7. Ulangan (Revisi)

676 37 8
                                    

Memikirkan Adit adalah salah satu kegiatan favoritku akhir-akhir ini. Lucu, ya, sekarang aku yang berharap sendirian. Mungkin ini hukuman dari semesta. Atau inikah karma yang sering disebut orang-orang? Aku tidak tahu yang pasti. Tapi, keduanya tampak sama. Sama-sama menyakitkan.

Setiap pagi, Adit tidak pernah absen memberiku ucapan selamat pagi. Pun ketika hari hampir berakhir dan berganti pagi yang baru. Ia selalu ingat pukul berapa aku tidur dan kapan harus diberi ucapan good night. Dia juga selalu mengingatkanku makan walaupun dia pelit sekali tidak pernah mau mentraktirku di kantin. Setiap hari pula ia menungguku di warung seberang sekolah. Di sanalah dia nongkrong bersama teman-temannya sembari menungguku selesai dengan urusanku. Padahal ia sendiri tak tahu berapa lama aku akan selesai.

Menyenangkan memang bersafari ke masa lalu. Sesuatu yang sebenarnya menyakitkan tapi masih menyimpan beberapa sisi mengejutkan. Sepertinya aku harus membereskan sisa memori yang masih berantakan supaya otakku tidak seenaknya mengenang.

Tetapi, di tengah usahaku menghalau kehadirannya dalam pikiranku, ia justru datang tepat di hadapanku. Menghampiriku di depan koridor seperti dahulu, saat rasanya masih bertepuk sebelah tangan. Sedangkan aku sendiri bimbang. Tidak mengerti harus berbuat apa dan bagaimana. Yang kulakukan hanyalah terus menyakitinya.

Matanya menatapku dengan penuh binar bahagia seolah ingin bilang kalau dia sudah tidak apa-apa. Aku bukan perempuan yang mudah ditipu hanya dengan mimik muka. Aku tahu dia masih hancur. Tapi, senyum di bibirnya seolah meruntuhkan semua keraguanku. Satu tangannya terulur hendak meraih tanganku.

"Fira." Ucapnya dengan begitu lembut. Aku menoleh kepadanya. Ia tampak ragu-ragu hendak mengucap apa, namun aku tetap menunggunya.

"Sebenarnya gue masih sayang sama lo. Gue nggak bisa lupain lo walaupun udah coba sama orang yang baru."

Sepotong kalimat sederhana yang mempunyai daya kejut begitu dahsyat untuk jantungku. Pasti dia sedang bergurau. Bagaimana mungkin dia memaafkanku semudah itu?

"Gue serius sama lo. Lo mau nggak jadi pacar gue?" Sekali lagi jantungku seperti jatuh dari tempatnya.

Tubuhku seolah beku karena otakku tidak tahu harus mengirimkan sinyal yang seperti apa. Aku diam dan mematung, masih berusaha meyakinkan diriku bahwa laki-laki yang ada di depanku adalah Adit yang nyata bukan ilusi yang kuciptakan sendiri. Tapi, aku tetap belum percaya. Seketika aku larut ke dalam pikiranku sendiri, mengurai benang-benang yang tali-menali satu sama lain. Hingga tidak sadar kalau Adit sudah berulang kali menyebut namaku untuk mengembalikan ragaku ke dunia nyata. Tapi, ia tak bisa. Ragaku dan pikiranku tersadar saat mendengar bunyi nyaring dari bel sekolah.

Adit segera melepas genggamannya perlahan. Bodohnya, aku justru menahan kepergiannya, lagi. Namun, ia tetap melepas genggaman itu dan mengelus puncak kepalaku sebagai gantinya. Katanya, "Lo nggak harus jawab sekarang. Gue tahu semua perasaan lo ke gue, tapi gue juga nggak bisa secepat itu bikin kesimpulan sendiri. Jadi, gue bakal tetep nungguin lo, Fir. Gue masuk ke kelas dulu, ya."

Duniaku seolah berhenti mendadak dan hanya Adit yang mampu memutarnya kembali. Jantungku seperti jatuh dari tempatnya. Rasanya sedih, tapi juga senang. Aku bahagia, tapi juga takut. Tapi, apa salahnya memberi ia kesempatan kedua? Ah, bukan, bukan. Akulah yang diberi kesempatan kedua olehnya. Tidak seharusnya aku menyia-nyiakan kesempatan ini.

Bibirnya tersenyum simpul diiringi kakinya yang melangkah menjauh dariku. Senyum itu masih tetap berada di tempatnya sampai ia yakin bahwa kakinya telah sempurna menginjak lantai kelas. Astaga, dia begitu manis. Lalu, aku harus apa? Membalas senyum yang ia lemparkan saja aku tidak bisa. Mataku hanya memandangi kepergiannya tanpa sedikitpun ekspresi kurasa. Aku jadi takut, bagaimana kalau ia jadi sedih karena sikapku?

SegitigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang