POPPO (2)

541 39 13
                                    

Semenjak kematian Denok, aku menjadi semakin waswas. Asman tidak pernah ke rumahku lagi.
Takut-takut aku melirik ke belakang sesekali jika berkendara sendirian.

Namun, malam itu menjadi suatu pengecualian, Asman ke rumah dan membawa sekantong gorengan. Rokok mengepul di mulutnya.

" Dit. Aku mau cerita dit," ucapnya sambil mengunyah tahu goreng. Aku tidak menoleh.

" Kayaknya giliranku sudah datang Dit. Aku terus diganggu.."

" Sama siapa?" tanyaku, meneliti ekspresi wajahnya. Asman menghembuskan asap rokok.

" Setan dit."

Aku menelan gorengan dengan susah payah. Asman menunduk dan menghisap rokoknya perlahan.

" Becanda kan man?"
" Serius dit."
Asman menggosok dahinya, ia mulai bercerita.
Malam itu, ia keluar sendirian. Asman melewati rumah mbak Ratih dan mengumpat kasar. Sesampainya di rumah, ia merasa ada yang menguntitnya. Punggungnya terasa berat dan ada bau busuk menyeruak. Asman terseok-seok masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Jendela kamarnya seperti ada yang mengetuk, kemudian ia melirik dan melihat seorang wanita berdiri di luar jendela. Selimutnya ditarik- tarik kasar. Asman memejamkan mata dan mencoba tidak menghiraukan gangguan-gangguan itu. Keesokan harinya ia melihat sejumput tanah di depan pintu rumah. Hanya ada di depan rumah, ia berkeliling mengecek dan tidak ada apa-apa. Malam-malam berikutnya, ia menangkap sekilas sosok yang berdiri di dinding kamarnya dan menatapnya tajam. Selain itu, suara garukan menghantuinya.

Asman mengakhiri ceritanya dan melumat puntung rokoknya. Aku terdiam. Kuraih sepuntung rokok, tapi tanganku gemetaran.

" Aku pulang ya dit." pamit Asman, ia menepuk celananya. Kuperhatikan Asman yang memutar sepeda motornya.

Aku tidak bisa tidur. Aku khawatir terjadi sesuatu pada Asman. Ceritanya tadi membuatku merinding. Sambil menunggu kantuk, aku membaca novel picisan.

Dalam gelap, orang itu mengendap-endap. Ia berjalan mengelilingi rumahku dan menebarkan segenggam tanah gembur. Tanah itu bercampur dengan potongan bunga kecil-kecil. Wajah orang itu tidak terlihat karena rambut yang menutupinya. Ia berhenti untuk memandang depan rumah. Aku merasa seolah-olah tersedot oleh tatapannya. Tak lama kemudian,
orang yang menebar tanah itu bersandar di pohon. Perlahan-lahan, kepalanya lepas dari tubuhnya, beserta organ dalamnya. Bau bangkai menyengat hidungku. Mulutnya yang lebar mengerucut dan menimbulkan bunyi yang akhirnya membuatku terbangun.

Bapak pulang, mengambil beberapa barangnya. Ia menyelipkan beberapa lembar uang di balik lipatan taplak meja. Ibu sedang mencabuti rumput, ketika bapak sudah beranjak pergi. Beliau tidak tahu tentang teman-temanku yang memerkosa istri barunya. Dan, itu yang menjadi masalah, teror yang dibuat oleh mbak Ratih lebih mengerikan, meskipun aku masih merasa ragu akan ia yang melakukannya.

Aku menjadi seorang pengangguran, bukan mahasiswa lagi. Dompetku tipis dan kering. Beberapa kertas dan nota belanja yang membuat sesak dalamnya. Terpaksa aku mengiyakan tawaran seorang saudagar yang memintaku membantu mengangkut beras. Aku tidak punya pilihan lain.

Aku menyisihkan lengan baju, mengangkut sekarung beras ke truk. Beberapa pemuda, hilir mudik melakukan hal yang sama. Cuaca sangat panas. Debu berkepulan di tanah. Kubuka tutup botol air mineral dan meneguknya sampai tandas. Keringat membasahi punggungku.
Tidak sengaja aku bertemu dengan Asman. Ia melangkah gontai ke toko tempatku mengangkut beras. Penampilannya berantakan. Kausnya kotor, jambang merambati dagu lancipnya dan bau asam menjadi aroma khasnya sekarang. Asman mendorong pintu toko.

" Man!" panggilku. Ia memasukkan sebungkus rokok ke saku celana.

" Oi, dit." suaranya pelan. Kulitnya kekuningan. Ia semakin kurus.

KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang