LEAK

864 31 6
                                    

Aku memasukkan beberapa barang ke dalam ransel, termasuk kotak nasi berwarna merah jambu pemberian mama. Koper sudah siap. Baju-baju terlipat rapi. Jam dinding menunjukkan pukul 09.00 pagi. Tergesa-gesa, aku mengganti baju dan mengikat tali sepatu.
Pintu kamar diketuk, mama menyembul di pintu. Rambutnya yang ikal dikuncir. Bibirnya dipulas dengan gincu merah. Mama tersenyum dan menghampiriku.

" Sudah siap?" tanya mama sambil memasukkan novel kesukaanku ke ransel dan menarik restletingnya. Aku duduk di tepi ranjang dan mengangguk lesu. Tidak tega rasanya meninggalkan mama sendirian. Padahal, aku cuma pergi ke Bali selama sebulan,  tapi rasanya sulit berpisah dengan mama barang sehari saja.

Pekak  pasti senang ketemu sama kamu. Sejak mama menikah, mama gak pernah pulang ke Bali. Dan,  mereka gak tahu kalau papa-" mama terdiam, sepertinya mau menangis. Tapi,  berhasil ia tahan dan malah merangkulku erat.

" Ananda, berjanji sama mama,  kamu bakalan bersikap sopan sama keluarga mama di Bali. Mereka bukan hanya keluarga mama,  tapi juga keluargamu."

Aku mengangguk lagi. Mama menikah dengan papa tanpa ada persetujuan dari pihak keluarga mama di Bali. Apalagi masalahnya kalau bukan persoalan agama. Aku mendesah dan mencangklong ranselku. Sebentar lagi, dalam waktu 1 jam 25 menit,  aku akan berada di Bali,  tempat yang belum pernah aku kunjungi. Sekarang, umurku hampir 20 tahun dan untuk pertama kalinya bertemu dengan keluarga mama.
Mama menepuk-nepuk koperku. Wajahnya sendu, mama letih karena terlalu berat bekerja seharian. Maka dari itu mama tidak ikut bersamaku. Kami menuruni tangga bersama-sama. Sopir keluarga, pak Dimas sedang mengelap kaca depan mobil. Mama sudah menyiapkan sarapan, ah, sarapan yang telat,  pikirku sambil mencomot sehelai roti gandum. Selai stroberi, cokelat dan kacang berderet di meja makan. Aku tidak mengambil selai-selai itu dan hanya mengunyah roti yang terasa hambar. Mama menyodorkan segelas susu.
Kemudian, tanpa aku sadari, aku sudah berada di mobil. Kulambaikan tanganku pada mama. Mama balas melambaikan tangan dan menahan tangis. Mungkin, mama sedih bukan karena aku pergi ke Bali, toh itu cuma sebentar, melainkan karena mama tidak bisa ikut. Aku mengalihkan pandanganku ke depan dan memandang rambut pak Dimas yang sudah beruban.

Kesan pertamaku terhadap Bali, ramai. Aku tiba di bandara International I Gusti Ngurai Rai dengan selamat, anggota badanku masih utuh dan kepalaku juga bertengger di tempatnya semula. Walaupun aku merasakan jetlag. Aku  menyewa taksi. Taksi itu berwarna biru dengan lambang burung, bukan taksi kuning mustard seperti yang dinaiki oleh para Yankees di NYC. Sopirnya juga mengenakan kemeja biru dengan logat khas orang di sana. Aku enggan mengucapkan alamat itu dan menyodorkannya. Si sopir tersenyum. Taksi itu segera meninggalkan bandara. Jalanan penuh dengan kendaraan yang berlalu lalang. Bus- bus pariwisata melintas, mobil-mobil merayap di belakangnya dan beberapa orang mengendarai sepeda motor lengkap dengan helm. Aku terperanjat ketika si sopir tiba-tiba memintaku melihat keluar. Sebuah patung luarbiasa besar dibangun di tengah-tengah jalan. Aku memandanginya sejenak dan kembali melamun.

Selesai membayar, aku menarik koperku kasar. Sebuah rumah besar menjulang di depanku. Pagarnya dari kayu berwarna cokelat pekat dengan ujung seperti tombak emas. Atapnya merah marun dan dindingnya berwarna krem lembut. Temboknya tinggi terbuat dari batu bata. Plakat emas berbentuk nomor 21 dipasang di depan pagar. Aku diam sejenak dan meraih ponsel.
Nomornya pekak. Tentu saja aku punya. Nomor itu berjumlah 12 digit, aku menekannya. Kubayangkan pekak itu seperti apa rupanya. Sudah usia lanjut, rambut beruban dan badannya kurus kering. Pekak mengunyah sirih dan giginya merah semua, pikirku. Ah, mungkin bisa saja berbeda. Lama kutempelkan ponsel di telingaku, belum juga diangkat. Di depan pagar, ada besi berbentuk cincin besar yang sebenarnya bisa aku pakai untuk mengetuk pagar. Tanpa pikir panjang, kumasukkan ponsel ke saku jaketku dan memegang cincin besi itu. Bunyi ketukan pertama terdengar, lalu disusul bunyi kedua. Aku menunggu sembari menggigit kuku jemari. Punggungku pegal karena ransel dan tanganku meremas-remas pegangan koper. Pagar itu membuka, seorang wanita berambut keriting keluar. Wanita itu sepertinya pembantu, gumamku mengamati penampilannya. Kulitnya cokelat. Keriput menggerogoti wajahnya. Ia mengenakan baju bermotif bunga dengan celana ketat norak. Dasar ibuk-ibuk, ejekku dalam hati. Rambut keritingnya terlihat seperti mie yang menggumpal di mangkuk. Wanita itu tersenyum.

KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang