengantuk. Tak bisa menolak ajakan Ummi, akhirnya aku ganti baju lagi dengan yang lebih pantas dan turun ke bawah.
Aku bersebalahan duduk dengan Kak Salsya. Di depanku ada ibunya Jidan dan Tante Mia. Kami makan dalam keadaan hening. Abi bahkan menduduki kursinya lagi padahal biasanya kursi itu dikosongkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Calon Imam ✔
Spiritual(Sudah terbit, bagian tidak lengkap.) Nafisya Kaila Akbar, lima belas tahun memendam perasaan pada sosok pria yang menjadi tetangganya. Jidan Ramdani. Namun pria itu hanya menganggapnya anak kecil yang tak pernah tumbuh dewasa. Beranjak dewasa, Naf...