"Tanda kecintaan Allah pada hambanya adalah dengan Dia mengujinya. Jangan terlalu membenci suatu masalah. La tahzan, Innallaha Ma'ana."
____________
SIAPA yang tidak panik ketika orang yang kalian temui mendadak menangis tanpa alasan, seolah kalian lah yang menyebabkan dia menangis. Begitupun dengan Alif. Ini pertama kalinya dia menghadapi perempuan yang menangis. Apalagi sekarang posisinya sebagai dosen dan sikapnya yang memang selalu agak keras pada setiap mahasiswa.
"Sya, hey. Kamu kenapa?" tanya Alif mulai panik. Mungkin mudah bagi Alif membuat pasien perempuan berhenti dari tangisnya karena kebanyakan pasiennya adalah anak-anak. Tapi ini lain. Alif bahkan tak tahu harus melakukan apa untuk membuatnya berhenti.
"Ssstt ... Udah, Sya. Saya salah bicara ya?" Alif semakin panik ketika orang-orang disekitarnya mulai memperhatikannya.
"Kamu bisa bilang kalo kamu belum siap buat detensi, kamu bisa dateng besok lagi," bujuk Alif. Alif sama sekali tidak tahu bagaimana cara membuat perempuan dewasa berhenti menangis. Kini orang-orang membicarakannya, Alif seolah melakukan hal buruk sampai Nafisya menangis seperti itu.
"Ya ... ya udah gini. Kamu gak usah detensi, tapi kamu berhenti nangis," kata Alif dengan penawaran konyolnya. Dalam sela-sela tangisnya Nafisya berusaha mengatakan bahwa dia ingin sendirian.
"Oke, saya keluar sekarang tapi kamu jangan nangis lagi." Alif meninggalkan perempuan itu sendirian.
Di luar pun dia bertindak tak karuan. Berjalan layaknya setrika seperti seorang pria yang cemas menunggu istrinya melahirkan. Beberapa menit kemudian Nafisya muncul dengan hidung dan mata yang memerah hebat.
"Kamu," Kata Alif bersuara ketika Nafisya menyerahkan kertas itu.
"Kamu udah isi soalnya?" Itu kalimat salah yang dipilihnya. Harusnya Alif bertanya apa yang membuat perempuan itu menangis bukan malah menanyakan soal-soal itu. Dia tidak paham dengan pemikiran perempuan yang menurutnya lebih rumit anatomi jantung manusia.
"Udah, Pak." Nafisya mengangguk, dia tak berani menunjukan wajahnya. Sebenarnya bukan hanya pada Jidan saja. Dia memang tidak pernah menatap mata lawan bicaranya secara langsung.
"Ah ya, makalahnya." Nafisya mengelurakan makalah dari dalam tasnya. Namun barang-barang lain ikut berjatuhan ketika dia menarik benda itu. Alif membantu Nafisya memungut kertas-kertas itu sementara Nafisya memungut beberapa amplop coklat.
"Bukannya ini−" Alif membaca kertas itu sekilas.
"Ini CV kan?" Nafisya langsung mengambil kertas-kertas tersebut dengan cepat.
"It ... itu CV ta'aruf," kata Nafisya. Jelas perkataan spontannya adalah sebuah berbohong, tapi dia tidak ingin mengatakan bahwa CV tersebut adalah CV untuk melamar pekerjaan. Sejak sebulan yang lalu, dia sedang mencoba mencari part-time.
"Oh," Alif mengangguk biasa. Dia mengerti bahwa Nafisya tidak mau ditanya lebih
Alif memungut makalahnya kemudian mengambil kertas soal yang harus dia periksa. Merasa tidak ada kepentingan lain Alif berjalan meninggalkan Nafisya, baru dua langkah dia berbalik karena ingat sesuatu.
"Kalau nilai kamu nggak memadai, nanti saya panggil untuk perbaikan lagi," katanya datar. Nafisya mengangguk. Alif berhenti lagi seolah ada sesuatu yang menahan langkahnya, dia menoleh pada Nafisya.
"Sya ..." Suaranya terdengar begitu lembut dan pelan membuat Nafisya sedikit mengangkat kepalanya karena mengira Alif sudah berjalan cukup jauh.
"Tanda kecintaan Allah pada hambanya adalah dengan Dia mengujinya. Jangan terlalu membenci suatu masalah. La tahzan, Innallaha Ma'ana," katanya tanpa tersenyum sama sekali dan melanjutkan langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Calon Imam ✔
Spiritual(Sudah terbit, bagian tidak lengkap.) Nafisya Kaila Akbar, lima belas tahun memendam perasaan pada sosok pria yang menjadi tetangganya. Jidan Ramdani. Namun pria itu hanya menganggapnya anak kecil yang tak pernah tumbuh dewasa. Beranjak dewasa, Naf...