Chapter 4

146K 8.2K 229
                                    

"Bahkan untuk sekadar mengingatnya, semua terasa menyakitkan."

_____________

MALAM itu aku pulang sangat larut, diluar dari jam biasanya. Aturan rumah yang diterapkan Ummi untuk kedua putrinya adalah kami harus ada dirumah sebelum jam lima sore, paling lambat sebelum magrib. Pasti Ummi sangat khawatir, mengingat ini sudah jam tujuh malam, hampir isya.

Di akhir semester banyak dosen yang menambah jam reguler dijam malam atau mengganti jam yang pernah kosong. Karena bagi mahasiswa farmasi, tidak ikut sekali belajar saja. Ketinggalannya luar biasa. Meskipun tidak diwajibkan untuk hadir tetap saja jika tidak ikut aku sendiri yang ketinggalan dan menanggung resikonya.

Aku mengucapkan salam seraya membuka pintu depan. Kak Salsya dan Ummi terlihat tengah duduk di ruang tengah. Sepertinya kali ini aku akan dihakimi oleh dua orang sekaligus. Mereka menjawab salamku kemudian aku mencium tangan Ummi pertama.

Harusnya aku juga menyalami Kak Salsya juga, tapi dia melarangku melakukannya karena dia merasa tua kalau diperlakukan seperti itu, akhirnya aku tidak pernah melakukannya lagi. Aku duduk diantara mereka.

"Kenapa baru pulang jam segini, Sya? Kamu udah sholat magrib?" tanya Ummi. Satu hal yang paling kusuka dari Ummi. Dia tidak pernah bisa marah. Suaranya selalu terdengar lemah lembut dan tidak pernah meninggi.

"Ada tambahan jam kuliah dan tadi siang Fisya latihan taekwondo dulu, Fisya udah shalat magrib kok, Mi."

"Perempuan kok masih aja ikut bela diri kayak gitu, Sya. Mandi sana! Ih, bau keringet," ejek Kak Salsya sambil berpura-pura menutup hidungnya.

"Iya ... iya ... Fisya mandi sekarang," kataku. Kak Salsya adalah tipe perempuan yang sangat memperhatikan penampilan dan kecantikan. Dia perempuan feminim, sedangkan aku adalah tipe perempuan yang tidak ada feminimnya.

"Udah shalat Isya kamu makan dulu," teriak Ummi ketika dengan lincah kakiku menaiki tangga.

"Siap komandan," jawabku. Rasanya segar sekali ketika kepalaku tersiram air dingin, seolah semua beban ikut larut terbawa air. Apalagi suasana semakin terasa tenang ketika selesai melakukan shalat isya. Bagiku tidak ada ketenangan yang didapatkan kecuali dengan shalat.

Ketika aku turun kembali ke lantai bawah. Kak Salsya sudah lebih dulu duduk di meja makan, mengaduk makanannya sambil melamun. Ummi mungkin sudah istirahat di kamarnya. Aku pergi mengambil piring dan duduk didepan Kak Salsya.

"Ada apa? Mikirin dokter senior yang gantengnya semanis laktosa itu ya?" godaku. Kak Salsya pernah bercerita bahwa dia menyukai dokter senior di rumah sakitnya. Dokter itu jika tersenyum matanya akan berubah menjadi segaris begitu katanya.

Aku menyukai Jidan, Jidan menyukai Kak Salsya, dan Kak Salsya menyukai dokter senior di rumah sakitnya. Ini cinta segi apa? Segitiga saja sudah rumit, kenapa Allah tidak membuat hubunganku dengan Jidan menjadi oval saja agar lebih mudah.

Kak Salsya hanya tersenyum sekilas. Sepertinya tebakan ku salah karena senyumnya tipis sekali. Mungkin dia memikirkan hal lain. Aku mengambil nasi dan menambahkan sayur kedalam piring. Ketika satu sendok siap masuk kedalam mulutku, Kak Salsya baru berbicara lagi.

"Kakak ketemu Abi di rumah sakit."

Ketika mendengar itu mendadak aku menurunkan kembali sendok ditangan ku. "Ternyata dia Abinya suster Nayla, salah satu suster dirumah sakit tempat kakak kerja.." Segelintir rasa sesak kembali muncul "Jangan dibahas" kata ku malas. Mendengar panggilan Abi saja sudah membuat telingaku sakit.

"Meskipun Abi nggak cerita apa-apa. Kayaknya Abi Husain punya penyakit serius karena dia bawa kertas rontgen kerumah sakit," lanjut Kak Salsya.

"Fisya udah pernah bilang, kan? Nggak usah bahas Abi didepan Fisya lagi, apalagi sampe Kak Salsya sebut namanya!" kataku dengan nada benar-benar tak suka.

Assalamualaikum Calon Imam ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang