11. Kata Baku (Revisi)

633 31 10
                                    

Kali ini pagiku diawali dengan mata pelajaran yang begitu kusukai—Bahasa Indonesia. Tapi, sayang sekali guru pengampu mapel ini benar-benar membuatku dan teman-teman jengkel. Wajahnya memang tidak terlalu sangar, tapi kalau sudah bertitah ... hm, tidak bisa diabaikan begitu saja.

Karena alasan itulah aku memutuskan untuk berdiam dan menenggelamkan diri dalam lautan bacaan. Tapi, tetap saja suara itu tidak mau membuatku tenang.

"Fira, kamu maju ke depan. Sampaikan pidato tentang kesehatan. Cepat." Nah, itu adalah salah satu kalimat paling tidak favorit versiku. Padahal jariku hanya membolak-balikkan halaman buku tanpa berbicara sedikitpun.

Untung saja itu kejadian minggu lalu. Tapi, tetap saja mana bisa aku mudah melupakannya. Ah, benar-benar. Aku ini pasti jadi salah satu murid kesayangannya.

"Hari ini kita akan belajar tentang kata baku. Coba kalian tuliskan kata baku yang sering salah ditulis." Titahnya yang langsung dilaksanakan oleh semua warga kelas X 4. Beliau beranjak dari singgasananya sambil sesekali melihat pekerjaan murid-muridnya. Kemudian mengangguk-angguk tak lama.

"Sekarang coba kalian tulis kalimat dengan kata baku dan tidak baku. Nanti maju satu-persatu." Ucapnya sebelum beliau mendaratkan tubuhnya kembali di singgasana tercinta.

Mudah saja. Teman-temanku dan aku langsung mengangkat pena begitu selesai menuliskannya. Beberapa tetap sibuk dan berharap tidak harus menuliskan kalimatnya di papan tulis. Tapi, sial, Pak Purnama memilih secara acak. Kurasa tidak masalah. Toh ini bab yang tidak terlalu sulit.

"Kurang satu kalimat lagi. Siapa yang mau melengkapi?" tanyanya yang hanya dijawab hening. Enggan merasa malu lebih lama, beliau pun menunjuk Fajar. Ya, teman sebangkuku. Syukurlah bukan aku karena aku benar-benar malas menuliskannya kalimat yang ... ya, sedikit mirip dengan milik Fajar.

Sebelum Fajar sempat maju, ia menatapku dengan tatapan yang aku tak tahu maksudnya. Tatapan seperti hendak memeringatkan, mungkin?

Tangannya mulai meraih spidol hitam yang sudah disediakan. Tinta hitam itu mulai mengotori beberapa sisi papan tulis yang tadinya putih bersih. Tunggu, kenapa teman-temanku tertawa? Mereka menertawakan apa? Astaga bahkan aku tidak bisa melihat apa yang sedang Fajar tulis.

Sampai kalimat itu selesai, beberapa masih tertawa. Ada juga yang memilih menahannya.

Fira pergi ke Mekkah dengan taxi.

Fira pergi ke Mekkah dengan taksi.

Bacaku dalam hati dan segera saja bergabung dengan tawa yang sudah sejak tadi menggema. Perutku tergelitik tak ada hentinya. Sedang tingkahnya ini mengundang amarah Pak Pur yang segera memberi tanda silang pada tulisan Fajar.

"Fajar! Kamu kalau bikin kalimat itu yang nyata, jangan kalimat yang mengada-ada seperti ini."

"Loh mengada-ada apanya, Pak? Fira itu rumahnya di Madinah." Kedua tanganku sekarang mengarah kepadaku. "Dan bukan Fira ini yang saya maksud." balasnya sengit.

Mendengar itu kedua alisnya bertaut. "Ganti dulu itu kalimatnya. Jangan kalimat yang mengada-ada." titah Pak Pur sekali lagi. Benar-benar tidak bisa dilawan. Seberapa keras Fajar menolak, Pak Pur lebih keras lagi memaksa. Akhirnya, Fajar yang mengalah, mengganti kalimat itu dengan kalimat yang lebih masuk akal.

Hadeh pasti sekarang Pak Pur lebih puas. Pikirku.

* * *

Tertawa itu benar-benar mengundang dahaga. Tenggorokanku butuh minuman dari surga supaya lega. Tentu saja, kantin adalah jawabannya. Huh, tapi jam istirahat belum juga tiba. Masih ada satu jam pelajaran lagi yang harus kulewati bersama dahaga ini.

Fajar pergi bergabung dengan anak-anak laki-laki yang mayoritas ada di pojok kelas. Sepertinya, ada dua kemungkinan kalau mereka sudah berkumpul seperti itu. Yang pertama mereka mabar atau main bareng dan yang kedua kalian tahu sendirilah ngapain. Ya, nonton film.

Seperti biasanya aku menghampiri teman-temanku. Mereka berempat duduk berdekatan. Jadi, kalau mereka menggosip sebentar saja aku pasti akan ketinggalan. Teman-temanku ini termasuk manusia-manusia terheboh di sekolah. Keponya bisa sembuh kalau obatnya hanya stalking. Juga, masalahnya tidak jauh beda denganku—cowok, patah hati, uang, dan ya, PR.

"Kayanya jamkos nih, Gan." kataku memulai forum diskusi rahasia ini dengan vibes ala-ala detektif.

"Lagu lu kaya detektif aja."

"Gue kangen kalian, tahu."

"Idih, geli gue Fir. Sumpah dah najis." Ayu itu benar-benar, ya.

"Kangen aja tuh sama pacar lo di dua kelas sebelah kita." Intan ikut menanggapi dengan sinis.

"Ah, iya. Gue juga kangen dia. Sirik aja lu, Jomblo." Balasku dengan tak kalah sinis. Padahal Intan punya pacar yang sekelas dengan Adit, hehe.

"Halah ntar juga ketemu." Kinan menimpali sambil sesekali berteriak karena ia kalah memainkan sebuah game.

"Kantin sekarang, yuk. Gue lebay, lemes bray." Ayu menirukan mimik salah satu artis yang mengiklankan sebuah produk mie di televisi.

"Kuy."

* * *

Laki-laki bermata sayu itu belum selesai menyalin catatan milik Miko—teman sebangkunya—saat bel istirahat sudah hampir hilang bunyinya. Tapi ia malah berdiri menyusul Miko yang kini berhenti di ambang pintu.

"Dit, kantin nggak lo?"

"Punya mata 'kan?" Ia menanggalkan pena yang sedari tadi melekat di jari-jarinya.

Miko hanya diam sambil melanjutkan langkah kakinya keluar pintu kelas.

"Tungguin gue, Cuy."

"Punya kaki nggak? Lama amat lu kaya keong."

Semua perempuan di sekolah ini pasti akan setuju denganku kalau mereka adalah ice prince. Apalagi Miko, kalian akan menggigil hanya karena mendapat tatapannya. Benar-benar irit kata pula. Jauh dari yang namanya tebar pesona. Kurasa, Miko adalah bentuk anggun dari Adit. Ya, begitulah. Mereka berteman sangat akrab walaupun tak pernah tidak berbalas kata-kata kasar kepada satu sama lain.

* * *

Entah bagaimana, mataku tak pernah lepas dari kelas X 2 itu. Entah siapa atau apa yang ingin terus-menerus kupandang. Bahkan langit sekarang nampaknya tak lebih menarik dari kelas itu. Baiklah, sekarang jantungku justru berdetak dua kali lebih cepat. Ini semua karena laki-laki bermata hitam itu.

Langkahnya semakin jelas terdengar disertai sosoknya yang makin mendekat. Udara menerbangkan rambut-rambut mereka—membuatnya berantakan. Mereka tak memerdulikan itu. Yang mereka lakukan hanya berjalan ke depan, sepertinya hendak menuju ke kantin.

"Fidel!" Suara itu milik Intan, ia memang suka sekali menggodaku.

"Hai." jawabnya sambil melambaikan tangannya yang jelas bukan ditujukan untukku.

Tak mau kalah, aku juga akan menguji keberuntunganku. Siapa tahu kali ini Dewi Fortuna baik hati padaku. "Adit!" kataku setengah berteriak.

Langkahnya pelan tapi pasti. Ya, pelan-pelan tapi pasti semakin menjauhiku tanpa sempat menengok sedikit pun. Ah, mungkin dia sedang badmood atau lagi nggak denger kali, ya.

"It's so sad, Bung." kata Lala sambil sembari menepuk-nepuk punggungku.

Semoga angin-angin ini tahu apa yang kumau. Semoga Semesta sendirilah yang akan menyampaikan pesanku padanya. Ya ... itu pun kalau Semesta sedang baik.

Tiba-tiba seseorangmemanggilku. Laki-laki itu memanggil namaku.

* * *

assalamu'alaikum hehe. mau dikit cerita nih, itu peristiwa kata baku merupakan salah satu kejadian nyata yang saya alami dengan teman sebangku saya. asli itutu bikin ngakak. hehe btw maap kalo retjeh.

makasi masi ngikutin cerita abal-abalku sampe part ini. aku harap kalian ga bosen hihi.
mulmed diatas adl visualisasi nya FIRAAA yeyy.

have a wonderful dayyy! ❤

SegitigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang