PEMBANTAIAN

556 39 9
                                    

Pagi itu, kepala desa datang. Ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna abu-abu dan celana hitam. Rambutnya mengkilap karena minyak rambut. Rahang kotaknya agak kehijauan habis bercukur. Jalannya mantap. Sedikit gundah. Ia sudah mendengar kejadian di panti asuhan. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah paman Matun menemui bibi Arum. Ia menyempatkan diri membeli sebungkus jeruk di pasar. Orang-orang memilah sayuran sambil berbisik- bisik tentang Mayang. Tentu, mereka juga sudah mengetahui apa yang menimpa panti asuhan. Kepala desa menyerahkan selembar uang kepada penjual jeruk dan berlalu.
Rumah paman Matun sudah ramai. Beberapa pria duduk di teras. Mereka berbincang-bincang. Masing-masing sudah menggenggam segelas kopi dan sepotong ubi rebus.
Paman Matun menyambutnya. Pria tua itu menggiring kepala desa ke ruang tamu yang mana penghuninya sudah duduk di sofa. Bibi Arum menggulung rambutnya dan berdiri. Matanya jelalatan mencari-cari kepala desa.
" Arum." kepala desa menyerahkan sebungkus jeruk kepada bibi Arum. Namun, bibi menepisnya dan melayangkan tangannya ke wajah kepala desa. Suara tamparan langsung terdengar. Tiba-tiba, semuanya diam. Suasana sunyi senyap. Bibi Arum terengah- engah. Giginya bergemeletuk. Dadanya naik turun karena marah. Kepala desa berdeham dan menyeka pipinya. Rahangnya mengeras. Ia sadar bahwa bibi Arum sudah melalui saat-saat yang mengerikan bersama gadis itu. Perasaan bersalah merambatinya. Andai saja, Mayang tidak ia bawa ke panti asuhan.
" Sebaiknya kau duduk Arum," sergah paman Matun. Pria tua itu menyesalkan perbuatan bibi Arum yang keterlaluan.
" Saya tidak mau duduk sebelum kepala desa bersuara." bibi menunjuk kepala desa yang hendak duduk. Senyum tipis diberikannya kepada kepala desa.
Kepala desa mendesah.
" Mari kita bicarakan baik-baik, Arum. Saya-"
" Seandainya....seandainya kau tidak bawa gadis itu ke panti asuhan-" bibi Arum tercekat. Air matanya merembes. Suaranya serak.
" Saya tahu. Ini salah saya. Tapi bisakah kita selesaikan ini dengan baik-baik?" bibi Arum mengangguk lemas.
Ketika semuanya sudah duduk. Beberapa pria di luar masuk dan menyimak. Paman Matun mulai bicara. Galih mengelus bahu bibi Arum dan merebahkan kepala wanita itu di pundak lebarnya. Kepala desa terdiam, ia meresapi kata-kata paman Matun. Ia tidak menyela. Hanya duduk dan termangu. Hingga akhirnya ia terperanjat saat paman Matun sampai pada bagian bahwa Mayang sudah mati. Ia menggeleng keras dan tertawa. Semua percaya dengan kata-kata paman Matun, tetapi ia tidak. Dengan masih sedikit tawa, ia mengangkat tangan dan berujar keras.
" Bohong. Saya tidak percaya. Mayang itu manusia-"
" Ia memang manusia, bodoh! Tapi ia sudah mati. Yang kau antar ke panti asuhan memang Mayang, namun jiwanya sudah tidak ada. Ia bukan manusia lagi."
" Saya percaya dengan pembantaian yang ia lakukan. Hanya bagian itu yang saya sukar untuk percaya, gadis itu sudah mati? Haha. Saya tidak percaya paman! Ia masih hidup! Hanya saja neneknya yang merasuki ia untuk membunuh! Pasti itu!"
" Neneknya...tidak ada sangkut pautnya tentang semua ini, kepala desa. Semua yang Mayang lakukan adalah kehendaknya sendiri. Setan sudah menguasainya."
Paman Matun menyergah tenang. Kepala desa mencibir. Ia menyahut dengan tidak sabar.
" Saya akan buktikan bahwa ia masih hidup! Mayang itu manusia! Saya akan mencoba untuk berbicara dengannya."
" Tahukkah kau?! Berapa manusia yang ia bantai? Dengan siapa ia bergaul?! Jangan sembarangan!"
" Mayang hanya anak kecil paman Matun!" kepala desa beranjak. Paman Matun menunduk, menyembunyikan rasa kesalnya. Bibi Arum kembali terisak. Kepala desa itu memang bodoh!umpatnya dalam hati. Kepala desa segera memakai sendal dan menoleh pada paman Matun.
" Saya akan ke panti asuhan. Saya akan bawa ia kesini dan membuktikan bahwa kalian semua di sini salah." ia berbalik dan menyusuri gang. Pria- pria yang berkumpul di sana langsung ribut. Mereka hendak menyusul kepala desa dan memperingatkannya. Paman Matun berkata dengan tenang. Ia masih duduk di sofa.
" Biarkan saja. Hanya tuhan yang tahu, ia kembali dengan Mayang atau tidak."
" Paman... Lalu, bagaimana caranya untuk menangani semua ini?" tanya bibi Arum. Air mata sudah membasahi pipinya.
Paman Matun tersenyum.
" Kepala desa yang akan menjawabnya."

