20. Paskah?

232 8 5
                                    

          Tidak banyak yang aku ungkapkan dalam suratku untuk Aditya waktu itu. Aku sengaja memintanya untuk tidak membukanya pada saat itu juga, karena aku akan malu sekali kalau ia membacanya di depanku. Tapi dasar Aditya, ia suka sekali menggodaku, ia mengancam akan membaca surat itu di depan umum. "Adit, jangan!" Aku berteriak panik dan menyadari betapa bodohnya aku. Seharusnya tidak langsung kuberikan surat itu. Lebih baik lagi kalau aku berikan surat itu nanti saat kita sudah berada di mobil. Tapi apa boleh buat, tepung dan sayur sudah menjadi bakwan.

"Adit, jangan dibaca di sini!" Aku terus berteriak dan berusaha merebut surat itu dari tangan Aditya, tapi hasilnya tetap saja aku tidak bisa mengambilnya. Akhirnya aku hanya diam dan hal itu berhasil membuat Aditya mendekat. Aku berakting hendak menangis dan akan marah bila Aditya nekat membacakan suratku di muka umum. Eureka! Berhasil. Ia mendekat dan aku segera mengambil kembali kertas itu.

Jingga menghias semburat senja di cakrawala ufuk barat. Matahari perlahan meredupkan sinarnya dan kembali ke peraduan, digantikan sang ratu malam yang cahaya putihnya meneduhkan pandangan. Aku dan Aditya bergegas berkemas dan segera meninggalkan pesisir, bersiap kembali ke rumah dengan segala polusinya.

"Nih, sekarang boleh dibaca sekeras-kerasnya." Aku menyodorkan surat yang tadi kurebut.

"Orang adanya cuma kamu, ngapain harus dibaca keras?"

"Iya juga ya, hehe. Yaudah sok dibaca. Atau dibaca di rumah juga tidak apa-apa."

Aditya menutup pintu mobilnya lalu tersenyum kepadaku tanda bahwa semua sudah beres dan kami siap untuk pulang ke rumah.

"Kamu yang ulangtahun, kok aku yang diberi hadiah, sih, Dit?"

Ia kaget, lantas memasang sabuk pengamannya dan berkata, "Kenapa gitu, Fira? Memangnya aku memberimu hadiah apa?"

"Senyum yang manis."

* * *

Sekolah dimulai seperti biasanya. Jam pelajaran pertama pada hari ini adalah matematika, dimana aku terkadang agak lama atau telmi dalam memahami rumus-rumusnya. Tapi, untungnya aku punya teman sebangku bernama Fajar, hehe. Kuakui dia pintar sekali, cerdas, dan cepat menangkap materi baru. Jadi, aku selalu minta untuk diajari olehnya. Tugas-tugasku pun dengan senang hati dibantunya untuk diselesaikan. Dan sejujurnya, pada ulangan-ulanganku aku mengandalkannya. Kami bekerjasama dengan membagi hafalan materi, biasanya ia menghafalkan materi yang lebih banyak dariku.

"Hey!" Aku menyapanya.

"Tayo."

"Nyebelin amat sih lu, Jar. Gue sapa baik-baik juga, astaga emosi gue."

"Pasti lo belum ngerjain pr matematika yang dikasih sama Bu Siska, 'kan. Gue tahu nih bentar lagi lo bakalan merengek manja ke gue minta buku tugas matematika gue buat disalin."

"Emang lo yang paling ngertiin gue deh, Jar. Kenapa ga lo aja sih yang jadi pacar gue, tiap hari nganterin gue pulang lagi."

"Karena, gue itu ga suka makan temen, Fira. Udah tuh cepetan disalin keburu Bu Siska masuk dan lo bakalan diterkam sama doi."

"Iye, diem lu bawel."

"Astaga udah bagus gue kasih pinjem tu buku. Gue ambil lagi baru tahu rasa lo, Fir."

"Oh iya, ngomong-ngomong, bentar lagi paskah lho, Jar."

Ia diam sebentar seperti biasa, lalu kemudian, "Terus kenapa, Fir? Gue harus bilang wow gitu? Lagian apa hubungannya sama gue? Nggak ada 'kan, nggak penting juga 'kan?"

Iya juga, ya, nggak ada hubungannya sama Fajar. Tapi, gue kan mau cerita. Apa semua cowok tu nyebelin kaya gini?

"Tapi, gue mau cerita sama lo bege."

SegitigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang