22. Kesalahan?

77 3 0
                                    

Kesalahan terbesarku adalah memberi kesempatan pada orang yang tidak tepat. Memberikan kepercayaan pada orang yang hatinya masih tertinggal di masa lalu. entah sengaja atau tidak sengaja semesta melakukan in isemua. Yang pasti aku yakin bahwa skenario dan rencana Allah lebih baik daripada rencanaku. Bisa jadi, yang baik menurutku adalah tidak baik di mata Allah. Begitu pula sebaliknya. Maka, kembalikan saja semuanya pada Allah, Tuhan seluruh alam.

Usai sujud panjang di ujung sajadahku, aku memohon. Aku memohon ampun, aku memohon kekuatan, aku memohon segalanya yang aku butuhkan saat ini. "Ya Allah, ampunilah aku. Berikanlah kekuatan kepadaku karena aku yakin Engkau memberiku cobaan yang tidak melebihi kemampuanku. Tidak perlu aku bercerita karena Engkaulah yang lebih mengerti dan paham akan lika-liku hidupku."

Aku tak pernah sehancur ini ketika bersama seseorang. Aku tidak pernah merasa sangat dipatahkan seperti saat ini. Aku tidak pernah menyesali takdir Tuhan kecuaali yang ini. Tapi, kadang aku bahagia dengannya. Dengan terang-terangan ia meremukkan hatiku. Terang-terangan ia mengerti bahwa itu menyakitiku. Dan terang-terangan ia tak acuh perihal itu. Bagaimana bisa aku bertahan dengan seseorang seperti itu? Bagaimana mungkin sosok seperti itu yang tiap harinya memenuhi pikiranku? Itulah ajaibnya skenario Tuhan. Kecewa itu konsekuensi, bahagia itu bonus.

Rasanya memang menyakitkan, tapi aku harus kuat demi ibu dan ayahku yang menjagaku mati-matian bahkan hanya agar aku tidak menangis. Dan laki-laki itu dengan mudahnya membuatku meneteskan air mata. Insya Allah aku tidak mendendam, tapi aku ingat. Aku pengingat yang baik untuk kenangan yang buruk. Semua kenangan buruk hingga saat ini masih bersarang di kepalaku, tersimpan rapi di otakku.

* * *

Ia menghampiriku yang tengah berlari terburu-buru menjauh dari radar penglihatannya. Ia menarik lenganku hingga kami sangat dekat dan aku tidak lagi dapat menghindari kontak mata yang ia cipta.

"Fir, dia kan cuma mantan aku. Cuma masa lalu, yang udah ya udah. Yang penting 'kan sekarang aku sama kamu, udah nggak sama dia lagi."

"Siapa tahu hati kamu tertinggal di sana. Dan bahkan mungkin kamu nggak ingin mengambilnya dan memberinya ke aku."

"Fira, kamu percaya kan sama aku? Kamu percaya 'kan?"

"Pernah percaya lalu dikecewakan."

"Fir, tolong maafin aku. Kasih aku kesempatan lagi, ya, plis. Kita mulai bareng-bareng biar lebih baik. Aku janji."

"Tapi..." Sebenarnya aku ragu, tapi akupun tak bisa membohongi perasaanku sendiri. Bisa dibilang aku banyak mengalami kebimbangan untuk memutuskan banyak hal yang berhubungan dengan Aditya. Aku takut salah mengambil keputusan lagi. Aku takut aku semakin menyakiti diriku lagi akibat keputusanku sendiri.

Ia masih menungguku melanjutkan kalimatku. Tapi, air mata yang tergumpal dalam pelupuk mataku menghalangi kalimat-kalimat yang hendak kukatakan. Aku berusaha menahan agar tidak menangis di depan Aditya. Aku tidak suka terlihat lemah didepannya. Aku hanya terus diam dan memandangi dirinya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Angin yang lembut lama kelamaan memenuhi gendang telinga kami, mengisi keheningan yang kubuat.

"Dit, tolong kasih aku waktu buat sendiri dulu. Aku sedang capek, aku kacau, aku hancur."

Ia mengendurkan pelukannya sehingga aku bisa menghirup udara sebanyak yang kumau. Air mataku telah menjelma telaga, membuat Aditya kembali mendekapku erat. Astaga, rasanya sakit sekali.

"Fir, plis. Aku bakal perbaiki ini semua. Kita benahi sama-sama, ya?" Katanya sambil mengangkat daguku agar aku menatap matanya. Aku terus menangis dan tidak berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan Aditya. Rasanya terlalu sulit. Aku takut berbuat kesalahan lagi ketika aku memutuskan sesuatu. Kepalaku hanya menggeleng pasrah, tapi Aditya tetap berusaha menenangkan dan membuatku percaya, lagi.

SegitigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang