6. Dia Semakin Misterius (Revisi)

905 44 5
                                    

Kalian tahu apa yang lebih menyakitkan daripada sesuatu yang telah berakhir? Jawabannya adalah suatu keadaan yang tidak dimulai juga tidak pula berakhir. Hampir. Hampir memiliki, hampir mengambil hati, dan hampir-hampir yang lainnya. Yang tidak pasti tapi terus terjadi. Yang membingungkan tapi harus diberi keputusan.

Mungkin seperti itu yang dialami Adit. Ia hampir berhasil memilikiku, setidaknya itu yang dia pikirkan. Tapi, realita menamparnya begitu keras. Bahkan aku sendiri yang dengan sadar mengatakan kebenaran di depannya. Sekarang, aku maklum kalau dia merasa sangat marah kepadaku. Aku bahkan menyalahkan diriku sendiri yang tidak memberikan kesempatan pada Adit. Aku menyalahkan diriku yang tidak mencoba membuka hati untuk Adit.

Pada nyatanya, sekarang aku yang benar-benar tersiksa akan ketiadaan hadirnya. Aku yang mencari-cari dan merindukannya. Aku tidak yakin bagaimana perasaanku. Tapi, kalau aku tidak suka dia, tidak mungkin aku pusing memikirkan jawaban atas setiap debarku. Benar, ya, ucapan Patkai dalam serial Kera Sakti yang berkata, "Beginilah cinta, deritanya tiada pernah berakhir." Kira-kira seperti itu deh. Jatuh cinta memang rumit. Apalagi bukan aku yang berhak mengendalikan rasa ini. Semuanya adalah kehendak yang di atas.

Sekarang aku paham jawaban atas segala sesuatu yang sedang aku resahkan. Aku tahu aku sudah jatuh cinta pada laki-laki itu. Selama ini aku tidak menyadari dan selalu menampiknya. Kurasa aku belum siap dititipi rasa ini oleh Tuhan. Tapi, bagaimanapun juga aku tidak bisa menolaknya, bukan?

* * *

Pagi yang cerah, sepertinya. Tapi, apa sepanas ini matahari menyapa di pagi hari? Aku buru-buru membuka mataku karena matahari terlalu silau sepagi ini. Betapa terkejutnya aku ketika mataku beralih pada jam itu. Aku masih menggunakan piyama dan baru saja membuka mata. Sementara jam beker di atas nakasku terlihat sampai muak untuk berisik.

"Kenapa ibu nggak bangunin, sih?" Rutukku pada diriku sendiri. Juga, pada ibuku yang tidak membangunkan aku.

Dengan sekuat tenaga, aku mengumpulkan seluruh kesadaranku dan segera bergegas melakukan aktivitas rutinku di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah. Mandi, berganti seragam, mengganti jadwal, sarapan, pakai sepatu, dan berangkat. Untung saja bakat multitalent-ku bisa digunakan sewaktu-waktu. Misalnya sarapan sambil merapikan rambut atau berganti baju sambil mengganti jadwal mata pelajaran.

Di perjalanan yang kulihat hanyalah asap dan kemacetan. Jakarta tidak pernah tidur, kata seorang penulis yang aku lupa namanya. Dia benar. Di setiap sudutnya ada kehidupan. Bahkan ada beberapa tempat yang tidak terjamah atau tidak pernah terlintas di akal manusia bisa menjadi sebuah rumah. Yang di dalamnya ramai riuh kegembiraan seorang anak menyambut kepulangan ayahnya. Atau tangis kedua orangtua di tiap malamnya. Walaupun menyedihkan, semuanya terlihat jujur dan begitu membahagiakan.

Ah, benar. Cara menyayangi seseorang itu berbeda-beda. Ada yang melindungi secara langsung, ada yang memenuhi secara materi, atau bahkan sengaja terlihat tak peduli padahal kebalikannya. Baiklah, sekali lagi manusia punya akalnya masing-masing dan punya jalannya masing-masing untuk menunjukkan sebuah emosi. Yang harus kutahu seberapa sibuk ayah dan ibuku, mereka adalah kedua orangtuaku yang begitu menyayangiku.

Tak terasa sebagian waktu kuhabiskan untuk memandangi jendela sambil melamun. Sekarang ayahku sudah menghentikan laju mobilnya tepat di depan sekolahku. Beliau memberitahuku supaya lekas turun supaya tidak terlambat masuk ke kelas. Padahal sekarang masih pukul tujuh kurang seperempat. Aku mengucap salam kemdian ayahku berpamitan dan kembali melajukan mobil untuk bekerja.

Tahukah kalian saudara-saudara? Ternyata ketika kakiku berhasil sampai di gerbang sekolah, aku justru bertemu dengan manusia yang amat sangat sedang kuhindari adanya. Aku malu kalau harus bertemu dengannya seperti ini. Apalagi aku hanya tampil seadanya seperti biasa. Tunggu, kenapa juga aku harus terlihat cantik untuknya?

Baiklah, bersikaplah normal, Fira. Anggap saja kau tidak melihatnya atau pura-pura tidak melihatnya. Selalu palingkan pandangan ke arah yang lain. Kalau bisa dekati satu teman yang membuatmu menjadi tidak bisa didekatinya. Duh, kok malah jadi GR gini, sih? Memangnya dia mau mendekatiku apa?

Sial. Dewi Fortuna sedang berpihak kepadanya. Tidak ada satupun siswa yang kukenal yang dapat kudekati—setidaknya sampai Adit sukses masuk ke kelasnya tanpa menyadari keberadaanku. Huh, sekarang jaraknya denganku justru semakin dekat. Ia berjalan ke arahku dan berusaha menyamai langkahku.

Baik, aku harus fokus. Tetap pandang lain arah dan jangan hiraukan hadirnya. Tenang dan santai seperti tidak ada apa-apa. Jangan memulai pembicaraan dan jangan melirik ke arahnya. Bertahanlah seperti ini setidaknya sampai kau berhasil melewati kelasnya.

Laki-laki di sampingku seperti paham taktik yang aku terapkan. Ia tak mengeluarkan satu patah katapun sejak kami bertemu di gerbang. Dia hanya berjalan di sampingku dan sesekali tersenyum pada siswa yang kami temui. Syukurlah dia hampir sampai di kelasnya. Itu artinya aku akan kembali berjalan sendiri dan bisa tenang tanpa harus mengontrol debarku. Gue malu setengah mati dilihatin anak-anak satu sekolah.

"Pagi, Fira."

Astaga. Itu bukan Adit 'kan yang bilang? Tapi, suara itu jelas suara milik Adit yang tidak mungkin aku lupa bagaimana kedengarannya. Lagipula siapa lagi orang yang bisa mengucapkan itu secara tiba-tiba kepadaku kalau bukan dia? Dari tadi 'kan aku berjalan hanya dengan Adit. Apa dia tidak tahu bagaimana sulitnya aku mengendalikan semua ini sejak pertama kali mataku menangkap hadirnya? Ah, apa dia peduli tentang itu? Kurasa tidak.

Baru aku akan menengok untuk melihat Aditya, tapi ternyata sosok yang aku cari sudah tak berada di belakangku lagi. Aku pun melanjutkan perjalananku menyusuri koridor yang kurasa sepanjang tembok raksasa di Cina. Tidak juga, ding. Tapi, sumpah, bayangkan kalau kalian berjalan sendirian melewati koridor-koridor kelas yang sepi. Menyeramkan bukan? Kalau tidak ya sudah. Lupakan saja, itu tidak penting.

Eh, tapi kalau dipikir-pikir lagi, kenapa Adit justru menghampiriku? Biasanya dia menghindariku dengan usaha yang lebih kuat daripada usahaku. Aneh sekali. Apa dia sudah tidak marah denganku, ya? Apa aku harus tanya supaya tidak terus-menerus penasaran? Tapi....

"Hayo tadi bareng sama siapa?" Allahu, baru saja berhenti di depan kelas sudah disodori pertanyaan seperti itu. Memangnya mereka melihat aku berjalan dengan siapa?

"Sama Adit, ya?"

"Lo pikir kita nggak tahu apa? Dari tadi lo sama dia jalan bareng."

"Ngobrolin apaan aja? Emang dia udah nggak marah?

Bagus. Aku lupa kalau teman-temanku adalah pengumpul berita paling aktual. Lalu sekarang aku yang menjadi judul berita mereka pagi ini. Oke, saatnya klarifikasi.

"Iya tadi gue jalan bareng Adit. Gue nggak ngobrolin apapun karena lo semua harus tahu seberapa deg-degannya gue di sana. Juga, kalo lo nanya dia masih marah atau nggak, gue nggak tahu jawabannya. Karena gue juga lagi nanyain itu ke pikiran gue."

"Yah sayang banget nggak ngobrolin apa-apa. Padahal kita dukung lo sama Adit, Fir. Kayanya kalian cocok kok." Ayu—sahabatku sejak SD yang bilang begitu. Kebetulan dia juga lumayan akrab dengan Adit. Jad, dia tahu sedikit banyak tentang Adit dan teman-temannya. Aku juga percaya kalau Ayu tidak mungkin berbohong.

Teman-temanku yang lain juga tampak menyayangkan pertemuanku dengan Adit kali ini. Tapi, apa boleh buat? Kalau memang sudah jodoh, sejauh apapun kami berjalan berlawanan, maka Tuhan akan menyiapkan satu titik bernama pertemuan. Kalau tidak jodoh, sedekat apapun kami bertautan, maka Tuhan selalu punya kata perpisahan.

Menurutku, percaya dengan Tuhan adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukan saat ini. Tapi, apa rencana-Nya untukku dan untuk Adit akan sama? Apakah cara-Nya akan sama? Sedang kami ini adalah dua orang yang berbeda Tuhan.

Ah, lagi-lagi hati dan akal sehatku bertengkar. Memikirkan jawaban atas pertanyaan yang semakin bercabang. Semoga semua lekas berakhir dan aku berharap bahwa saat aku membuka mataku di setiap pagi, segala yang terjadi antara aku dengan Adit segera mencapai titik terangnya. Apakah Tuhan telah salah menaruh rasa pada hatiku? Sebab, rasa itu ditujukan pada seseorang yang telah menjauh. Itu juga aku tidak tahu jawabannya.

Mencoba ikhlas dan menerima bukanlah sesuatu yang buruk. Bukan juga sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Tapi, aku bahkan tidak akan mampu menolak semua pemberian yang asalnya dari Tuhan. Terkadang, aku terpaksa menerimanya. Walaupun begitu, aku akan sebaik mungkin menjaga dan merawatnya.

Tapi, untuk yang satu ini, apa perlu aku merawatnya?

SegitigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang