3. Namanya Aditya Fidelio (Revisi)

1.1K 56 5
                                    

Nama lengkapnya Aditya Fidelio, lebih sering dipanggil Adit. Aditya berarti matahari. Cita-citanya aneh, ia bilang ia mau jadi matahari. Katanya, "Gue mau jadi penerang buat orang-orang yang nggak punya sinar sendiri. Gue juga mau kok jadi matahari buat lo."

"Maaf sebelumnya, gue bulan yang punya cahaya sendiri."

"Bulan cuma mantulin cahaya dari matahari, tahu."

"Oke, gue bintang yang punya cahaya sendiri."

"Berarti kita sama. Matahari 'kan juga bintang. Tapi, tenang aja, lo tetap jadi bintang paling bersinar di mata gue."

Lega sekali rasanya hari ini, semuanya berjalan dengan baik. Bahkan, Tante Nita meminjamiku mukenanya. Oh, betapa bodohnya aku. Mukena Tante Nita masih ada padaku. Mengapa Adit juga tidak bilang, sih. Aku jadi terpaksa harus menghubungi Adit.

"Dit, mukena Tante Nita masih di gue."

"Kata mama, itu buat lo aja. Lo sekarang di rumah nggak?"

"Iya, baru aja sampai."

"Gue on the way."

"Ha—" Sambungan telepon diputus sepihak. Bagus. Sekarang Adit sudah di jalan menuju ke rumahku. Semesta, tolong lepaskan aku dari macam-macam kebingungan ini.

"Fir, di depan ada Adit." Suara ibuku menyadarkan aku. Sepertinya Adit berada di tempat yang tidak jauh dari rumahku, maka dari itu dia bisa cepat sampai ke sini. Atau ... dia memang sedang berada di rumah dan mengebut di jalanan?

"Ada yang mau gue bicarain sama lo."

Siapa yang tidak terkejut kalau ada laki-laki yang baru saja tiba di rumahmu dan bilang bahwa ada sesuatu yang harus dibicarakan? Terlebih lagi, wajahnya terlihat sangat serius.

"Sama gue? Apa?"

"Ini tentang keluarga gue. Bukan maksud apa-apa, gue cuma nggak mau bikin lo bingung."

Lalu, kalau aku bingung apa urusannya? Simpan saja pertanyaan bodohmu itu, Fira. Baiknya kau dengarkan saja apa yang akan orang ini katakan agar dia bisa lekas pergi dan tidak mengganggumu lagi.

Rumah sederhana dengan pemilik yang ramah akan menjadi tetangga yang sempurna. Sepertinya wanita paruh baya itu akan memilih tempat ini sebagai rumah baru bagi pernikahannya.

"Gimana, Nak, kamu suka?"

"Nita suka banget, Bu."

"Lebaran nanti Nita mau beli baju berapa?"

"Untuk apa beli baju, Bu? Nita bahkan nggak ke rumah teman-teman sekolah Nita."

Keluarga itu muslim. Ayah, ibu, dan anak-anak mereka. Tetapi seorang anak berusia 14 tahun itu bersekolah di sekolah khusus Nasrani. Setiap tahun ia bahkan tidak pernah mengunjungi rumah teman-temannya untuk merayakan Idul Fitri bersama-sama—seperti yang dilakukan tetangga-tetangganya. Ia merasa sedih, seperti ada yang kosong di dalam dirinya sendiri.

"Bu, kalau Nita mau ikut Katolik ... boleh nggak?"

"Kamu bercanda? Setiap hari kamu memelajarinya. Bahkan nilaimu lebih tinggi dibanding teman-temanmu yang lain."

"Nita mau pindah agama, Bu. Biar sama seperti teman-teman."

Ibunya terdiam.

"Nita serius, Bu. Bukan hanya ikut-ikut. Nita mau memperdalam agama Katolik."

* * *

Tahun-tahun telah berlalu. Gadis cantik itu kini menjadi sama dengan teman-temannya. Tapi, ia menjadi berbeda di antara keluarga dan lingkungannya.

"Nita, aku mencintaimu. Tapi, kita berbeda. Keluargaku tidak akan menyukai itu." Ucap seorang lelaki yang tengah menggenggam tangan Nita.

"Kalau begitu ikutlah denganku dan mari membuat keluarga kita sendiri. Keluarga yang sama sekali tidak berbeda."

Lelaki itu setuju. Mereka berdua tengah berbincang serius tentang rencana pernikahannya. Acara itut akan digelar di salah satu gereja. Tidak ada seperangkat alat salat ataupun mahar seperti yang ibunya pikirkan. Yang ada hanyalah rangkaian bunga serba putih di atas altar. Juga di berbagai sudut gereja itu. "Semoga pernikahanmu diberkati Tuhan, Nak."

Setelah pasangan itu memiliki seorang putra, mereka merasa begitu bahagia. Pernikahan mereka benar-benar diberkati. " Kita namai dia Aditya Fidelio."

Semuanya berjalan selayaknya, hingga mereka merasa terkejut akan sesuatu. Tuhan baik sekali hingga mau menitipkan seorang lagi, putri yang begitu cantik kepada mereka. "Namanya akan terdengar begitu sempurna. Marsella Vioneta Esther."

Mataku terbelalak tak percaya dengan apa yang digambarkan Adit. Benar-benar tidak bisa kusangka. Pantas saja Tante Nita terlihat baik-baik saja ketika aku mengucap salam. Bahkan, Adit pun menjawabnya.

"Jadi ... mukenanya gimana?"

"Kata mama buat lo aja. Di rumah juga nggak kepakai."

"Iya, bilangin makasih buat Tante Nita, ya, Dit."

"Itu juga latihan."

Benar-benar. Laki-laki ini yang tidak pandai menjelaskan atau memang aku yang lambat memproses sesuatu?

"Latihan ngasih seperangkat alat salat." Katanya lagi dilengkapi sebuah senyum.

Sedangkan aku ... tidak bisa menahan senyumku.

"Mama juga bilang lo nggak boleh panggil Tante lagi."

"Kenapa?"

"Panggil mama."

* * *

Jam di dinding kelasku seolah ingin berhenti berdetik. Sebab terkadang jam tua itu tak mau menjalankan waktunya kembali. Kami semua paham, bila keadaannya sudah seperti ini, berarti jam itu ingin diberi baterai baru. Agar ia sudi berdetik lagi untuk kami tiap harinya. Entah karena malu atau memang benar-benar tidak mau lagi, jam dinding yang kupandangi sedari tadi itu, tak mengeluarkan suara khasnya. Detik berikutnya bel tanda istirahat berbunyi memekakkan telingaku, membuyarkan pikiranku yang fokus kepada jam dinding itu.

"Fira." Panggil seseorang dari ambang pintu. Suara itu, jelas aku mengenalnya. Suara Adit. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Lebih keras daripada bel tanda istirahat yang memekakkan telinga. Saat ia sudah menemukan yang ia cari, ia mendekat. Ia mendekat ke arahku. Kali ini aku tidak berharap agar Adit pergi. Tetapi, aku berharap agar ia tidak mendengar degup jantungku saat ia semakin mendekat. Kami berbincang-bincang ringan hingga bel kembali berbunyi.

Ia mengulangi di hari berikutnya. Lalu di hari berikutnya. Kemudian di hari berikutnya lagi. Juga seterusnya. Pada waktu yang sama. Tidak banyak yang bisa kami bicarakan. Kadang aku meresponsnya. Tapi, tak jarang juga aku menghindarinya. Setiap kali hal itu terjadi, aku hanya akan merutuki diriku sendiri yang tidak tahu inginnya apa. Mau dekat atau jauh dari Adit?

Semua orang termasuk aku mengerti bagaimana perasaannya padaku. Yang tak dimengerti banyak orang adalah perasaanku. Mereka semua terlalu sibuk memperhatikan Adit yang selalu unjuk diri di depanku, berharap aku punya perasaan yang sama dengan dirinya.

Di sini, aku sendiri bahkan tidak bisa menentukan jawaban dari pilihan yang Semesta berikan.

SegitigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang