23. Pergi

70 4 0
                                    

Tidak ada yang lebih baik selain bersantai dengan secangkir cokelat panas ditemani oleh kumbang-kumbang yang hinggap pada beberapa bunga tulip di taman. Angin juga bergerak lembut, berkali-kali berhasil meniup anak rambutku dan membuatnya sedikit berantakan. Oh, dan jangan lupakan langitnya, ia begitu bersih sehingga sinar matahari bebas bersinar ke arah manapun ia mau. Seluruh duni sepertinya sedang bahagia dan berusaha menunjukkannya kepadaku. Baiklah aku akan—

"Fira, ibu mau bicara sebentar sama kamu. Kita bakal pindah, Nak."

—ikut bahagia. Tapi, sepertinya tidak.

"Pindah ke mana, Bu? Di sini 'kan rumah kita." Bantahku. Satu-satunya hal yang kupikirkan saat ini adalah Aditya. Astaga aku harus bicara bagaimana ke Aditya? Memberinya hadiah perpisahan? Membohonginya kalau aku sakit dan harus mendapat pengobatan di tempat yang jauh? Atau aku harus jujur saja dan siap menerima semua reaksinya?

"Kita harus ikut ayah, Nak. Karena ayahmu harus pindah tugas dan udah ada rumah dinas buat kita di sana." Kepalaku menunduk. Aku bingung harus apa. Aku tidak bisa berpikir sekarang. Tapi, aku juga tidak mungkin membantah kedua orangtuaku sendiri.

Ibuku akhirnya memutuskan duduk di sampingku, memandangi aku yang nampak gelisah di bawah sinar matahari pagi. Beliau menggenggam tanganku dan berusaha menenangkanku. "Ibu tahu yang kamu pikirin."

"Nggak apa-apa, Bu. Kalau aku dan Adit memang berjodoh, semesta yang bakal melakukan tugasnya."

"Siap jadi mahasiswa sastra Indonesia, nih, anak ibu." Tangannya kini beralih mengusap kepalaku. Menit berikutnya, langkahnya benar-benar menjauh dari tempatku menikmati semesta yang baru saja kubicarakan.

Padahal aku tidak tahu apakah aku akan baik-baik saja atau tidak menghadapi keputusan ini. Tapi, aku yakin semesta akan melakukan tugasnya dengan baik dan benar. Ia tak mungkin salah memisahkan atau mempertemukan seseorang. Semua sudah diatur dengan berbagai alasan. Begitu juga dengan pertemuanku dan Aditya. Atau perpisahan kami.

* * *

"Dit, aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Bisa ketemu di tempat biasa?"

"Oke, Fir. Aku jemput kamu sekarang, ya?"

"Nggak usah, Dit. Aku berangkat sendiri aja." Kuakhiri sambungan telepon itu. Kemudian bergegas menuju tempat yang kumaksud untuk bertemu Aditya.

Cuaca sore ini masih cukup baik seperti terakhir kali aku memeriksanya. Dan sama seperti terakhir kali kurasakan, hanya aku yang tidak baik-baik saja di kota ini, seharian. Rasanya gelisah sekali. Dan sekarang gelap. Kedua mataku tertutup. Aku panik sekali, berusaha lepas dari kegelapan ini.

"Hei, Fira. Ini aku, ini Adit." Tangan itu lepas dari kedua mataku. Cahaya berangsur-angsur memenuhi indera penglihatanku. "Kenapa panik gitu?" Sekarang tangannya memegang kedua lenganku. Raut cemas jelas tercetak di samping senyumnya.

"Kenapa? Ada aku di sini, Fir. Kamu kenapa nangis?" Aditya terus mengguncang tubuhku supaya aku mau bicara. Tapi, tetap saja rasanya aku belum siap untuk mengatakannya sekarang. Aku benci konflik batin yang selalu tercipta antara hari dan pikiranku. Aku lelah dan aku ingin istirahat.

Sementara itu, Aditya merapatkan tubuhnya ke tubuhku—memelukku sampai aku benar-benar merasa tenang dan merasa siap berbicara. Ia mengendurkan pelukannya, mengusap pelan pipiku, dan siap mendengarkan apapun yang akan kukatakan.

Aku tersenyum dengan semua yang Adit lakukan. Ia benar-benar baik. "Dit, aku bakal pindah karena ayah harus pindah tugas."

Aku menatap matanya. Aku menunggu kalimat keluar dari mulutnya. Tetapi, sekarang Aditya yang bungkam. Hanya suara angin yang saat itu membentang di antara kebisuan kami. Akhirnya aku berusaha menjelaskan detail tentang rencana pindahku.

SegitigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang