1. Laki-laki yang Datang Bersama Mendung (Revisi)

3.3K 93 19
                                    

Pagi hari yang ramah. Matahari tak terlalu nyalang bersinar. Berkatnya, aku dapat berjalan dengan membuka mata lebar-lebar dan tidak perlu susah payah membuat kerutan di dahi untuk menghalau sinarnya. Selain itu, udara sepoi-sepoi di taman ini juga segar sekali untuk dihirup. Seperti udara yang baru saja dibuka segelnya. Daun-daun berguguran perlahan—kembali memeluk Bumi. Ah, gravitasi.

Seorang laki-laki sukses mencuri pandanganku. Aku tidak mengenalnya dengan baik. Yang kutahu, dia adalah seorang murid di SMA-ku. Kudengar laki-laki itu sering gonta-ganti pacar semenjak duduk di bangku SMP. Sampai sekarang atau tidak, aku tidak tahu dan kurasa aku tidak mau tahu. Selain itu, ia langganan masuk ke BK. Entah perbuatan onar apa saja yang berulang kali ia lakukan. Aku yakin caranya begitu variatif sampai membuat guru piket kewalahan.

"Hai, sendiri aja? Bengong gitu, lagi." Tanyanya sambil menyikut lenganku pelan. Aku kaget bukan kepalang begitu tahu seseorang yang baru saja kupikirkan tiba-tiba sudah berada di depan mataku.

"Eh ... iya nih, lo bikin kaget aja."

"Makanya kalo lagi sendirian, nggak usah bengong dong. Ntar kalau ada yang manggil tapi lo nggak dengar, bisa-bisa disangka budeg. Masak cantik-cantik gini budeg. Hehe." Katanya mulai menggodaku sambil cengegesan. Gayanya santai sekali seperti ia mengenalku dengan begitu baik.

"Siapa juga yang budeg." Jawabku sekenanya. Aku tidak merasa nyaman dengan keberadaan orang ini. Tapi, mengapa aku memandanginya bahkan saat kami baru pertama kali bertemu seperti tadi? Lihat, sekarang ia jadi menghampiriku, 'kan.

"Iya makanya nggak usah bengong, Neng."

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutku. Hanya senyum seadanya yang kulemparkan kepadanya. Kemudian aku beranjak dan berniat pulang ke rumah. Sebaiknya aku pamit atau tidak, ya? Ah, lupakan saja. Dia bukan seseorang yang kukenal atau seseorang yang bahkan berhak memberiku izin untuk melakukan sesuatu.

"Lo mau pulang?"

Kali ini bukan senyum yang menjadi jawaban. Keheningan ternyata mampu menyampaikan padanya bahwa jawabanku adalah 'ya'.

"Gue anter, yuk."

"Nggak usah, gue masih punya kaki."

"Tapi, sekarang mendung. Kayanya lo bakal kehujanan kalau tetap jalan kaki."

Aku menghembuskan napas kasar. Baiklah, aku akan menurutinya kali ini. Hanya kali ini. Tidak seterusnya.

"Oke, lo menang."

Di atas motor, rasanya berisik sekali. Bukan aku dan dia yang berbincang. Tapi diriku yang sedang berkelahi—merutuki nasib sialku. Juga semesta, yang baru saja kupuji karena keramahan paginya. Tapi, beberapa menit kemudian ia berganti mimik muka, seolah dengan sengaja memaksaku agar mau diantar pulang oleh laki-laki yang aku tidak tahu namanya. Oh, benar, aku tidak tahu namanya.

"Nama lo ... siapa?" Itu aku yang bertanya. Aku merasa perlu tahu identitas seseorang yang mengantarku pulang. Sekalipun ia bersekolah di tempat yang sama denganku, itu bukanlah suatu informasi yang cukup untuk kuketahui. Setidaknya aku harus tahu namanya, bukan?

"Gue Adit. Kelas X 2 SMA Merdeka. Anak ayah ibu."

"Rumah lo di mana?"

"Nggak gue bawa soalnya berat."

Oke, sekarang aku menyesal memutuskan untuk bertanya.

Seolah tak ingin percakapan yang baru saja dimulai berakhir begitu saja, laki-laki di depanku ini kembali buka suara. "Lo pasti Fira yang anak Osis itu 'kan?"

"Kok lo tau gue?"

"Muka lo sering lewat."

"Di?"

SegitigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang