21. Perpisahan, Antar Siswa atau Antara Kita?

258 7 2
                                    

Hari itu adalah hari dimana setiap pekannya rutin diadakan kegiatan rapat Osis setelah pulang sekolah. "Agenda rapat hari ini adalah pembahasan mengenai kegiatan tahunan di SMA kita yaitu perpisahan kelas XII. Dan setelah acara perpisahan akan kita adakan acara promnite." Ucap ketua Osisku—Alan.

Susunan panitia sudah terbentuk dan kami siap melakukan pembahasan. Aku mendapat amanah untuk menjadi seksi bidang acara, dimana aku adalah otak yang mengatur semua acara yang akan kami lakukan. Pembahasan terus berjalan dan aku sudah mulai menetapkan beberapa susunan untuk acara perpisahan nanti. Aku mengusulkan beberapa ide agar momen ini tidak hanya dinikmati oleh siswa-siswi kelas XII, tetapi juga dapat dihadiri oleh siswa-siswi kelas XI ataupun kelas X. Diantaranya adalah penambahan penampilan band lokal dari SMA Merdeka karena aku tahu banyak sekali band yang diam-diam berdiri di SMA ini tapi mereka tidak punya tempat untuk menampilkan karya-karya mereka. Juga penampilan beberapa ekstrakurikuler seperti paduan suara dan seni musik, seni tari, seni teater, dan seni bela diri. Untungnya, sebagian besar dari mereka setuju akan ideku dan aku berharap semoga semua akan berjalan lancar seperti yang kami rencanakan.

Malam menjelang, aku baru akan bersiap pulang. Seperti biasa, Aditya tidak akan mengirimiku pesan ataupun mencariku. Karena aku sendiripun tahu bahwa ia sedang sibuk bersama teman-temannya di luar sana dan aku tidak mau mengganggunya. Biarkan saja ia begini sampai nanti ia ingat bagaimana caranya merindukanku.

Pikiranku banyak terkuras karena rapat Osis sore tadi. Aku merasa sangat lelah dan langsung terbaring di kasur kemudian tertidur. Aku tidak menghiraukan pesan-pesan yang masuk ke ponselku. Aku hanya ingin rebahan dan menutup mataku, istirahat beberapa menit mungkin cukup bagiku.

* * *

"Assalamualaikum, Fira."

"Anjir siapa sih malem-malem gini ganggu, lagi enak-enak tidur juga elah." Makiku dalam kamar.

"Fira. Itu ada Adit di luar, nyariin kamu." Ibuku mengetuk pintuku dan otomatis aku kaget hingga jatuh dari tempat tidur.

"Aduh. Iya, Bu. Bentar lagi Fira keluar."

Semoga Adit ngga ilfeel lihat gue kaya gini. Anjir mana nyawa belum ngumpul lagi.

Aku menghampiri Aditya di ruang tamu dengan senyum seadanya. Aku belum siap untuk beranjak dari tempat tidur, tapi tamu ini memaksaku untuk bangun dan menjamunya. Aditya kaget karena ia melihatku masih mengenakan seragam dan ia tahu aku habis tidur.

Aditya memegang tanganku, menuntunku dan mengajakku duduk di sofa ruang tamu rumahku sendiri. "Fir, kamu gapapa 'kan? Oh iya kamu pasti habis rapat, pasti capek, aku ganggu?"

"Eh enggak ganggu, memang sedikit capek tadi, Dit. Tapi 'kan aku udah tidur sebentar."

"Mau tidur lagi apa mau keluar? Apa mau ngobrol aja di sini?"

Aku menimbang-nimbang pilihan yang disediakan Aditya. Akan lebih baik kalau aku berjalan-jalan ke luar dan menjernihkan pikiranku, bukan? Setidaknya, walaupun masih lelah tapi aku bisa sedikit menghibur diriku sendiri.

"Keluar aja yuk, tapi bilangin ke ibu, ya?" Aku merengek karena aku tidak berani meminta izin. Tahu sendiri kan, senja datang dan aku baru pulang, sekarang sudah mau keluar lagi.

Lelaki itu tersenyum dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja selama aku berada di dekatnya. Aku percaya, seratus persen percaya dengan kalimat-kalimatnya.

"Kamu cepetan ganti baju."

"Siap, Bos."

"Solat dulu sekalian, ya."

Malam belum larut saat aku dan Aditya tiba di alun-alun kota. Kami berjalan-jalan menikmati sejuknya udara malam dan bercanda sebagaimana layaknya sepasang kekasih. Kami mengobrol banyak hal mulai dari rapat osisku tadi siang hingga dia yang lupa membawa handuk saat hendak masuk ke kamar mandi. Memang benar kata orang, bahagia itu sederhana. Manusia saja yang membuatnya menjadi sulit. Padahal berbincang sekejab dengan orang yang kita sayang adalah hal paling melegakan yang akan membuat nyaman dan tenang.

SegitigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang