13. Who?

472 29 1
                                    

Pokoknya aku harus menghampiri Adit, kapanpun sebisaku. Aku harus menyelesaikan semuanya, aku harus mengetahui semuanya secara jelas. Karena bagaimanapun keadaannya, Aditya adalah pacarku! Dan aku berhak bertanya tentang masalah perubahan sikapnya sejak satu bulan belakangan ini. Aku berencana datang ke kelas Aditya saat jam istirahat tiba, tapi apa daya, kuasa pun tak ada. Aku tidak cukup berani untuk datang ke kelasnya dan menanyakan hal ini, terlebih di depan teman-teman sekelasnya yang aku tahu mereka punya pandangan kurang menyenangkan terhadap tetangga kelas yang masuk ke kelas mereka. Aku pun mengurungkan niatku ini. Aku tidak tahu harus berbuat apa.

Sepanjang jam mata pelajaran sejarah aku tidak bisa berkonsentrasi, hingga aku kedapatan beberapa kali melamun memandang ke arah luar pintu. Alhasil aku dihadiahi pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya mudah karena sudah kuhafal di luar kepala, namun aku justru tak bisa menjawab satupun soal dengan benar. Guru mapelku menyadari keanehan yang terjadi pada diriku hari itu. Beliau selalu bertanya kepadaku, yang hanya kujawab sekenanya dengan gelengan dan senyuman.

"Jar." Panggilku sambil menyenggol pelan lengannya di atas meja.

"Paan?"

"Apa yang bakal lo lakuin kalo pacar lo itu sikapnya berubah makin cuek dan dingin ke lo?"

"Pacar ya? Cuek dan dingin?"

"Iya!" Aku berseru antusias antara bersemangat menunggu jawaban dari Fajar yang mungkin bisa memberiku solusi atas masalahku ini dan rasa jengkel yang sedari pertama aku bertanya sudah memenuhi ubun-ubunku.

"Masalahnya gue itu gak ngalamin hal itu, Fir." Senyumnya terpancar penuh kemenangan. Tangannya kembali menari di atas kertas putih merangkai jawaban-jawaban yang sebentar lagi akan kusalin.

Aku diam sebentar dan kemudian bertanya lagi, "Ih kan misal doang, Jar. Lo bakal gimana?"

"Gue kan udah bilang, gue gak ngalamin jadi ya gue gak bisa jawab pertanyaan lo."

"Satu lagi, mendingan lo ngerjain tugas dari pak Luki daripada ntar kena omel."

Gila nih bocah gak pernah bener kalo mau gue curhatin. Mana pake basa-basi suruh ngerjain tugas lagi, gue kan bisa nyonyek punya dia.

Aku mendekat ke samping lengan Fajar, bersusah payah melihat apa yang sudah ia tulis. Lalu kemudian membaca dan mengingatnya untuk kutulis kalimat-kalimat itu di buku tugas sejarahku.

"Sudah selesai mengerjakan soalnya?" Suara berat milik Pak Luki beradu dengan nyaringnya bel istirahat kedua yang perlahan memelan lalu menghilang.

"Belum."

"Ya sudah, minggu depan kita bahas ya. Kerjakan dengan baik di rumah."

"Baik, Pak." Aku segera menutup bukuku, memasukkannya ke dalam tas dan kemudian berjalan menghampiri teman-temanku. Tanpa sengaja aku melihat Aditya berdiri di ambang pintu kelasku, seperti hendak masuk mencariku, atau mungkin tidak. Aku melanjutkan langkahku menuju bangku Ayu, menjatuhkan pantatku tepat di kursi Ayu, sehingga memaksanya berbagi tempat denganku.

Aditya menyadari aku yang tengah duduk bersempit-sempitan dengan Ayu. Dia pun menarik kursi lain. "Duduk di sini aja, Fir." Aku pun menurut. Dia mengambil satu kursi lagi sebagai tempatnya duduk di sebelahku.

Tak banyak hal yang kami bicarakan, karena aku tidak tahu harus bicara tentang apa. Dia sibuk dengan ponselnya yang menampilkan berbagai model motor yang sudah dimodifikasi. Dan aku sibuk memainkan game di ponselku agar aku tidak bosan-bosan amat. Sementara keempat teman-temanku enak-enakan makan karena mereka bawa bekal dan aku tidak.

Setelah sadar cukup lama kami terdiam, Aditya mengambil alih ponselku. Mengancam akan menghapus semua game-game di dalam ponselku agar aku tak sibuk memainkannya saat kami sedang bersama. Aku hanya manyun dan beralasan bahwa game itu dapat mengobati rasa bosanku sewaktu menunggu Aditya dengan kesibukannya. Aditya dapat mengerti, dan mengembalikan ponselku padaku.

SegitigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang