NINIK

2.3K 97 5
                                    

Hujan lagi. Seperti biasa. Setiap senja membayang. Ketika matahari merangkak menuju peristirahatannya. Iringan awan hitam menggumpal, menghalangi sisa-sisa cahaya yang membekas. Mayang terbangun dan menyapukan pandangannya ke penjuru arah. Rambutnya yang hitam tampak kusut. Matanya merah. Ia beringsut mendekati jendela dengan terali besi berkarat. Hujan lagi, gumamnya sedikit muram. Jemarinya mencengkram pinggiran jendela. Aroma tanah basah tercium. Mayang mendesah dan menuju pintu kamar. Diputarnya kenop pintu dengan perlahan.
" Mayang." suara neneknya memantul di dinding rumah. Mayang muak akan dinding rumah itu, berbau lembab dan cat putihnya yang sudah lumutan terkelupas.
" Iya, nik." jawab Mayang. Ia biasa memanggil neneknya dengan kata ninik. Ia menunggu neneknya kembali menyahut.
" Hujan. Mau kemana?" tanya nenek sambil membuka jendela rumah. Hujannya tidak deras, hanya rintik-rintik kecil. Mayang memutar bola matanya dan menghentakkan kakinya.
" Mayang mau keluar. Bermain," ucap Mayang sedikit merajuk. Neneknya menatap cucunya dengan tajam.
" Hujan! Masuk!" teriak neneknya. Ia mengacungkan tongkat yang ia bawa kemana-mana. Mayang menggerutu dan menutup pintu kamarnya. Ia memandang jendela. Ia berharap, jendela itu tidak terlihat seperti jeruji besi di penjara. Seolah-olah, hanya angin saja yang diperbolehkan masuk. Mayang mondar-mandir tidak jelas di kamarnya. Tangannya sesekali menggaruk kepalanya dengan kasar. Tanpa ampun. Kutu-kutu yang masih kecil menempel di kuku jemarinya. Ia mengoreknya dengan sepotong lidi. Lalu, ia melanjutkan kembali garukan kasar itu demi mendapatkan induk dari kutu-kutu yang bersarang di rambutnya.

KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang