"Carilah seseorang yang dengannya surga menjadi lebih dekat."
____________
ABI menyuruhku untuk tidak mengatakan perihal ini kepada keluarga termasuk Ummi sekalipun. Katanya besok dia bisa pulang dan menghadiri acara resepsinya Kak Salsya, dia hanya sempat drop makannya perlu menjalani perawatan disini. Aku menginap semalaman menemani Abi yang masih terbaring lemah, sering sekali suster keluar masuk ruangan hanya untuk memeriksa keadaan Abi.
Menjelang subuh Abi mulai baikan dia bisa shalat subuh sambil duduk dan dipindahkan ke ruang rawat biasa, kata suster alat bantu pernafasannya juga boleh di lepas. Ummi menghubungiku dan menanyakan keadaanku di Eropa, padahal ke bandara saja aku tidak sampai.
Awalnya aku tak ingin berbohong, tapi aku tahu perkataan jujurku akan menunda semuanya. Aku hanya harus menunggu sampai besok setelah itu aku bisa pulang bersama Abi, jadi kukatakan bahwa aku baik-baik saja dan sudah sampai. Abi yang memintaku mengatakan seperti itu. Dia benar-benar tidak mau orang rumah jadi khawatir karena kodisinya.
"Emang nggak apa-apa Bi kalo kita keluar pagi-pagi kayak gini ? Nanti kalo ketemu dokter, Fisya dimarahin lagi, lagian Abi lebih baik istirahat aja di kamar ..." kataku sambil mendorong kursi rodanya.
"Abi berasa migran kalo terus-terusan berbaring di kamar, InsyaAllah ngak apa-apa ... Lagian kan Abi cuma duduk, kamu yang jalan-jalan," katanya. Aku tertawa kecil dibuatnya.
Tadi sebelum Abi bangun aku menghubungi Pak Gilang dan mengatakan bahwa aku membatalkan keberaberangkatanku. Dia sedikit kecewa sepertinya, karena pernyataanku itu berhasil mendapat ceramah panjang dari Pak Gilang, dia bilang aku tidak konsisten pada apa yang aku pilih.
Mengenai jawaban untuk Pak Alif, aku sama sekali belum mengatakan apapun pada Abi. Tak mungkin juga kubahas masalah itu disaat keadaan Abi seperti ini.
"Abi cuci darah ya?" tanyaku, sejak kemarin aku menerka bahwa Abi memang cuci darah, alat itu, aku sangat tahu alat yang kulihat diruangannya adalah mesin dialis. Abi hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku. Sejak kemarin dia selalu seperti itu, tak mau membahas tentang penyakitnya.
"Abi udah bilang kalo Abi baik-baik aja, biasanya tiga hari Abi langsung pulih lagi kok. Jadi kamu gak usah hawatir," katanya. Memang ada sedikit kemajuan dia tidak sepucat kemarin, tapi tetap saja aku semakin cemas. Abi mengalami diabetes, hipertensi dan sekarang kerusakan ginjal.
"Kamu tahu dari mana kalo Abi sakit? Dan kamu tahu dari mana Abi ada disini?" tanya Abi.
"Dari temen Fisya yang magang di apotek. Abi beli obat ke apotek tempat temen Fisya kerja itu. Kebetulan dia deket banget sama Fisya dan dia tahu nama Abi juga," jawabku.
"Jadi kamu punya temen laki-laki selain Jidan ya?" tanya Abi.
"Dia perempuan Bi, namanya Rachel," kataku tersenyum kecil. Berapa orang lagi yang akan tertipu dengan penampilan Rachel? Aku tak membawa Abi keluar rumah sakit, padahal taman di luar cukup bagus. Masalahnya cuaca disini masih dingin jadinya aku hanya mengajak Abi berkeliling rumah sakit.
"Gimana kuliah kamu, Nak? Sekarang apa yang akan kamu lakukan kalau beasiswa itu nggak jadi kamu ambil?"
"Baik, Fisya mau bilang makasih banyak karena Abi bayarin kuliah Fisya. Ya ... Fisya lanjut kuliah aja di kampus sebelumnya." Dia menoleh mendengar penuturanku.
"Darimana kamu tahu Abi yang bayar kuliah kamu?" tanyanya.
"Harusnya kalo Abi mau kerja sama, sama Kak Salsya buat bayarin kuliah Fisya. Abi harus bayar pake rekening Kak Salsya. Fisya apal banget digit rekening nya ..." Abi membayarnya dengan rekeningnya sendiri. Abi malah tertawa mengetahui itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Calon Imam ✔
Spiritual(Sudah terbit, bagian tidak lengkap.) Nafisya Kaila Akbar, lima belas tahun memendam perasaan pada sosok pria yang menjadi tetangganya. Jidan Ramdani. Namun pria itu hanya menganggapnya anak kecil yang tak pernah tumbuh dewasa. Beranjak dewasa, Naf...