Dari kejauhan, atap panti asuhan berkilauan karena diterpa sinar matahari pagi. Udara masih sejuk. Tabung besi yang digantung di depan teras berdenting. Bangunan rendah itu tampak suram. Pekarangannya kotor akan daun-daun kering yang tidak pernah disapu. Sayup-sayup, suara tawa anak kecil menggema, disusul nyanyian.
Kepala desa berjalan dengan perasaan kesal. Ia akan membuktikan bahwa Mayang masih hidup. Yang jadi masalah hanya arwah neneknya yang merasuki gadis itu sehingga ia membantai orang-orang di sekitarnya, gumam kepala desa sambil menancapkan pandangannya pada pagar merah berkarat di depannya. Ia mengguncang pagar itu. Catnya terkelupas. Pintu panti asuhan tertutup rapat, begitu pula jendelanya. Kepala desa membuka pagar, masuk dan melangkah ragu ke pintu panti asuhan. Rambutnya yang semula klimis kini mulai lepek. Minyak rambut yang digunakannya mengeluarkan bau basi.
Mayang menghambur ke pelukan kepala desa saat pria itu mendorong pintu panti asuhan. Gadis itu terisak-isak sambil membenamkan wajahnya di kemeja kepala desa. Kepala desa merasa iba. Dielusnya dengan lembut kepala Mayang dan membiarkan air mata gadis itu membasahi kemejanya.
" Mayang, jangan menangis."
" Mereka jahat! Mereka meninggalkan Mayang sendirian di sini. Mayang takut....."
" Sst... Mereka takut Mayang, karena-"
" Karena Mayang membunuh teman-teman Mayang, kan? Mayang tidak sengaja, Mayang hanya ingin bermain." gadis itu kembali menangis, kali ini lebih keras. Tubuhnya gemetar. Kepala desa mendorong lembut gadis itu. Ia hendak menyeka air mata Mayang ketika ia sadar kalau kemejanya tidaklah basah karena air mata.
Kepala desa membelalakkan mata. Bercak merah ada di mana-mana. Bau amis tercium. Kemejanya berubah menjadi merah tua. Kepala desa melirik Mayang. Gadis itu menundukkan kepala. Kedua tangannya saling meremas. Kepala desa memicingkan mata. Gadis itu menatap kakinya yang pucat. Kukunya kuning dan kaku. Ia sontak mendongak. Kepala desa mundur.
" Paman....paman mau kemana?" tanya Mayang, ia mengulurkan tangan. Senyum mengembang di wajahnya. Paman Matun benar, gumam kepala desa. Ia harus segera pergi dari panti asuhan sebelum gadis itu akan membunuhnya seperti yang lain. Mayang berhenti. Ia terkikik dan bernyanyi. Untuk pertama kalinya, kepala desa sadar kalau gadis itu tidak berjalan. Kakinya melayang- layang. Saat nyanyian itu berakhir, kepala desa merasakan tubuhnya membeku. Ia tidak mampu bergerak. Lalu, garis tipis berwarna biru kehijauan merambati lengan, kaki dan lehernya. Garis itu menimbulkan rasa sakit seperti diiris pisau di kulitnya. Mayang menyaksikan kepala desa berteriak keras. Pria itu mematung dan matanya melotot. Bocah-bocah dengan mata hitam menggerayangi dan memanjati tubuh kepala desa. Mereka menjulurkan lidah bersuka cita. Mereka menjilati kepala desa. Mula-mula sangat perlahan, lambat laun mereka menancapkan gigi mereka yang tajam dan merobek daging pria malang itu. Kepala desa menggelepar. Darah mengalir deras. Yang terpikirkan olehnya hanyalah kematian.

Paman suka?
Enak, kan?
Tunggu sebentar,  Mayang ambilkan kain dulu ya...

***
I'm back darling!!!

KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang